Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Berkali-kali saya menyarankan kepada teman, para ustaz, guru, dosen dan pegiat literasi yang saya kenal untuk menulis sebuah buku. Sebab, dengan menulis kita menciptakan sejarah, bahwa kita pernah hadir. Lain itu, siapa sangka setiap tulisan yang telah kita buat akan menjadi jalan dan pintu kebaikan yang mungkin kita sendiri tak sadar telah membukanya untuk orang lain. Ia akan jadi amal kebaikan.
Akan tetapi, saran yang saya sampaikan selalu saja patah dengan berbagai alasan. Agh, belum sempat, belum ada waktu, ngurus anak, sibuk, nantilah nunggu pensiun. Muara dari itu semua, akhirnya tak ada satu pun yang dapat dituliskan. Memang menulis ini perkara yang tak dipaksakan. Kalau mau menulis ya alhamdulillah, bila tidak ya baiknya menulislah. Karena sesungguhnya menulis menjadi kecakapan wajib dalam kehidupan kekinian.
Lihatlah media sosial facebook misalnya, bukankah ketika kita membukanya di akun kita, selalu tertulis ‘apa yang anda pikirkan?’ Apa yang kita ‘pikirkan’ harus dituangkan dalam tulisan. Ide-ide di kepala harus diketikkan. Bukankah itu termasuk kecakapan menulis? Bahkan dalam laporan Hootsuite dalam skala global yang menjaring beragam aktivitas yang terjadi di Internet, masyarakat Indonesia merupakan pengguna media sosial facebook ketiga tingkat dunia. Anggap saja ini modal kita dalam menulis.
Dari mana kemampuan menulis itu muncul? Saban hari menulis. Itu saja. Silahkan dimana saja, gawai, laptop, kertas kerja, atau apapun yang kita temukan. Tentu saja, setiap orang yang menulis, sudah dipastikan ia banyak membaca; apa saja. Buku, koran, dan membaca kehidupan (kontekstual). Jadi, marilah kita sederhanakan kemampuan membaca ini menjadi dua yaitu kontekstual dan tekstual. Artinya tak melulu membaca itu hanya melalui buku (tekstual).
Bertanyalah satu kata kepada orang tua yang punya pengalaman pahit getirnya kehidupan, ia akan menjawab ribuan kata dan kalimat. Ia khatam tentang kehidupan. Bahkan ada selipan-selipan pesan agar jangan begini-jangan begitu. Rekaman jawaban yang telah terpapar di otak, segera pindahkan. Tuliskan. Bila tak selesai ceritanya untuk diceritakan kembali dalam tulisan, cukup garis besarnya saja. Itu hasil dari membaca kontekstual. Ide yang dituliskan.
Padahal bila kita mau terbuka, ada ribuan ide sebenarnya dalam kepala ini. Sehingga seorang sastrawan nasional asal Medan, Hasan Al Bana dalam sebuah kegiatan kemah literasi yang diikuti penulis tahun 2019 di Namu Sira-Sira, Langkat berkata, ide itu sedekat urat leher. Ide itu sedekat urat leher. Kalau saya bilang ‘sedekat gusi dan gigi. Dekat sekali. Tapi apakah kedekatan itu lantas menjadikan akrab dengan ide? Belum tentu. Kita selalu kalah dengan berbagai alasan. Di antaranya seperti di awal saya sebut, nunggu pensiun.
Lainnya, belum sadar dan belum nmenerima manfaat dari menulis. Padahal sudah banyak kabar yang menggembirakan dengan menulis menjadi pemasukan tambahan, menguatkan ingatan. Sebagai guru dan dosen tentu saja menaikkan level dibandingkan dengan yang belum menulis, termasuk naik golongan. Pun pula menjadi catatan sejarah pernah menulis.
Bisa pula ia juga memberikan catatan pahala yang tanpa sadar, sebab mungkin ada orang yang menjadikan tulisan yang telah ditulis menjadi bahan rujukan, panduan, atau ajaran lainnya untuk kehidupan yang lebih baik. Bahkan, berdasarkan studi tahun 2008 dalam jurnal the Oncologist bahwa menulis itu menyehatkan. Tak berlebihanlah memang ketika Pramoedya Ananta Toer berkata,"Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari".
Menjadi Catatkan Dua Buku
Saya menganalogikan menulis ini seperti keyakinan saya terhadap malaikat di kiri dan kanan. Bukankah mereka pencatat setiap kejadian? Hingga menerima hasilnya dalam sebuah buku keabadian di penghujung jalan. Kanan kebaikan, kiri pertanyaan-pertanyaan yang tak terbantahkan.
Butuh waktu lama memang bagi malaikat untuk mencatat setiap perbuatan. Hingga pindah alam, barulah buku itu dimunculkan, kemudian dipertanggungjawabkan. Meskipun hanya 2 buku; sijjin dan ‘illiyin. Tapi ia penuh dengan catatan harian. Lantas, dimana buku kita berada saat penghujung jalan? Tinggal kita yang menentukan.
Sesekali mungkin kita akan lupa dengan apa yang pernah dilakukan. Maka cara terbaik untuk mengingatnya adalah dengan membuat catatan-tulisan seperti malaikat di kiri dan kanan. Syukur-syukur setiap catatan itu dapat menjadi tulisan yang dibukukan. Di dunia menjadi kebaikan, akhirat menjadi teman perjalanan; pahala sepanjang jalan.
Jadi, mari catatkan setiap perbuatan, karena mencatat yang dekat itu akan lebih mudah dilakukan. Itulah ide yang sedekat urat leher. Sebagaimana dekatnya malaikat di kiri dan kanan.
Belajar dari kisah malaikat kiri dan kanan, seminimal ada dua buku yang harus kita ciptakan sampai berakhirnya kehidupan, usahakan keduanya adalah kebaikan. Bila sudah mengasyikkan, lampauilah ekspektasi harapan. Buatkahlah catatan-catatan serupa malaikat mencatat kehidupan.
Boleh saja ia perkara-perkara yang pernah dikerjakan, cita-cita dimasa depan, perjalanan sekarang, serta cerita-cerita lisan dan tertulis dari apa yang kita baca dan benamkan dalam kepala, atau jabaran-jabaran sesepuh yang mengenyam ribuan pengalaman. Mari catatkan, setidaknya dua buku dalam kehidupan!
====
Penulis pendiri TBM Azka Gemilang di Kisaran, Asahan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]