Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Mantan Wapres Jusuf Kalla melontarkan pernyataan sederhana soal "Bagaimana Caranya Kritik yang Tidak Dipolisikan". Sebuah pernyataan yang sesungguhnya menjadi pertanyaan masyarakat awam Indonesia dewasa ini. Hal tersebut terkait banyaknya kritikan yang berangkat dari keluhan dan kekecewaan rakyat atas kebijakan pemerintah baik soal ekonomi, sosial dan politik, terutama terkait penanganan Covid 19.
Pak JK tentu paham betul kritikan seperti apa yang tidak bersinggungan dengan UU ITE, KUHP, perasaan tidak menyenangkan dan lain sebagainya.
Maka sekali lagi pernyataan Pak JK bukan berawal dari ketidaktahuannya soal UU, tetapi lebih sebagai penyambung suara rakyat atau agar hak-hak rakyat kebanyakan tidak ditumpas oleh kekuasaan atas nama peraturan.
Faktanya di negeri kita saat ini memang tengah trend ada yang mengadukan seseorang yang mengkritik rezim. Begitu ada kritikan tajam mengarah kepada Presiden Jokowi, maka dalam tempo jam bakal ada yang mengadukannya ke kepolisian.
Contoh teranyar pengaduan kepada mantan Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dengan tuduhan radikal. Bahkan beliau diadukan hingga ke KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara).
Tidak cukup hanya pengaduan ke kepolisian, biasanya diikuti dengan serangan buzzer yang tiada ampun menyasar sisi kehidupan pribadi si pengkritik.
Setidaknya itu dialami mantan Menteri KKP kabinet Jokowi, Ibu Susi Pudjiastuti. Bahkan Susi sempat meminta Presiden Jokowi menertibkan buzzer.
Tentu maksud Bu Susi bukanlah menuduh para buzzer itu "orangnya" Jokowi, tetapi Bu Susi menyebut jika Jokowi yang menganjurkan tentu lebih bisa didengar dan diikuti.
Hal yang sama juga dinyatakan mantan menteri dan mantan politisi PDIP Kwik Kian Gie. Ia menyampaikan dirinya tak pernah setakut saat ini untuk menyampaikan kritik solutif karena ada serangan buzzer setelah kritiknya.
Sesungguhnya, Pak JK maupun Kwik Kian Gie, Susi Pudjiastuti atau siapa pun tokoh lain yang menyampaikan kritik di era rejzm ini adalah orang yang paham betul apa itu UU ITE, perbuatan.yang tidak menyenangkan apalagi nyinyiran dan hoaks. Tetapi coba kita simak apa reaksi Istana dan politisi pendukung pemerintahan atas pernyataan sederhana Jusuf Kalla.
Menko Polhukkam Mahfud MD malah menjelaskan pasal-pasal UU ITE dan KUHP. Lebih dari itu Mahfud bahkan mengaitkan penjelasannya dengan kehidupan keluarga Jusuf Kalla.
Politisi senior PDIP Aria Bima pun langsung bertanya apakah Jusuf Kalla usai tak menjabat Wapres tidak lagi bisa membedakan kritik dengan hoaks atau penistaan. Dua respon dari lingkaran Istana yang kontraproduktif karena justru menambah kegaduhan semata.
Seorang Jusuf Kalla kok sempat-sempatnya diajari soal apa itu hoaks dan penistaan. Bukannya berupaya menangkap esensi dari pernyataan Jusuf Kalla tersebut, kalangan internal rezim malah sepertinya melakoni "buzzer".
Tidak dipungkiri saat ini banyak beredar hoaks dan ujaran kebencian yang beredar di media sosial. Namun tidaklah tepat jika tudingan hoaks dan ujaran kebencian dialamatkan kepada pemilik akun atas nama Jusuf Kalla, Kwik Kian Gie, Susi Pudjiastuti, Din Syamsuddin, Sudjiwo Tejo dan lainnya.
====
Penulis Ketua DPC KNPD Medan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]