Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Menjelang yang kedua, mari kita mulai dari cerita awal-awal. Dosmar Banjarnahor, pendatang baru dalam kancah politik Humbang Hasundutan, langsung terpilih menjadi Bupati Humbahas, bahkan mengalahkan petahana. Bagi saya, ini adalah pengalaman hebat. Saya tertarik menuliskan ini, pertama, karena saya berasal dari Humbang Hasundutan, Hutapaung Utara, SImandampin. Kedua, karena semasa kampanye, Dosmar sering “mengidentikkan” dirinya seirama, bahkan “kembar” dengan Jokowi.
Ya, secara visual, Dosmar memang mirip dengan Jokowi. Culun, kurus, muda, dan kelihatannya energik. Ketiga, karena saya ingin, Dosmar jangan lupa pada janjinya. Belum lagi karena kini semacam sudah menjadi trend bagaimana pemimpin muda yang berasal dari daerah menjadi pilihan. Pernah ada Ahok di Jakarta, ada Ridwan Kamil di Bandung, ada Bu Risma di Surabaya, terakhir, ada pula Nurdin Abdullah di Bantaeng.
Pertanyaannya, bisakah Pak Dosmar yang sudah sempat “memistifikasi” dirinya sebagai Jokowi menjadi tambahan dari contoh-contoh yang disebutkan di atas? Mestinya bisa dan harus bisa. Harus bisa karena pada kontemporer ini, Sumut seakan kehilangan jati dirinya. Hampir tak ada pemimpin daerah yang membanggakan. Kiprah mereka (para pemimpin Sumut) lenyap ditelan ketidaktahuan sehingga kepemimpinan ibarat siklus: berakhir begitu saja tanpa ada yang berkesan. Padahal, boleh dibilang, Sumut termasuk provinsi yang rajin melahirkan pemikir dan politisi hebat di pusat.
Nah, mengapa di daerah, di kampungnya sendiri, justru tak kedengaran, kecuali kasus korupsinya? Tentu, inilah momentum dan bahkan menjadi peluang besar bagi Pak Dosmar (untuk Protap) yang masih muda (tentu juga pemimpin daerah yang lainnya)! Apalagi untuk Dosmar, dia punya latar belakang yang sama dengan Jokowi: sama-sama pengusaha yang berwajah culun. Pertanyaannya, bagaimana menggapai peluang ini? Saya tak akan menggurui Dosmar.
Saya hanya akan memberi beberapa pertimbangan, mudah-mudahan dapat menjadi alternatif. Pertama, Bapak (Dosmar) harus ingat bahwa Bapak terpilih karena harapan. Harapan itu bahkan sangat besar. Hal itu terdeteksi dari terpilihnya Bapak melawan petahana di mana sejauh ini, rasanya sangat sulit mendongkel petahana, kecuali ada semangat dan kepercayaan besar yang diberikan rakyat.
Dan, jika saja itu ada kaitannya, kemenangan Jokowi-JK pada perhelatan Pilpres 2014 di Humbang menjadi simbol kehausan warga atas pemimpin yang mengayomi, dekat dengan rakyat, dan tentu saja bersih. Kiranya begini jugalah aroma kemenangan Bapak. Warga sedang haus-hausnya pada pemimpin yang energik, muda, dan mengayomi. Dengan kata lain, Bapak diharapkan menjadi “jokowi-baru” di bumi Humbahas.
Tantangannya adalah,”jokowi-baru” tidak cukup hanya dari segi perawakan dan penampilan yang sudah Bapak miliki. Penampilan hanya pencitraan sesaat dan bahkan sebenarnya sesat. Bagaimana aksi-aksi di lapangan dapat dieksekusi dengan baik, cepat, dan prorakyat itulah yang menjadi modal utama. Nah, di sinilah Bapak perlu menoleh para pemimpin muda yang kini berkibar dan berkobar dalam membela rakyat.
BACA JUGA: Tentang Food Estate yang Gagal di Humbang Itu
Bapak boleh mencontoh Ahok yang keras, kukuh, dan berani. Dia bukan politisi biasa-biasa yang hanya ingin menang lalu jadi populis. Dia pemimpin berkeadilan: mengentak semua pegawai yang malas dan manja. Ya, Humbang beda sekali dengan Jakarta. Rakyat Humbang masih melankolis dan boleh jadi hanya mengangguk-angguk. Tetapi, melankolis ini rentan. Manakala yang dielu-elukan tidak sesuai harapan, apatisme tingkat akut bisa menyerang.
Beda lagi dengan karakter para PNS. Seperti kita tahu, PNS adalah surga. Kerja minim dapat gaji normal. Kerja maksimal juga dapat gaji normal sehingga seringkali PNS kita hanya orang yang datang, duduk, menggosip, lalu pulang, hampir tanpa ada hasil kerja. Belum lagi, terutama itu di kampung kita, PNS itu didewakan dan dipertuan. Logika publik pun dibelokkan dari yang dulunya PNS hanya abdi, malah mendadak jadi tuan.
Dan, karena tuan, mereka hanya bisa disuruh bekerja setelah ada permohonan. Permohonan itu dapat berupa uang terima kasih. Sudahlah, mari menukar rahasia dan membelalakkan mata bahwa mengurus surat-surat di kita itu “lamban”, kecuali ada uang. Di kampung saya bahkan sering beredar standar berapa fee mengurus catatan sipil. Nah, fenomena ini perlu didobrak Pak Dosmar. Tentu saja ini susah karena tadi, PNS sudah dipertuan.
Apalagi, budaya di kita, segalanya adalah raja. Mental raja adalah mental dilayani. Maka itu, Pak Dosmar harus bergerak dari daerah yang satu ke daerah yang lain. Bapak tak boleh duduk di kantor karena tugas Bapak bukan administratif yang hanya sibuk menandatangani. Bapak harus membuka layanan pengaduan masyarakat di setiap daerah yang kredibel. Bapak harus berani dan tegas seperti Ahok. Tak usah takut, rakyat kita sangat melankolis.
Kalau Bapak di pihak mereka, Bapak akan dibela sampai kapan dan di mana pun. Sebatas informasi, di Jakarta dan Bandung, mereka menggunakan media sosial sebagai tempat untuk mengadu dan mengusulkan. Bahkan, Ridwan Kamil, yang kini menjadi Gubernur Jabar, membuat sebuah situs “Menjadi Wali Kota Sehari”. Di situs ini, warga Bandung memberi saran-saran untuk membangun Bandung. Biar lebih dalam, ada baiknya Bapak mencari informasi lebih jauh.
Nah, di kita barangkali hal ini belum bisa diterapkan maksimal karena warga kita masih banyak yang belum melek teknologi. Tetapi tak usah takut, jika saja lembaga pengaduan itu ada dan kredibel, Bapak bisa meminta saran dari sana. Dalam hal pendidikan, ini tak bisa terlupakan. Bapak harus hadir lebih nyata lagi. Jujur saja Pak Dosmar, entah saya yang tidak kebagian informasi atau tidak. Yang pasti, pada masa kuliah, saya cemburu pada teman mahasiswa dari kabupaten lainnya karena mereka mendapat beasiswa dari pemerintah daerahnya, bahkan dapat hadiah karena tulisan terbit di media nasional. Hehehe. Dari dulu waktu mahasiswa, saya aktif menulis, tak jua dapat hadiah.
Mudah-mudahan saya salah. Yang pasti, sedekat yang saya tahu, beasiswa dari kabupaten di kita belum punya saat itu. Entahlah sekarang (sepengetahuan saya: sudah ada, meski masih terbatas). Padahal, nasib kabupaten kita justru terletak pada tangan-tangan anak muda yang terdidik. Maka itu Pak Dosmar. Berikan beasiswa kepada orang miskin, kepada orang pintar dan piawai. Membebaskan orang dari kemiskinan bukan dengan memberi uang, tetapi memberi mereka kesempatan untuk belajar bagi anak muda dan memberi modal usaha bagi yang sudah berkeluarga.
Mereka sendirilah nantinya yang akan melepaskan dirinya dari kemiskinan. Tetapi, dalam hal memberikan ini, Bapak harus teliti. Teliti tentu tak sama artinya dengan pelit. Teliti berarti melihat kesungguhan dan kenyataan, bila perlu melihat prestasi. Karena itu, Bapak harus turun lapangan. Sebab, sudah menjadi keberanan umum bahwa bantuan dari pemerintah seringkali salah sasaran dan salah orang. BLT pada periode pertama Bapak kemarin, misalnya, banyak orang kaya dapat, tetapi nenek tua bangka malah tidak.
Di kampung saya, orang yang lebih kaya dapat BLT, yan lebih miskin malah tak dapat. Artinya, berilah modal itu (beasiswa dan modal usaha) bagi yang membutuhkan. Jangan kepada orang kaya. Jika orang kaya dapat lagi, ini akan semakin memperlebar rasio gini, orang miskin terpinggirkan dan orang kaya semakin kaya. Di samping itu, Bapak juga harus menjaga komunikasi dengan para pemuda.
Banyak orang muda hebat dari kampung kita, tetapi karena mereka tak teroganisasi, mereka akhirnya berpencar dan tanpa arah. Mengapa mesti pemuda? Pertama, ini era Gen-Y. Gejalanya sudah terlihat di Jakarta di mana dunia virtual dan maya menjadi dunia nyata. Kedua, sebentar lagi, Danau Toba akan menjadi pusat wisatawan. Belum lagi karena MEA, tentu saja Danau Toba menjadi peluang bersama. Tetapi, Danau Toba dan MEA ini bukan hanya peluang, ini juga sebenarnya menjadi ancaman.
Jika saja pemuda kita tak dilatih, tidak saja akar budaya kita yang tergerus, tetapi kita juga akan menjadi budak di rumah kita sendiri. Maka itu, Pak Dosmar, apalagi Bapak juga pengusaha, sudah perlu memberi mereka pelatihan terpadu. Bagaimana? Buat, misalnya, lomba-lomba. Entah lomba apa pun. Boleh dalam bentuk menulis, menyanyi, menari, terutama agar pemuda kita tidak melupakan budaya kita, agar pemuda kita makin kreatif.
Sebagai gambaran, Kabupaten Karo selalu terkenal dengan pesta buahnya. Bagaimana kalau kita membuat pesta budaya tiap tahun? Selain menjadi penjaga agar budaya kita tak hilang, ini juga menjadi potensi mengundang para wisatawan. Masih banyak yang boleh Bapak lakukan. Percayalah, Bapak adalah orang beruntung. Dari kawasan Danau Toba, hanya Bapak petahana yang menang. Peluang Bapak sebagai gubernur jika Protap ada pun tergolong tinggi, bahkan sangat ginggi. Karena itu, manfaatkanlah keberuntungan ini untuk membuat orang lain juga beruntung.
Seperti kata pepatah, sesungguhnya manusia itu sudah mati manakala dia tak memberi manfaat. Pak Dosmar, hadirlah menggebrak budaya “raja” yang ada di kita. Mereka, para “raja” itu, adalah sejatinya para pelayan. Layanilah semua tempat dengan fokus, juga adil. Bapak adalah bupati untuk semua orang, baik yang memilih maupun tidak. Tidak ada yang menyukai kita seratus persen. Bahkan, Yesus sebagai Tuhan pun dibenci oleh orang terdekat-Nya.
Artinya, jangan hanya karena kalah di lokasi tertentu, maka Bapak kurang perhatian pada daerah itu. Contohlah Pak Jokowi. Lawannya jadi temannya. Pak Jokowi sadar, lawannya adalah juga temannya untuk membangun Indonesia. Saingan sesungguhnya tandem terdekat untuk mencapai tujuan. Itu pola pikir maju dan dewasa.l Singkatnya Pak Dosmar, ayo membuat perubahan dan pembangunan. Rangkul semua pihak.
Bapak orang hebat. Ya, jauh lebih hebat dari kami warga awam. Itu fakta. Tetapi, sehebat apa pun orang, selalu ada kelemahannya. Mari bicara sedikit. Soal pembangunan infrastruktur, Bapak terlihat masih lemah. Sederhana saja, jalan ke kampung saya, Siringo, Simanampin (Pollung), tetap begitu-begitu saja, bahkan sejak Bapak belum jadi bupati.p Pengairan masih kurang tertata. Itu masih hal sederhana. Saya belum masuk ke soal beasiswa bagi maha(siswa) berprestasi dan miskin, juga hal-hal lainnya. Ya, saya tahu, fokus Bapak terlalu banyak.
Kita tak menolak, meski periode pertama gagal, food estate adalah keistimewaan yang sangat luar biasa. Seorang Dosmar menghadirkan Pak Jokowi, itu adalah prestise tersendiri. Orang boleh berkata nyinyir bahwa itu bukan melulu kemampuan Bapak. Tetapi, faktanya Pak Jokowi datang di periode Bapak. Ya, masih banyak kelemahan. Walau begitu, Bapak harus paham. Jika orang kecewa, berarti mereka pernah berharap. Tak mungkin orang kecewa tanpa pernah berharap. Artinya, jika ada kekecewaan, berarti Bapak pernah jadi sebuah harapan. Itu fakta.
Maaf, Pak Dosmar. Saya tak sedang mengutuk Bapak. Toh, saya juga salah satu mantan pendukung Bapak dulunya. Saya hanya merasa agar rakyat kita semakin makmur. Jangan asal bertani saja, tapi tak ada hasil. Jangan asal jagung saja, tapi tak ada gunanya. Jangan asal food estate saja, mari dibuat lebih matang dan terarah dan berdampak untuk rakyat. Terus terang, saya merasa miris. Ini bukan soal kegagalan food estate. Tak ada orang yang selalu berhasil bukan? Lagipula, ini bukan akhir dunia. Gagal sekarang tak berarti gagal juga nanti. Nah, mengapa saya merasa miris?
Begini. Pada tahun 2015 silam, saya “keliling” Eropa dengan PLOt. Di sana, di Eropa, khususnya Jerman, saya tak melihat ada petani. Namun, saya melihat banyak hasil pertanian. Rumahnya mewah-mewah. Rakyatnya bahagia. Kita? Banyak petani, tiap hari malah. Namun, hasilnya sangat minim. Agaknya petani kita hanya menggojaphon pat ke buttak saja. Tak Lebih. Habis itu, mereka tak dapat apa-apa, kecuali hasil panen yang minim itu.
Melihat itu, kalau boleh saya palak, saya pasti berteriak: Ah, Lappetlah (Hehehe, soalnya, Latteung sudah tak kulihat lagi. Semoga Bapak Bupati Dosmar mengerti maksud tulisan ini dengan cerdas. Selamat bekerja di periode kedua. Semoga semakin matang, semoga semakin mengayomi.
====
Penulis Aktif di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]