Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
BULAN suci Ramadan merupankan salah satu bulan yang dinantikan kedatangannya oleh seluruh ummad Islam di dunia. Karena di dalam bulan suci Ramadan ada satu malam, lebih baik dari seribu bulan, yakni malam turunnya Lailatul Qadar.
Sebagai mana dalam firman Allah SWT," Sesungguhnya kami menurunkannya (Alqu'an) pada suatu malam yang diberkahi. Dan sesungguhnya kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah". ( Qs. Ad Dukhan (44) : 3-4).
Dari berbagai tafsir ulama menyebutkan, malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam Lailatur Qadar. Di mana Allah menurunkan Alquran secara utuh sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul 'izzah yang ada di langit dunia. Kemudian Allah menurunkan Alquran itu kepada Rasulullah Muhammad SAW secara terpisah, sesuai dengan kejadian kejadian yang terjadi selama 23 tahun. (Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 14 : 403).
Dalam bulan suci Ramadan pula diwajibkan bagi kaum muslimin untuk melaksanakan ibadah puasa, karena puasa termasuk dalam rukun Islam. Seperti yang difirmankan oleh Allah SWT dalam Alqu'an yang artinya, " Hai orang orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa " (Qs. Al Baqarah, ayat 183).
Maka oleh karena itu, setiap Muslim merindukan datangnya bulan suci nan penuh rahmat ini, yang datangnya satu kali dalam dua belas bulan ( satu tahun). Di bulan yang penuh rahmat inilah kaum muslimin meningkatkan amal ibadahnya, untuk menakar ketaqwaannya kepada Sang Pencipta, Allah SWT, melalui puasa selama bulan Ramadan. Dan pada bulan nansuci ini pula segala pintu amal kebaikan dibukakan, dan pintu pintu keburukan ditutup.
BACA JUGA: Dilema Vaksin Sinovac
Namun kedatangan bulan suci Ramadan tahun 2021 ini, diiringi pula dengan masih wabahnya virus Covid-19. Wabah virus Corona yang juga merupakan mahkluk ciptaan Allah yang mematikan, melalui penyebarannya yang masif. Hanya dalam hitungan bulan, virus yang bermula dari Wuhan salah satu kota di Cina ini menyebar keseluruh dunia, dengan tingkat kematian yang cukup tinggi.
Berbagai negara di belahan dunia, tampa terkecuali Indonesia, pemerintahnya disebukkan dengan urusan Covid-19, dengan melakukan kebijakan kebijakan sebagai upaya untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Pemerintah Indonesia, misalnya, melahirkan berbagai kebijakan untuk memutus mata rantai penyebaran virus yang mematikan ini. Mulai dari melakukan imbauan social distancing, dengan menutup tempat hiburan, obyek obyek wisata, melarang segala bentuk kegiatan yang berpotensi mengundang kehadiran massa, kemudian melakukan pshycal distancing (membuat jarak antar orang perorang), sampai kepada Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB), bagi daerah perkotaan yang masuk zona merah penyebaran Covid-19.
Imbauan dan Fatwa
Untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19, masyarakat tidak saja dijejali dengan berbagai imbauan yang disampaikan oleh pemerintah, dengan membatasi jam malam dan ruang gerak masyarakat agar berdiam di rumah, sampai kepada pelarangan untuk mudik (pulang kampung) bagi perantau di hari Lebaran. Padahal, mudik sama dengan kembali keakar budaya, yang telah dilakoni oleh para perantau dari berbagai etnis suku bangsa. Berpuluh puluh tahun yang lalu. mudik sudah menjadi kebudayaan di negeri ini. Berkumpul bersama keluarga, kerabat dan handai tolan.
Mudik dijadikan sebagai sarana untuk saling bertukar cerita tentang suka dukanya hidup diperantauan. Untuk dua kali Lebaran ini, mudik mungkin hanya menjadi sebuah kenangan. Apalagi pemerintah telah resmi mengeluarkan larangan untuk mudik Lebaran 2021.
Masyarakat juga dijejali dengan lahirnya fatwa-fatwa yang dibidani oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Mulai dari untuk tidak melakukan salat berjemaah di masjid-masjid sampai kepada fatwa untuk tidak melaksanakan salat jumat dan tarawih di masjid selama pandemi Covid-19. Karena salat berjemaah dan tarawih selama bulan suci Ramadhan yang dilakoni oleh kaum muslimin sepanjang tahun dinilai berpotensi menularnya virus Corona. Di samping melanggar iimbauan pemerintah untuk melakukan pshyical distancing.
Imbauan yang disampaikan MUI melalui fatwanya itu, bukan pula berarti mengurangi kekhusukan bagi kaum muslimin dalam menjalankan ibadah puasanya. Karena salat berjamaah, dan tarawih selama bulan suci Ramadan dapat dilaksanakan oleh kaum muslimin di masing-masing lingkungan keluarganya.
Hanya kemeriahan bulan suci Ramadan di tengah mewabahnya Covid-19 tidak terdengar lagi adanya imbauan untuk meramaikan dan memakmurkan masjid dengan menggelar salat berjemaah dan tarawih serta bertadarus. Mungkin untuk Ramadan tahun 2020 dan 2021 ini semua itu tidak ditemui lagi.
Iimbauan MUI ini tidak saja disampaikan kepada ummad Islam, tapi melainkan juga disampaikan kepada umat agama lain agar tidak menggelar ibadah dengan menghadirkan banyak orang, baik di gereja, kelenteng, pura dan tempat tempat ibadah lainnya.
Tanggap
Kini persoalan yang muncul, khususnya di kalangan ummad Islam di Indonesia yang melaksanakan ibadah puasa di bulan suci Ramadan bukan dikarenakan adanya imbauan MUI melalui fatwanya, tapi imbauan melakukan pshycal distancing dan larangan keluar rumah dalam pelaksanaan PSBB. Bagai mana mungkin masyarakat miskin yang bekerja serabutan, seperti buruh, nelayan, penarik becak, pedagang kaki lima, dan sebagainya yang mengais rezeki di ruang publik harus menjaga jarak dan berdiam diri dirumah. Bagai mana mereka harus mempertahankan kehidupan keluarganya, sementara mereka tidak punya penghasilan tetap.
Sudah menjadi kebiasaan buruk di negeri ini pada setiap menjelang datangnya hari hari besar keagamaan, seperi Idul Fitri, Natal dan Tahun Baru, Imlek dan sebagainya, harga harga sembilan bahan pokok (Sembako), akan mengalami kenaikan. Harga gula saja dari Rp 12.000/kg kini menjadi Rp 13.000. Belum lagi harga beras, bawang dan cabai dan sebagainya juga turut naik.
Pemerintah ditengah pandemi Covid-19 memang berhasil mengontrol ketersediaan sembako, tapi pemerintah gagal dalam melakukan kontrol terhadap harga jualnya. Memang dampak dari pandemi Covid-19 dalam rentang prekonomian Indonesia cukup dirasakan oleh masyarakat, tapi yang paling lebih parah merasakan dampak dari pandemi Covid-19 terhadap prekonomian adalah rakyat miskin yang mencari rejeki dipagi hari, hasilnya untuk dimakan malam hari. Dengan istilah " cari pagi makan sore".
Imbauan yang kaya membantu yang miskin di tengah pandemi virus Corona hanya merupakan slogan indah di negeri ini. Sementara realisasinya jauh panggang dari api. Apa lagi jika melihat tayangan televisi swasta, yang mengekspos pemberitaan tentang dampak Covid-19 terhadap para salebriti tanah air. Yang menampilkan para artis berkeluh kesah, sampai sampai ada yang merumahkan ratusan kariyawannya, ada pula yang terpaksa menjual perhiasannya. Bahkan ada artis yang juga memberikan tips bagaimana biar tak bosan dirumah selama Covid-19, dengan tampilan yang glamauor, tentu semua itu membuat iri bagi rakyat miskin.
Dampak ekonomi akibat pandemi Covid-19 terhadap dunia para artis, tentu tidak berbanding lurus dengan yang dirasakan oleh masyarakat miskin. Bahkan ada seorang ibu rumah tangga meninggal dunia karena kelaparan. Semasa hidupnya di tengah pandemi Covid-19 mereka hanya meminum air untuk menahan lapar, karena ketiadaan bahan makanan dirumahnya.
Dalam konstek seperti ini, pemerintah seharusnya tanggap terhadap penderitaan rakyatnya yang miskin. Bukan mengeluarkan kebijakan yang tidak dibutuhkan rakyat miskin. Jika ingin membantu, bantulah dengan tunai, agar dapat dirasakan oleh rakyat miskin, bukan memberikan bantuan dengan embel-embel yang hanya dapat menguntungkan sepihak.
Walau pelaksanaan Ramadhan tahun ini dibatasi dengan berbagai kegiatan yang berpotensi mengundang kehadiran massa, tapi tidaklah melunturkan rasa keimanan kita untuk meningkatkan taqwa kepada Allah SWT. Mari kita berdoa agar musibah wabah Covid-19 cepat berlalu. Semoga!.
====
Penulis Sekretaris Forum Komunikasi Anak Daerah (Fokad) Kota Tanjungbalai.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]