Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Seorang penyidik kepolisian di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diduga telah meminta uang suap dengan nominal hampir Rp 1,5 miliar kepada Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, HM Syahrial dengan iming-iming dapat menghentikan kasus hukum yang sedang menimpanya. Terkait dugaan praktik suap dalam tubuh KPK tersebut, saat ini pihak KPK telah intens menelusuri kasus hukum yang melibatkan Wali Kota Tanjungbalai, HM Syahrial saat menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Saat ini, KPK telah berhasil menangkap penyidik kepolisian KPK yang diduga terlibat dalam praktik suap untuk dapat menjalani proses penyidikan hukum secara lebih lanjut. Sebelumnya pada hari Selasa 20 April 2021, KPK juga sudah menggeledah rumah di Jalan Sriwijaya, Kota Tanjungbalai, milik HM Syahrial. Pihak KPK pun menyita berbagai dokumen penting terkait proyek Dinas Perumahan Rakyat Dan Kawasan Permukiman (Perkim) yang ada di kota Tanjungbalai.
Kasus hukum yang menimpa Walikota Tanjungbalai ini berawal dari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Nomor 64C/LHP/XVII.MDN/08/2016 tanggal 29 Agustus 2016, terkait alokasi dana anggaran 2015 untuk lanjutan pembangunan Rumah Sakit Umum (RSU) Tipe C di Jalan Kartini, Kecamatan Datuk Bandar, Kota Tanjungbalai yang nilai proyeknya mencapai Rp 3,5 miliar. Dalam LHP BPK, ditemukan dugaan kerugian negara mencapai Rp 1 miliar. Hasil pemeriksaan, penyidik Kejari menemukan bukti transfer uang ratusan juta rupiah kepada Syahrial. Dalam hal ini, transfer uang ke Syahrial merupakan ucapan terima kasih karena sudah menunjuk perusahaannya sebagai pemenang tender.
Kontroversi tentang suap yang terjadi di lingkungan internal KPK tentu meresahkan publik. Karena masalah suap ini pun pada akhirnya memancing respon negatif yang kembali meragukan kinerja lembaga anti rasuah KPK dalam penegakan korupsi. Hal ini jelas menjadi tantangan bagi KPK sebagai garda terdepan menegakkan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK sebagai lembaga pemberantasan korupsi Indonesia wajib menjaga nilai independensi untuk dapat menegakan hukum.
Tekanan Politik
Terkait praktik suap yang terjadi di KPK, Busyro Muqoddas yang merupakan mantan pimpinan KPK mengaku setuju dengan ide pembubaran KPK dan digantikan dengan lembaga anti rasuah baru. Bagi Muqoddas, ide pembubaran KPK merupakan hal yang sangat rasional karena KPK seringkali dinilai bersikap tebang pilih terhadap berbagai peristiwa yang memiliki indikasi korupsi dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemimpin dan elite kekuasaan. Tak hanya opini dari mantan pimpinan KPK yang menilai sudah layaknya usulan pembubaran KPK, lembaga independen Indonesian Corruption Watch (ICW) bahkan telah memberikan rapor merah atau nilai E atas kinerja KPK sepanjang 2020.
Menurut ICW, kinerja penindakan kasus korupsi oleh KPK hanya mampu terserap sekitar 13% dari target KPK sebanyak 120 kasus. Masih tebang pilihnya sikap KPK dalam setiap penanganan kasus hukum korupsi di Indonesia menjadi nilai minus bagi KPK sebagai lembaga hukum pemberantasan korupsi.
Kuatnya tekanan politik dari elite kekuasaan menjadi faktor pemicu mengapa KPK dinilai tak lagi mampu berdiri sebagai sebuah lembaga penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.Terlebih sejak kedudukan KPK diperlemah melalui Undang -Undang (UU) KPK baru yakni UU No. 19 / 2019 yang isi substansial dalam UU KPK baru tersebut mengemukakan Perubahan Kedua Atas UU 30 tahun 2002 tentang KPK dimana UU ini mendudukkan KPK sebagai satu kesatuan bersama dengan aparatur lembaga pemerintahan (eksekutif) yang dalam implementasinya KPK bersama-sama Kepolisian dan/atau kejaksaan harus melakukan langkah terpadu dan terstruktur demi pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Masuknya KPK dalam institusi pemerintahan jelas mengurangi independensi KPK penanganan kasus korupsi. Apalagi mengikuti UU No. 19 / 2019 tersebut, seluruh pegawai KPK kini telah berstatus sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Perubahan status kepegawaian KPK ini tentu memunculkan tekanan birokrasi dan kepentingan politik karena peralihan status pegawai KPK menjadi ASN akan membuka celah besar bagi tergerusnya independensi para pegawai KPK dalam setiap penanganan kasus korupsi yang melibatkan pihak birokrasi.
BACA JUGA: Mengantisipasi Tekanan Inflasi di Kota Medan
Kini, peran besar dari KPK sebagai lembaga penegakan korupsi independen pun telah mengalami kemunduruan secara nyata. KPK telah menjadi lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas dan wewenang penegakan hukum secara professional dibawah kebijakan pemerintah. Posisi KPK telah didomestikkan sebagai bagian struktur hukum lembaga kekuasaan. Lantas jika peran dan wewenang KPK sudah menjadi rumpun kekuasaan maka bagaimana nasib penegakan hukum korupsi di Indonesia.?
Nalar Hukum
Pakar hukum politik Indonesia. Daniel S Lev pernah menyebutkan jika pelaksanaan hukum bukan semata-mata harus berbicara tentang keabsahan hukum tertulis dan sistem organis tapi juga harus disandarkan pada rasional hukum yang terjadi di wilayah hukum masing – masing. Karena menurut Lev, setiap kesatuan wilayah negara tak melulu harus dapat menghadirkan bentuk kesamaan hukum (Daniel S Lev: 1990).
Daniel S Lev pun menyebutkan jika ada korelasi yang kuat antara kontekstual hukum dengan aturan yang telah disepakati bersama - sama dan tertulis. Analisa hukum dari Lev ini tak lepas dari pemikiran sejarah panjang hadirnya Undang – undang (UU) hukum kolonial yang diciptakan pemerintah Belanda sebagai kebutuhan politik pemerintah kolonial dalam menjaga keberlangsungan kehidupan mereka di Nusantara. Karenanya, kehadiran setiap UU hukum baru haruslah dimaknai sebagai sebuah transformasi nalar hukum yang berkembang ditengah kebutuhan masyarakat.
Hadirnya UU hukum baru KPK boleh jadi merupakan wujud dari bentuk perubahan kesesuaian antara aturan tertulis dalam implementasi praktik yang dibutuhkan masyarakat. Karena seperti yang diketahui, alasan kuat dari kemunculan UU baru KPK adalah karena KPK sebagai lembaga hukum di Indonesia dinilai tidak memiliki mekanisme pengawasan yang kuat. Keinginan kuat dalam memberikan keseimbangan pranata hukum atau check and balanceinilah yang membuat KPK justru tampak tersandera dalam budaya transaksional yang selama ini menyandera sistem birokrasi di Indonesia. Inilah yang menjadi tantangan berat bagi nalar hukum KPK untuk tetap profesional ditengah perubahan sistem hukum yang membentuknya.
Sampai hari ini, masyarakat kita masih sangat berharap jika KPK tetap mampu bekerja secara profesional dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Perubahan UU KPK yang telah setujui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 17 September 2019 yang lalu diharapkan tidak akan mematikan langkah KPK untuk tetap tegas dan berintegritas dalam memberantas praktik korupsi di Indonesia. Disisi lain, kita sebagai masyarakat sipil juga perlu turut serta memelihara kesadaran budaya pemberantasan korupsi. Karena dengan dorongan kesadaran budaya hukum inilah pemberantasan korupsi dapat terlaksana secara maksimal. Hadirnya semangat integritas moral hukum kolektif masyarakat akan sangat membantu menciptakan tertib hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.
====
Penulis Analis Nasional dan Direktur Jaringan Studi Indonesia.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel/surat pembaca) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter (surat pembaca maksimal 2.000 karakter). Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel/surat pembaca dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel/surat pembaca sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan/surat pembaca Anda ke: [email protected]