Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MENINGKATNYA angka kasus positif Covid-19 di berbagai negara di dunia terutama di India belakangan ini mendorong Pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan larangan mudik Lebaran. Ini merupakan kali ke dua setelah mudik Lebaran dilarang pada tahun 2020. Hal ini diberlakukan demi menekan pertumbuhan angka kasus positif Covid-19.
Namun kebijakan pemerintah untuk kembali melarang mudik tahun ini tak luput dari berbagai persoalan. Dimulai dari masuknya warga negara asing (WNA) India dalam jumlah besar di saat India tercatat sebagai salah satu negara dengan jumlah kasus positif terbanyak di dunia. Kemudian, WNA Cina juga tak mau ketinggalan. Tercatat 160 WNA asal Cina masuk ke Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta. Hal ini kemudian membuat masyarakat mempertanyakan konsistensi dari para pemangku kebijakan di negeri ini.
Jika kebijakan larangan mudik ini jelas bertujuan untuk menekan laju pertumbuhan angka positif covid-19 sebagaimana pernyataan pemerintah, seharusnya tidak ada WNA yang diperbolehkan masuk ke negeri ini. Karena tidak ada jaminan bahwa WNA tersebut tidak terjangkit varian baru dari mutasi virus covid-19 yang telah menyebar di berbagai negara saat ini.
Melalui berbagai pemberitaan di media massa yang memperlihatkan peristiwa menumpuknya para pemudik di berbagai pos penyekatan dan juga pelabuhan, pemudik yang terlibat cekcok dengan aparat yang menjaga di pos penyekatan mudik, sampai kepada pemudik yang berani menerobos pos penyekatan dan melawan arus lalu lintas demi menghindari pos penyekatan mudik. Semua itu menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan dan kepatuhan yang rendah dari masyarakat Indonesia dalam hal ini pemudik terhadap kebijakan pemerintah dalam menangani wabah pandemi ini. Melansir dari Beritasatu.com ( 10/5/2), jumlah kendaraan yang diduga ingin melakukan perjalanan mudik dan diputarbalikan oleh Polri telah mencapai lebih dari 100.000.
Adapun pihak yang paling dirugikan dari kebijakan larangan mudik ini adalah para sopir travel dan bus angkutan lintas provinsi. Satu sisi pandemi Covid-19 jelas perlu diwaspadai, akan tetapi yang tak kalah penting adalah nasib keluarga para sopir. Mereka hanya bisa berharap dari upah jasa transportasi yang mereka geluti untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan diberlakukannya larangan mudik ini otomatis menyebabkan mereka tidak bisa beroperasi hal ini tentu akan berimbas terhadap kondisi perekonomian mereka. Namun sejauh ini belum ada pertanggungjawaban moral dari pihak pemerintah untuk para sopir bus lintas provinsi terkait aturan ketat yang diberlakukan menjelang Hari Raya Idulfitri.
Kemudian yang tak luput dari kontroversi adalah kebijakan pemerintah untuk tetap membuka tempat wisata pada saat hari raya Idulfitri, tempat wisata hanya diwajibkan menerapkan protokol kesehatan, serta membatasi jumlah pengunjung serta jam operasional. Tidak jauh berbeda dengan kebijakan terhadap tempat wisata pada hari raya lebaran tahun 2020. Jika berkaca dari peristiwa Lebaran tahun lalu, yang terjadi di berbagai kawasan wisata adalah para pengunjung abai terhadap protokol kesehatan serta jumlah pengunjung yang melebihi kapasitas dari ketentuan yang sudah diatur. Jika hal ini nantinya terulang kembali, maka bisa dipastikan kloter baru angka positif covid-19 hanya tinggal menunggu waktu.
Dan segala hal yang telah diupayakan oleh pemerintah melalui kebijakan pemberlakuan larangan mudik dengan berbagai konsekuensi yang ditanggung oleh masyarakat akan menjadi sia-sia.
Dari berbagai fenomena mudik yang diberitakan oleh media massa sejauh ini menjelaskan bahwa Idulfitri tak bisa dilepaskan dengan fenomena mudik Lebaran. Mudik sudah menjadi suatu tradisi yang mendarah daging. Sulit untuk membendungnya apa pun caranya akan ditempuh agar bisa merayakan hari raya lebaran bersama keluarga di kampung halaman.
Hari ini di prediksi akan menjadi puncak dari arus mudik Lebaran 2021 di tengah larangan mudik sebelum hari raya Lebaran besok (13/5/21). Memperketat penerapan protokol kesehatan di setiap ruang publik dan tindakan tegas bagi yang melanggar demi menekan pertambahan angka positif covid-19 rasanya lebih efektif dibanding kebijakan yang mengorbankan beberapa pihak namun kenyataannya bopong juga.
====
Penulis Mahasiswa Fakultas Hukum Unja.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel/surat pembaca) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter (surat pembaca maksimal 2.000 karakter). Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel/surat pembaca dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel/surat pembaca sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan/surat pembaca Anda ke: [email protected]