Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
DI TENGAH resesi ekonomi akibat tekanan pandemi Covid-19, kinerja ekspor tumbuh cukup tinggi. Sepanjang kuartal I-2021 nilai ekspor nonmigas tumbuh 17,14% berada dalam nilai US$ 39,49 miliar mampu tumbuh sebesar US$ 46,25 miliar. Pencapaian ini melanjutkan terjadinya tren pertumbuhan positif ekspor sejak semester II-2020 sebesar 2,25%, sekaligus mengindikasikan telah mulai berjalannya roda pemulihan ekonomi nasional.
Sampai hari ini stimulus masih diberikan pemerintah demi memperbaiki capaian ekspor jasa. Sepanjang 2020, nilai ekspor jasa pada transaksi berjalan terkoreksi hingga 53%. Perbaikan ekspor jasa sangat bergantung pada keberhasilan program vaksinasi nasional. Proses vaksinasi yang efektif menjadi faktor kunci yang mampu mendorong kepercayaan diri pelaku ekonomi demi memulihkan ekonomi nasional yang sedang membutuhkan dorongan stimulus. Pertanyaannya sekarang, mampukah pemerintah menata pertumbuhan ekonomi fiskal nasional secara optimal ditengah perlambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19.?
Stabilitas Pertumbuhan
Ekspor merupakan pembentuk nilai produk domestik bruto (PDB). Karenanya tak mengherankan jika ekspor memiliki peran penting sebagai penghasil devisa dan penjaga stabilitas nilai mata uang negara.Potensi ekspor yang masih terbuka luas perlu diperkuat dengan stimulus ekspor. Untuk memperkuat sisi pembiayaan, Bank Indonesia (BI) melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) Maret 2021 telah menyepakati kebijakan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan RIM Syariah (RIMS) guna mendorong penyaluran kredit dan pembiayaan perbankan kepada dunia usaha, khususnya pihak eksportir.
Upaya itu dilakukan dengan menambahkan wesel ekspor ke dalam surat-surat berharga (SSB) milik perbankan yang diperhitungkan dalam formula RIM/RIMS. Wesel ekspor ini berlaku sebagai piutang eksportir kepada importir yang akan ditagihkan melalui bank atas transaksi perdagangan antarnegara.
Penambahan wesel ekspor dalam formulasi RIM/RIMS memberikan stimulus bagi perbankan untuk turut serta dalam membiayai aktivitas ekspor. Bagi eksportir, wesel ekspor memberikan keamanan dan kemudahan pelunasan pembayaran transaksi ekspor, terutama ketika ekspor ditujukan kepada pelanggan/negara baru, karena transaksinya akan dijamin oleh bank.
Pemerintah pun mengeluarkan stimulus non-fiskal guna mendongkrak kinerja ekspor. Stimulus tersebut berupa penyederhanaan dan pengurangan larangan pembatasan ekspor sebanyak 749 jenis produk ekspor, yang terdiri dari 443 produk perikanan dan 306 produk industri kehutanan.(Kementerian Perdagangan RI, 2021).
Pandemi Covid-19 secara nyata telah membawa perubahan yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi global oleh banyak negara. Berdasarkan survei hampir rata – rata ekonomi global mengalami kontraksi -3,4% di tahun 2020 (OECD Economic Interim Report). Hal serupa juga terjadi dengan Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri turun hampir -2,07%.
Angka ini terburuk sejak masa krisis keuangan nasional yang pernah terjadi pada 1998. Untuk memulihkan ekonomi nasional, dibutuhkan anggaran yang sangat besar. Pada 2021, Indonesia telah menganggarkan Rp 700 triliun atau naik 20,63% dari realisasi anggaran pemulihan ekonomi nasional 2020.Indikasi ini jelas menunjukkan betapa besarnya kebutuhan dana negara Indonesia untuk perbaikan ekonomi fiskal nasional.
Mencermati fokus pemerintah untuk jangka menengah, khususnya terkait risiko dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah telah melonggarkan target defisit anggaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 dan menargetkannya untuk turun secara perlahan hingga mencapai di bawah tiga persen pada 2023. Walaupun kondisi defisit fiskalIndonesia lebih baik dari India atau Tiongkok, Indonesia masih memiliki defisit fiskal yang lebih tinggi dibandingkan negara lain di Asia Tenggara. Pemerintah Indonesia masih yakin target tersebut akan tercapai karena kinerja ekonomi sudah mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan 2021.
Pokok Kebijakan
Dampak pembatasan mobilitas sosial faktanya tak hanya menyebabkan turunnya penawaran, tapi juga menyebabkan terjadinya penurunan permintaan konsumsi masyarakat secara drastis.Masih tingginya belanja akibat ekspansi fiskal yang dilakukan oleh otoritas fiskal masing-masing negara dan turunnya penerimaan pajak telah turut menyebabkan makin besarnya kesenjangan fiskal banyak negara. Menteri Keuangan Republik Indonesia (Menkeu RI), Sri Mulyani menyebutkan jika ada tiga sektor yang dapat menjadi penggerak sektor ekonomi agar membuat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berada dalam titik terbaik. Tiga sektor ini adalah investasi, ekspor, dan perilaku konsumen. Karenanya, kerja sama global antarnegara menjadi penting demi memulihkan krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19.
BACA JUGA: Mengantisipasi Tekanan Inflasi di Kota Medan
Dalam jalinan kerja sama global antarnegara, posisi Indonesia sangat riskan dalam menata defisit utang negara yang semakin menumpuk. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI) per Februari 2021, posisi utang pemerintah berada di angka Rp 6.361 triliun atau 41,01% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sedangkan untuk belanja bunga utang, pada 2021 pemerintah Indonesia telah menganggarkan Rp 373,26 triliun atau naik 18,8% dari porsi belanja bunga utang di tahun 2020 (APBN 2021).
Memasuki bulan Mei, Kementerian Keuangan telah merancang Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) yang akan menjadi pelengkap Rencana Kerja Pemerintah dalam proses penyusunan APBN 2022. Mengusung tema “Pemulihan Ekonomi dan Reformasi”, kebijakan fiskal 2022 diharapkan mampu mendorong reformasi struktural sehingga mengembalikan pertumbuhan ekonomi pasca pandemi pada jalurnya.
Untuk itu ada dua hal penting yang harus dilakukan pemerintah saat demi menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi fiskal Indonesia di tengah pandemi Covid-19. Pertama, pada sisi pendapatan negara dan reformasi pada bidang perpajakan. Pemerintah harus menggali dan meningkatkan basis perpajakan, demi memperkuat sistem perpajakan, serta peningkatan strategi pendapatan perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sedangkan di bidang PNBP, Pemerintah perlu mengoptimalkan aset negara untuk dapat menghasilkan dividen atau pendapatan sehingga pelayanan publik dapat meningkat.
Kedua, dari sisi belanja negara. Pemerintah perlu mendorong kebijakan reformasi ekonomi fiskal demi kualitas belanja supaya dapat meningkat sehingga berbagai prioritas kebutuhan ekonomi dapat diakomodir. Efisiensi belanja perlu dilakukan terhadap belanja-belanja non prioritas baik di pusat maupun daerah agar keseimbangan fiskal dalam negeri dapat berjalan secara normal. Bila pokok- pokok kebijakan ini dapat dilaksanakan maka pertumbuhan ekonomi fiskal nasional akan dapat terjaga dengan baik.
====
Penulis Analis dan Direktur Jaringan Studi Indonesia.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel/surat pembaca) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter (surat pembaca maksimal 2.000 karakter). Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel/surat pembaca dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel/surat pembaca sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan/surat pembaca Anda ke: [email protected]