Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PANDEMI COVID-19 sudah berlangsung lebih dari setahun lamanya. Semua sektor, semua orang, baik dewasa maupun anak-anak terkena getahnya. Mungkin sebagian orang dewasa mampu beradaptasi dengan perubahan yang sangat mendadak ini. Ibaratnya, dari yang awalnya rapat di kantor dengan berpakaian rapi, kini hanya cukup pakai boxer dan merapikan atasan lalu merapikan rambut. Kita cukup duduk manis di depan kamera dan mendengarkan setiap arahan dari atasan.
Namun, hal ini kontradiktif dengan apa yang terjadi di dunia anak-anak. Mereka tiba-tiba dihadapkan dengan situasi dimana mereka tidak bisa berlari ke sana ke mari di sekolah. Berebutan paling dahulu mengerjakan soal matematika, dan masih banyak lagi aktivitas yang gembira.
Anak-anak, dalam kurun waktu setahun lebih ini hanya duduk manis di depan laptop atau gadget mereka sambil mendengar guru menjelaskan pelajaran. Itu terkhusus kepada guru yang berniat memberi transfer ilmunya. Lain halnya apa yang penulis amati. Kebanyakan anak-anak hanya diberi tugas yang cukup banyak lalu mereka kerjakan secara mandiri. Hasil tugas mereka kumpulkan dalam satu portal dan tentunya tanpa dibarengi dengan tatap muka via daring. Akibatnya, anak-anak merasa anggap enteng tugas yang diberikan. Mendekati deadline pengumpulan, mereka baru tergesa-gesa mengerjakan.
Sebelumnya, apa yang mereka lakukan? Tentu saja main bareng (mabar) dengan sahabat karib mereka, bahkan ada yang sampai larut malam. Otomatis, waktu anak-anak tersita oleh gadget yang ada di genggaman mereka. Apakah hal ini baik buat anak-anak?
Pepatah mengatakan sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Sama halnya dengan penggunaan gadget oleh anak-anak. Melansir dari BBC Indonesia, akibat dari kecanduan gadget ini menyasar dorsolateral prefrontal cortex. Area yang terletak di dalam otak ini bertanggung jawab dalam memusatkan perhatian, membuat rencana, menyelesaikan masalah, hingga pengendalian diri. Singkatnya, dalam penelitian yang dilakukan oleh Harsela dan Qalbi pada tahun 2020, apabila hal ini dilakukan terus-menerus akan berpengaruh terhadap kognitif anak tersebut. Yang terjadi adalah penurunan konsentrasi, kehilangan fokus, malas belajar dan menulis, serta berujung pada menurunnya prestasi belajar. Oleh sebab itu, kita sering melihat anak-anak yang terlambat berbicara dan belum mampu menulis secara baik.
Kita sering dengar istilah yang tidak asing, the golden age. Istilah itu dipahami sebagai waktu perkembangan anak yang sangat sensitif dari berumur 1-5 tahun. Pada masa ini, perkembangan intelektual, emosional, spiritual mengalami perkembangan pesat sehingga apabila tidak ditangani secara maksimal akan berdampak pada diri anak hingga ia dewasa. Sayangnya, banyak di antara kita yang membiarkan anak terbuai dalam gadget. Apabila ia menangis, secepat kilat gadget kita serahkan kepadanya. Kemudian ia tertawa, sembari menonton video kesukaanya. Atau memainkan permainan di dalamnya. Kita menjadi senang, anak kembali diam dan kita dapat melakukan aktivitas lainnya daripada mendampingi anak secara penuh. Terkait dampak di atas tadi, itu juga dapat merembet ke hal yang tak kalah serius dari kognitif, yaitu psikologis dan sosial anak-anak.
Kalau kita pernah melihat anak, adik, atau sepupu kita bertingkah agresif, selalu ngambek, atau marah jika keinginannya tidak dituruti, bisa jadi ini efek kecanduan gadget. Anak-anak akan cenderung marah bila gadgetnya tiba-tiba ditarik dari genggaman. Jika anak semakin lama dibiarkan dengan gadget, anak akan semakin malas belajar. Melansir dari motherandbaby.co.id, anak-anak yang sering diberikan gadget akan cepat merasa puas. Anak akan menjadi putus asa dan cepat menyerah apabila mendapati sebuah tantangan yang sulit sebagai akibat dari terbiasa dengan kemudahan yang didapat dari penggunaan gadget.
Penelitian yang dilakukan Jonthan dkk pada tahun 2015, anak-anak yang kecanduan gadget juga menjadi individualis dan egosentris serta tidak peka terhadap lingkungan. Seperti cerita penulis diawal tadi, segerombolan anak terbuai dalam gadget yang mereka mainkan. Mata mereka terpaku tanpa berkedip sedikitpun terhadap permainan online yang mereka mainkan.
Hastuti dalam bukunya Psikologi Perkembangan Anak mengatakan jika ini berlanjut, anak akan menjadi seorang yang introvert. Hal ini menciptkan hubungan yang kurang harmonis dalam keluarga dan teman-temanya. Pendek kata, lo ya lo, gue ya gue.
Setelah kita berbicara panjang lebar mengenai anak dan gadget, rasanya sudah cukup menjawab pertanyaan judul di atas. Belum saatnya, itulah jawabannya. Meskipun, penggunaan gadget untuk keperluan menutut ilmu bagi anak di masa pandemi ini cukup penting, kita sebagai orangtua, kakak, ataupun saudara harus memantau aktivitasnya. Terutama orang tua.
Sebagai sosok pertama yang dilihat dan ditiru anak, orangtua seharusnya yang lebih mawas terhadap anak-anak. Berikan anak pengertian dengan bahasa yang mereka pahami. Selalu dampingi anak saat beraktivitas dengan gadget, disamping itu juga orangtua dapat transfer ilmu dan kasih sayang kepada anak disaat itu juga.
====
Penulis Mahasiswa Instiper Yogyakarta.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]