Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Untuk kesekian kali, publik terhenyak dengan tata kelola pemerintahan ibu kota. Maksud hati menjunjung tinggi asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dengan menggelar seleksi jabatan, tapi banyak yang enggan padahal memenuhi persyaratan. Apa yang membuat terjadi demikian?
Belakangan pelaksanaan seleksi trendi dilakukan berbagai instansi. Seleksi berbasis sistem merit terus mengalami eskalasi. Tentu saja alasan utama karena aturan kepegawaian mengamanatkan dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) melakukan pengawasan. Untuk tingkat jabatan pimpinan tinggi atau setara eselon dua termaktub dalam ragam ketentuan.
Hanya seleksi yang tadi, setingkat jabatan pimpinan tinggi, mulai pula menjajal jabatan tingkat administrator (eselon tiga) dan pengawas (eselon empat). Bukan tanpa dasar, memungkinkan untuk dilakukan kepala daerah selaku Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Seleksi jabatan tingkat administrator dan pengawas diatur dalam Pasal 49 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara.
Celaka, seleksi bukan seperti tujuan awal. AUPB dan seleksi berbasis sistem merit yang fundamental dan menjadi pedoman hanya sampai permukaan. Seleksi semakin seksi dituding sebagai jalan formal "para pengantin" terkawal. Soal ini, sekurang-kurangnya ada enam hal dalam seleksi yang membuat kepercayaan tanggal.
BACA JUGA: Menilik Pencopotan Pejabat PascaBayar Pilkada
Pertama, pengumuman awal. Pada prinsipnya, pengumuman merupakan jaminan konstan, keterbukaan dan mengundang keterlibatan. Sayangnya, pengumuman sering menjadi membingungkan karena perubahan dan tanpa pemberitahuan.
Memang didapati sesekali, pengumuman memberikan tanda bahwa sewaktu-waktu dilakukan koreksi. Tapi bukan berarti keberadaan tanda bintang dan/atau penebalan teks, menghilangkan masalah kompleks.
Kedua, persyaratan, tahapan dan jadwal. Kadang kala perlu kejelian dalam mencermati persyaratan. Bisa lebih mudah atau malah lebih susah dengan tambahan persyaratan dari amanat ketentuan. Mudah atau susah tentu tergantung "pengarah" dan "pelangkah".
Begitu juga soal durasi, cepat atau lambat setiap tahapan dan jadwal. Syak wasangka yang terlalu cepat, berarti sudah didapat orang yang "tepat". Apabila terlalu lambat, masih terbuka pencarian atau tarik-menarik orang yang "memenuhi syarat".
Ketiga, materi uji. Dalam seleksi, salah satu tahapan adalah uji kompetensi. Pelaksanaan uji sering kali tanpa kisi-kisi. Banyak peserta seleksi menerawang, gamang dan bimbang, sedangkan sebagian yang lain cukup datang dan "menunggu menang" karena mengetahui medan perang.
Keempat, hasil uji. Pelaksanaan uji lazimnya berbasis teknologi dan berbantuan komputer. Harapan hasil uji langsung dipublikasi, tanpa khawatir dicurangi. Hal ini diminimalisasi, hasil diterima dikemudian hari atau tidak langsung (real time) agar dapat menjaga tradisi, intip-mengintip dan titip-menitip.
Kelima, benturan kepentingan. Yang paling awut-awutan, tentu keberadaan hubungan darah antara peserta dan kepala daerah. Sedangkan lainnya, panitia/tim yang mengurusi seleksi memiliki afiliasi dengan peserta seleksi, seperti akademisi yang menjadi panitia/tim seleksi merupakan tenaga ahli tempat peserta bekerja. Atau panitia/tim yang mengurusi seleksi tidak pernah berganti karena "berdedikasi". Jika begini, objektifitas dan independensi kemungkinan besar tercederai.
Keenam, hasil akhir. Seleksi sarat intervensi pasti tidak maksimal. Silahkan komparasi hasil akhir dan pengumuman awal. Biasanya terdapat ketidaksesuaian dan kesenjangan yang mengganjal.
Keenam hal ini yang kerap terjadi di daerah. Jadi tidak kaget, ada yang ketahuan dan diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena jual beli jabatan. Selain itu, sejalan dengan laporan KASN pada tahun 2020, hanya 81 instansi (pusat dan daerah) yang menerapkan sistem merit berkategori di atas baik. Sisanya 524 instansi perlu akselerasi, optimalisasi dan internalisasi. Reformasi birokrasi memang masih sebatas slogan. Sistem merit morat-marit, KASN sudah "menyemprit".
Keengganan pegawai untuk tidak mengikuti seleksi bisa jadi karena ini, pelaksanaan yang sekadar basa-basi. "Pengantin" tinggal menanti, "yang bukan pilihan" hanya buat hiburan. Hati dipermainkan, tega nian.
Seleksi yang mengandung problematika, mengundang emosi, karena sudah menghabiskan energi. Pertanyaan mengapa proses dan hasilnya begini, terus berkecamuk dalam hati. Tidak semua orang bisa terima dengan lapang dada, apalagi yang mengalami berulang kali. Seleksi yang terdeteksi berpretensi dengan enam hal tadi hanya meninggalkan kesan tak elok, berjejak jorok dan jadi bahan olok-olok.
====
Penulis adalah Warga Kota Medan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]