Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Demikian amanat konstitusi yang tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Pasal di atas memang terasa ideal bagi masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam jenis suku, agama, ras, budaya, serta adat istiadat, yang telah terlebih dahulu ada dan mendiami nusantara sebelum Indonesia mendeklarasikan diri sebagai suatu negara merdeka. Maka pengakuan terhadap eksistensi dan hak-hak masyarakat adat jelas merupakan suatu keniscayaan.
Namun, dewasa ini kita semakin masif menemukan pemberitaan di media massa bahwa tidak sedikit masyarakat adat yang tidak lagi mendapatkan apa yang seharusnya menjadi haknya. Berbagai masyarakat yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia kerap mendapati hak-hak mereka sebagai masyarakat adat tidak dipenuhi atau mungkin sengaja tidak dipenuhi oleh para pemangku kebijakan.
Adapun peristiwa teraktual yaitu konflik tanah wilayah adat yang melibatkan masyarakat adat Desa Natumingka dengan perusahaan industri bubur kertas milik taipan Sukanto Tanoto, PT Toba Pulp Lestari Tbk (PT TPL). Melansir dari CNNIndonesia.com adapun eskalasi konflik berawal pada saat ratusan petugas keamanan dan karyawan PT TPL datang dengan truk yang penuh dengan bibit eukaliptus untuk ditanami di lahan seluas 600 hektare yang diklaim oleh PT TPL sebagai lahan konsesinya. (Baca : https://www.google.com/amp/s/www.cnnindonesia.com/nasional/20210520061547-20-644514/bentrok-warga-dan-pt-tpl-di-toba-pria-75-tahun-terluka/amp)
Akan tetapi, masyarakat menolak lahan itu untuk ditanami bibit eukaliptus. Mereka membantah klaim sepihak dari PT TPL bahwa lahan seluas 600 hektare tersebut merupakan areal konsesi PT TPL. Masyarakat berkeras bahwa kawasan hutan Natumingka merupakan tanah adat, sedari nenek moyang mereka, sampai kepada generasi saat ini sudah lebih dari ratusan tahun menggantungkan hidup dengan mengolah hasil hutan adat Natumingka. Setelah cukup lama saling bersitegang bentrokan pun tak dapat dihindari. Masyarakat diserang dengan kayu dan batu.
Sebelumnya, masyarakat juga terlibat bentrok dengan pihak PT TPL karena makam leluhur masyarakat adat Natumingka dibongkar oleh pihak PT TPL. Bentrokan yang terjadi pada 18/5/2021 ini menambah panjang deretan peristiwa konflik antara PT TPL vs Masyarakat adat Natumingka, tercatat sekitar 70 warga telah dilaporkan oleh pihak PT TPL ke polisi sepanjang 2020-2021.
Berbagai peristiwa kekerasan, kriminalisasi, intimidasi terhadap masyarakat adat yang berupaya mempertahankan wilayah adatnya terus menerus berlangsung. Masyarakat korban kekerasan mengalami luka-luka, beberapa terpaksa menjalani hukuman penjara akibat upaya mereka dalam mempertahankan hutan adat mereka yang sejatinya sudah diatur dalam konstitusi bahwa masyarakat adat berhak atas hutan adat.
Dari sisi ekologis kehadiran PT TPL juga tak luput dari dampak negatif lainnya. Berdasarkan analisis Walhi Sumut, PT TPL menjadi penyumbang terbesar laju deforestasi di wilayah Sumatera utara dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Salah satu dampak nyata adalah peristiwa bencana banjir bandang yang melanda kota yang tidak jauh dari lokasi Hutan Tanaman Industri (HTI) PT TPL satu bulan yang lalu, yaitu Kota Parapat.
Di saat kawasan Danau Toba telah ditetapkan pemerintah masuk ke dalam Kawasan Pariwisata Prioritas, seharusnya diiringi dengan pembenahan ekosistem di seputar kawasan Danau Toba yang tiap tahunnya masif mengalami deforestasi. Pemerintah perlu melakukan evaluasi dan sangsi tegas terhadap korporasi yang terlibat menyumbang pertambahan luas deforestasi di sekitar kawasan Danau Toba, yang salah satunya adalah PT TPL.
Kehadiran PT TPL di tengah masyarakat adat seyogianya memberi dampak positif dalam membantu meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Namun berbagai tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat, kemudian eksploitasi terhadap hutan, dimana status hutan adat sudah jelas di atur dalam konstitusi merupakan hak dari masyarakat adat sendiri. Tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan oleh para penjajah dahulu terhadap republik ini, mereka datang, menundukkan kita, dan mengeruk segala kekayaan alam yang terkandung di tanah air kita.
Sudah saatnya pemerintah membuka mata terhadap konflik yang menimpa masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan areal industri PT TPL. Serangkaikan panjang konflik atas nama tanah yang menimpa masyarakat adat memerlukan resolusi konflik demi menjaga eksistensi masyarakat adat sebagai unsur yang tak dapat dipisahkan dari republik ini.
Cukup sudah ketidakadilan yang telah dirasakan oleh masyarakat adat Natumingka dan juga masyarakat adat yang tinggal di seputar kawasan Danau Toba. Mereka membutuhkan keadilan.
Tindak tegas korporasi perusak lingkungan!
Tindak tegas korporasi yang menginjak-injak hak-hak masyarakat adat!
====
Penulis Mahasiswa Fakultas Hukum Unja.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]