Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
KEBERADAAN sebatang pohon sangat mudah ditemukan di lingkungan tempat tinggal kita. Namun ada baiknya disadari kembali, apakah pohon yang dapat kita lihat sekarang akan tetap ada puluhan tahun mendatang. Hal ini karena keberadaan pohon berhubungan langsung dengan isu krisis lingkungan yang tengah mengancam keberlanjutan segala kehidupan di masa depan.
Pohon sendiri mempunyai fungsi sebagai penyaring udara kotor (CO2) melalui proses fotosintesis, untuk memproduksi oksigen (O2). Oksigen dari sebuah pohon dapat menunjang kehidupan bagi hidup 2 orang di bawah atmosfer Bumi. Dengan begitu keberadaan pohon kian penting guna mendukung kehidupan 7,8 miliar manusia saat ini. Selain menjaga kualitas udara, pohon mampu mengurangi paparan radiasi sinar Ultraviolet B, yang menjadi penyebab penyakit seperti Kanker Kulit dan Katarak.
Terjadinya pemanasan global yang semakin ekstrim, dipicu karena jumlah pohon terus berkurang sebagai penyedia karbon. Pohon-pohon di jantung paru-paru hutan Indonesia setiap tahun mengalami alih fungsi hutan (deforestasi), diantaranya disebabkan oleh kepentingan pembukaan lahan perusahaan di bidang perkebunan dan pertambangan. Berdasarkan hasil kajian Forest Watch Indonesia (FWI) pada periode 2013-2017 deforestasi hutan alam Indonesia sebesar 5,7 juta hektar dengan 2,8 juta hektar berada dalam konsesi dan 2,9 di luar konsesi.
Deforestasi mengakibatkan disfungsi hutan sebagai wilayah resapan air, mencegah tanah longsor, serta menghilangkan ekosistem di dalamnya. Banyak hewan dengan status dilindungi pun terancam punah hidup di hutan, seperti Orang Utan, Harimau Sumatera, atau pun Badak Jawa. Dimana hutan merupakan rumah sekaligus tempat mereka untuk bertahan hidup dalam rantai makanan. Bila hal ini terus terjadi, hewan dilindungi tersebut mungkin tidak ditemukan lagi alias punah.
Perubahan Orientasi dan Langkah Penyelamatan
Pohon yang tumbuh semestinya tidak sekedar dilihat dari nilai ekonomis, guna disulap menjadi kursi dan meja. Pada abad ke – 21, pandangan manusia yang masih 'Antroposentris', telah menempatkan alam tempat dirinya hidup sebagai objek yang bernilai jual, sehingga dapat di eksploitasi secara besar-besaran. Kenyataannya tindakan tersebut telah menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah. Pandangan ini akhirnya telah memisahkan manusia sebagai salah satu bagian integral dari alam lingkungannya.
BACA JUGA: Alternatif Mengatasi Sampah Plastik
Maka sebagai jalan keluar, muncul pandangan 'Ekosentrisme' mengarahkan manusia harus bertanggungjawab dan menyadari ketergantungan kepada ruang lingkungannya. Kemudian, secara moral memperbaiki kerusakan yang telah manusia timbulkan. Dalam mewujudkan pandangan ini, tentu didukung dengan edukasi masyarakat, instrumen hukum, dan implementasi yang senafas dengan semangat pemulihan tersebut. Sehingga pohon nantinya tidak lagi menjadi perabotan saja, tetapi memiliki nilai penting dalam menyumbang dan memberikan harapan bagi kehidupan di hari esok.
Penyelamatan pohon dapat dimulai dari upaya sederhana, misalnya saja dalam pengurangan penggunaan kertas. Apalagi di tengah Pandemi Covid-19, aktivitas kerja jarak jauh yang membutuhkan kertas dapat dimaksimalkan dengan penggunaan dokumen elektronik. Peralihan penggunaan kertas ke dokumen elektronik, secara tidak langsung akan mengurangi penebangan pohon. Sebab bahan baku kertas berasal dari pohon eucalyptus yang diolah dalam industri.
Selain itu, kebutuhan ekonomi masyarakat yang hidup dari hutan juga semakin kompleks sering melatarbelakangi banyak kasus pembalakan liar (illegal logging). Dalam mengatasi hal tersebut, pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dapat dimanfaatkan dengan baik tanpa harus menebang pohon. Beberapa komoditas seperti Rotan, Bambu, Madu, dan lain-lain bisa dikelola kelompok masyarakat menjadi bahan baku dan produk yang bernilai tinggi untuk dipasarkan.
Untuk memulihkan hutan yang telah rusak, program ‘Reboisasi’ menjadi solusi. Reboisasi merupakan penanaman pohon pada areal hutan yang gundul, untuk mengembalikan fungsinya sedia kala, sebagai cadangan air, dan pemulihan ekosistem. Meskipun upaya ini sudah sering dikampanyekan, tantangan utamanya yaitu pada rendahnya atensi publik yang sering dianggap hanya menjadi simbol. Langkah lain yang lebih sederhana juga bisa melalui ‘Penghijauan’ yang bisa dimulai di pekarangan rumah atau pada tempat-tempat gersang yang dapat di-hijau-kan.
====
Penulis adalah Koordinator Bidang Pengelolaan Pengetahuan, Hutan Rakyat Institute (HaRI).
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]