Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
“Perubahan adalah satu-satunya bukti kehidupan"-(Evelyn Waugh)
"Bukan yang terkuat yang bertahan, melainkan mereka yang paling adaptif menghadapi perubahan" (Charles Darwin)
Mendengar kata mahasiswa, yang tergambar adalah manusia terdidik. Lebih jauh, pada sebutan itu tergambar harapan baru; untuk perubahan.
Doktrin tentang mahasiwa sebagai agen perubahan dan kontrol sosial (agent of change and social control) dianggap masih relevan. Namun, kata agen ini yang acapkali ditatsir keliru. Doktrin itu hanya sampai pada diskursus dan gerakan perlawanan dan kritik saja.
Kita perlu menggeser istilah itu lebih maju; pelaku perubahan. Mahasiswa mestilah hadir langsung di tengah kehidupan masyatakat. Membersamai suka-duka masyarakat. Dengan itu, kepekaan sosial akan lebih terasah.
Sering kali mahasiswa menjadi asing, menjadi alien di tengah-tengah masyarakat. Mestinya mahasiswa menjadi jembatan hubung antara masyarakat dengan pemerintah. Juga sekaligus menjadi "mata-telinga bantu" bagi pemerintah; menemukenali persoalan di tengah masyarakat.
Ini peran penting. Karena birokrasi yang bertujuan mempermudah pelayanan publik, tak jarang malah menjadi penghambat (buffer). Pada kondisi itulah mahasiswa perlu hadir sebagai penyambung lidah rakyat.
Tidak sekadar "mengangkat toa" di jalanan menyuarakan perubahan. Lebih dari itu, mahasiswa mestilah menjadi "pelaku perubahan". Ia mesti menginspirasi, menjadi pionir dan terjun langsung mengambil peran konkret.
Pandemi dan Gejolak Sosial-Ekonomi
Pada 28 Mei 2020, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyatakan 1 dari 6 kaum muda berhenti bekerja akibat merebaknya pandemi virus corona (covid-19).
Karenanya, ILO menyerukan diambilnya kebijakan besar untuk mendukung kaum muda, termasuk program yang memastikan lapangan kerja/pelatihan yang luas di negara-negara berkembang serta di negara dengan pendapatan ekonomi rendah dan menengah.
Apa peran yang mesti diambil mahasiswa? Pertama sekali, menumbuhkan kesadaran diri sendiri bahwa dunia sedang mengalami perubahan besar; goncangan di bidang ekonomi dan sosial. Menyadari perubahan, seperti kata Einstein, langkah paling baik adalah beradaptasi dengan perubahan itu.
Selain mahir pada disiplin ilmu khusus, mahasiswa dituntut agar "well know" di banyak bidang. Harus memantapkan dan memantaskan diri.
Revolusi Industri 4.0 dan bonus demografi berlari kencang beriringan. Ia menjadi peluang sekaligus hambatan. Revolusi Industri 4.0 menyajikan mesin-mesin kerja minim tenaga manusia, sementara bonus demografi menyajikan laju tumbuh usia produktif. Akan banyak pengangguran jika kelompok muda usia produktif tidak memiliki hard skill dan soft skill yang memadai.
Evaluasi dan Proyeksi untuk Aktivis Mahasiswa
Anies Baswedan di tahun 2006 pernah melakukan tesis dalam tulisan ”Siapakah Ruling Elite Indonesia?”. Anies berpendapat bahwa ruling elite adalah sekelompok elite—di antara kaum elite-elite yang lain—yang berkuasa menentukan arah kehidupan bangsa dan negara. Tesis yang diajukan di sini adalah pembentukan ruling elite ditentukan oleh (1) perekrutan anak-anak muda, dan (2) tren utama bangsa. Trend utama bangsa ini berubah dari satu masa ke masa berikutnya seiring dengan perjalanan sejarah. Anak-anak muda yang pada masa mudanya terlibat dalam tren utama yang mewarnai bangsa ini kelak akan menjadi aktor-aktor di dalam ruling elite.
Menurut Anis, setelah tahun 2020 akan lahir ruling elite baru yang eksis sejak tahun 1990-an hingga hari ini untuk memegang tampuk kekuasaan pada tahun 2020-an. Dan mereka ialah kelompok pengusaha.
Sudah siapkah aktivis mahasiswa menyongsong trend baru seperti yang diprediksikan oleh Anies Baswedan bahwa ruling elite pada masa kini adalah dari kalangan pengusaha?
Mari kita lihat, seberapa besar porsi perhatian organisasi mahasiswa terkait isu wira usaha? Adakah kurikulum yang cukup tentang enterprenurship dalam perkaderan HMI, GMNI, PMII, GMKI, PMKRI, IMM, HIMMAH dan organisasi sejenis? Seberapa serius BEM dalam gerakan kewirausahaan kampus?
Agaknya, kader HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) dan perguruan tinggi lebih siap menghadapi perubahan gejolak ekonomi-sosial. Padahal organisasi pengusaha muda itu baru lahir tahun 1972. Jauh lebih muda dibanding usia organisasi mahasiswa kelompok Cipayung.
Bisakah organisasi mahasiswa mengimbangi dan melampauinya (capaian HIPMI)? Kenapa tidak? Justru leadership course dengan soft skill aktivis mahasiswa jika dipadu dengan mental enterpreneurship tentu lebih canggih. Lebih siap menjadi ruling elite berikutnya.
Coba kita lihat jajaran menteri berlatar belakang HIPMI. Erik Tohir, Sandiaga Uno, Muhammad Lutfi dan lain-lain. Mereka itu pentolan HIPMI. Adakah contoh elite yang berlatar belakang pengusaha (HIPMI) juga aktivis mahasiswa? Ya, sebut saja Bahlil Lahadalia. Beliau salah satunya.
Sampai di sini bagaimana? Masihkah aktivis mahasiswa mempertahankan paradigma lama?
====
Penulis Ketua KNPI Sumut.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]