Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pasal penghinaan terhadap presiden/wakil presiden kembali muncul dalam RUU KUHP. Tepatnya dalam Pasal 218 RUU KUHP yang berbunyi "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda". Kemudian dalam ayat (2) berbunyi "Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri". Pasal ini menimbulkan polemik di masyarakat sebab berpotensi untuk membatasi kebebasan masyarakat dalam mengkritik kebijakan Presiden. Meskipun demikian, hal ini telah dibantah oleh Wakil Menteri Hukum HAM, Eddy Hiariej, yang mengatakan bahwa pasal penghinaan presiden tidak akan digunakan untuk memenjarakan mereka yang mengkritik kebijakan pemerintah.
Namun, pernyataan tersebut tidak serta-merta dapat diterima oleh masyarakat. Sebab, memasukan kembali pasal penghinaan presiden/wakil presiden menjadi persoalan serius, di antaranya, pertama, berpotensi menjadi pasal “karet”. Sebab akan sulit melihat apakah suatu tindakan tersebut termasuk dalam penghinaan atau kritik.
Misalnya, seseorang melakukan kritik dengan disertai atau diikuti menghina maka yang dipidana adalah perbuatan penghinaannya. Tetapi, bentuk penghinaan seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana juga tidak memiliki parameter yang jelas. Hal ini kemudian menjadikan pasal ini rentan untuk disalahgunakan, sebab rumusan norma tidak jelas dan dalam penerapannya berpotensi merugikan hak-hak masyarakat dalam menyampaikan pendapat.
Di samping itu, menurut Prof Jimly Ashiddiqie yang mengatakan, bahwa presiden merupakan institusi, bukan makhluk hidup yang punya hati dan perasaan, sehingga apabila presiden merasa dirugikan dia dapat langsung menuntut dalam kapasitasnya sebagai pribadi bukan sebagai institusi presiden.
Kedua, bertentangan dengan Putusan MK. Pada 2006 MK melalui Putusan 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHP tentang penghinaan presiden/wakil presiden dalam KUHP inkonstitusional atau bertentangan dengan konstitusi. Dalam pertimbangannya, MK menilai bahwa Pasal penghinaan presiden/wakil presiden tidak relevan dengan kondisi Indonesia saat ini yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 UUD 1945.
Meskipun dalil dari perumus RUU KUHP menyatakan pasal penghinaan terhadap presiden/wakil presiden berbeda dengan pasal yang telah dibatalkan oleh MK dikarenakan terletak pada delik aduan. Yang artinya, hanya dapat diproses apabila terdapat pengaduan secara langsung oleh presiden/wakil presiden.
Namun, secara substansial tidaklah berbeda. Sebab, jika melihat kembali pertimbangan MK yang mengamanatkan bahwa agar RUU KUHP sebagai upaya pembaharuan hukum dari warisan kolonial Belanda juga tidak lagi memuat pasal-pasal yang isinya sama atau mirip dengan pasal penghinaan presiden yang telah dibatalkan. Dengan demikian, MK memberikan imbauan agar RUU KUHP tidak lagi memasukan pasal penghinaan presiden/wakil presiden.
Oleh karena itu, memasukan kembali pasal penghinaan terhadap presiden merupakan bentuk pembangkangan terhadap Putusan MK. Sehingga masyarakat bisa menolak dengan dasar bahwa MK telah membatalkan Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 dalam KUHP yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan memerintahkan untuk tidak mengatur kembali delik penghinaan Presiden/Wakil presiden. (Ajie Ramdan: 257).
Ketiga, tidak sejalan dengan Internasional Convenant on Civil and Political Right (ICCPR). Indonesia sendiri telah meratifikasi ICCPR melalui UU No 12 Tahun 2015. Di dalam Poin (a) prinsip ke-4 Pasal 19 ICCPR merekomendasikan negara-negara yang menandatangani ICCPR untuk menghapuskan dan mengganti mekanisme penyelesaian perkara pencemaran nama baik melalui mekanisme perdata. Artinya, menggunakan instrumen pidana dalam penyelesaian pencemaran nama baik tidaklah tepat selain tidak sejalan dengan ICCPR, juga tidak sesuai dengan asas hukum pidana yakni sebagai upaya terakhir atau ultimum remedium.
Jaminan Kebebasan Hak Berpendapat
Dalam Pasal 28E ayat (3) UUD yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat". Basis legitimasi ini yang kemudian negara harus menjamin kebebasan setiap individu untuk menjalankan haknya termasuk menggemukkan pendapat. Dalam rangka menjamin HAM tersebut maka negara mempunyai kewajiban yakni, menghormati, melindungi, dan memenuhi.
Oleh karena itu, untuk menjamin kebebasan individu dalam rangka menyampaikan pendapat, maka pasal penghinaan presiden tidak semestinya dimasukan dalam RUU KUHP, selain pasal ini berpotensi disalahgunakan juga menimbulkan rasa takut di masyarakat untuk menyampaikan kritiknya. Sebab bagaimanapun kritik itu diperlukan dalam bernegara agar pemerintah tidak melenceng dari amanat konstitusi.
====
Penulis Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]