Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya mulai dari sini: siapa pemimpin yang tanpa pembenci? Donald Trump, meski dielu-elukan warganya yang fanatik agama (Kristen), ia juga dikeluhkan banyak warganya. Berkali-kali kita lihat bagaimana fotonya diinjak-injak. Dibuat patung menyerupai dirinya lalu dipukuli ditempat umum, bahkan divideokan lalu disebar. Saat itu, ada mainan baru bagi warga: memukuli patung Donald Trump. Jangan tanya berapa banyak cuitan tentangnya yang dikaitkan dengan kebodohan. Namun, sampai ia selesai menjabat, ia tak melaporkan warganya. Ia bebaskan warga untuk mengkritik, bahkan menghina tepatnya.
Turun ke negara kita, apakah Jokowi disukai semua warga? Tentu saja tidak. Ada begitu banyak yang menjadi haters. Fotonya diinjak-injak. Fotonya diedit lalu dibuat menyerupai, maaf, binatang. Kadang babi. Kadang anjing. Namun, sampai saat ini, saya masih belum melihat Jokowi sebagai presiden dan secara personal melaporkan warga. Memang, ada laporan terkait keberatan karena menghina Pak Presiden. Namun, itu bukan dari Pak Jokowi. Itu dari relawan. Entahlah saya yang belum jauh berjalan. Intinya, sejauh ini, saya belum melihat Pak Jokowi melaporkan warga.
Pernah di negara kita seorang presiden melaporkan warganya. Dia adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Ia lantas menjadi serupa dengan bupati. Di negara kita ini, pejabat dengan level bupati pernah melaporkan warganya. Saya berselancar dari google. Di halaman pertama, hanya ada dua bupati yang melaporkan warga. Itu pun karena sudah mengarah pada penghinaan secara pribadi dan pencemaran nama baik. Kebetulan, kedua bupati itu adalah wanita: ada Nurhidayah dari Kotawaringin dan Mirna Anisa dari Kendal. Belum ada bupati pria di halaman pertama dari google.
Mau yang lebih spektakuler? Jangankan nabi, bahkan Yesus sebagai Tuhan dalam kepercayaan Nasrani juga mempunyai banyak pembenci. Ia disalibkan, diludahi, dan ditelanjangi. Masih wajar jika yang membenci adalah para bangsawan atau pejabat kerajaan. Sebab, pada saat itu, Yesus seperti mendobrak kemapanan para bangsawan, bahkan agamawan Yahudi. Faktanya, salah satu murid pilihan Yesus justru sangat membenci-Nya lalu menjual-Nya kepada para penjahat. Pada akhirnya, murid itu menyesal. Tapi, penyesalannya tak bisa mengubah apa-apa. Yesus tetap disalib, dihina, dan diludahi.
Jika harus diurutkan, terlalu banyak penghinaan kepada para pemimpin. Leiden is lijden atau memimpin adalah menderita, begitu pepatah Belanda yang menjadi pijakan pemimpin pertama negeri ini. Menderita karena banyak hal. Kemiskinan salah satunya. Namun, apa arti kemiskinan? Banyak orang yang menyandang status itu, bahkan semiskin-miskinnya. Karena itu, yang membuat memimpin lebih menderita adalah cacian dan makian warga. Mereka bekerja untuk warga, namun mereka justru dimaki dan dimarahi. Menderita sekali.
BACA JUGA: Ormas Batak, Ayo Sambut Bang Togu Simorangkir dan Tim di Jakarta
Tetapi, filosofi pemimpin itu justru terletak pada seni untuk bisa tidak menderita bahkan pada posisi sangat menderita sekalipun. Jika ia seolah menderita padahal tidak, ia bukan pemimpin, melainkan orang cengeng. Orang cengeng bukan pemimpin, melainkan kanak-kanak. Pemimpin itu harus dewasa dan besar hati. Walau begitu, pemimpin itu jangan disamakan dengan bos besar. Bos itu menggunakan kewenangan untuk menang. Pemimpin sebaliknya. Ia tak selalu berusaha untuk menang meski jalan itu mudah baginya. Namun, untuk apa ia menang jika harus mengalahkan bawahannya. Kemenangan macam apa itu?
Pemimpin itu juga tak pernah ingin membenarkan diri sekalipun ia sudah benar. Antonio De Saint-Exupery mempunyai istilah untuk ini. Katanya, pemimpin adalah ia yang mengatakan, 'Saya kalah'. Ia tidak mengatakan, 'Anak buahku kalah' ". Sekali lagi, pemimpin itu bukan bos. Ia tak selalu harus disanjung. Ia tak selalu harus dinomorsatukan. Justru, kata Walter Lippmann, ujian terakhir seorang pemimpin adalah ketika dia bisa berada di belakang orang lain untuk menjalankan keyakinan dan kemauannya. Saya percaya, pejabat negara bukan bos. Mereka adalah pemimpin.
Dan, seperti diutarakan di atas, pemimpin bukan kemegahan. Menjadi pemimpin adalah menjadi abdi. Orang Batak menyebutnya menjadi parhobas, menjadi pelayan. Saya tahu, Pak Dosmar pernah berkata bahwa ia menjadi parhobas. Artinya, ia dipilih untuk melayani, bukan dilayani. Lihatlah di pesta-pesta adat. Parhobas sering dimarahi parhata. Disuruh untuk memberikan cuci tangan, tiba-tiba disuruh pula untuk memberi piring. Parhobas dongkol. Tetapi, sebagai parhobas ia akan tunduk. Ia kerjakan perintah parhata dengan baik. Pesta pun berjalan dengan lancar.
Saya tak sedang mengatakan bahwa pemimpin harus selalu disalahkan. Selalu ada titik-titik kewajaran, tentu saja. Pemimpin wajar untuk membela dirinya. Namun, jika tujuannya adalah untuk membela dirinya dengan melaporkan warganya, lantas pemimpin macam apakah dia itu? Memang, jika kita periksa terkait apakah seorang pemimpin benar melaporkan warga, tentu saja itu benar. Bahkan sangat benar. Tetapi, pemimpin tak boleh berhenti sebatas benar saja. Jika hanya sebatas benar, maka ia bukan pemimpin. Ia adalah siswa yang sedang ujian mencari jawaban yang benar supaya dapat nilai yang tinggi.
Karena itu, oemimpin harus bisa lebih dari benar. Apa itu? Bijaksana. Jujur saja, saya merasa tak bijaksana jika seorang pemimpin melaporkan warga yang sedang menuntut haknya. Soal itu benar, ya, itu benar. Tetapi, sama sekali itu tak bijaksana. Andai pemimpin kita dari dulu puas pada posisi benar sesuai aturan hukum, sudah berapa banyak warga yang menjadi pesakitan karena dilaporkan oleh pemimpin yang memang punya kewenangan besar. Namun, untunglah, pemimpin kita masih bijaksana, bukan berhenti pada benar tak benar.
Ada demonstrasi, mereka dengarkan, bukan malah dilaporkan. Ada yang ditangkap? Tentu saja ada. Tetapi, bukan atas laporan pemimpin itu, melainkan karena sudah terlalu onar dan anarkis lalu ditangkap aparat. Itu pun, tak sedikit yang dipulangkan tanpa sanksi. Sangat bijaksana andai Pak Dosmar sebagai pemimpin dan parhobas mendengarkan keluhan warganya. Jika ia harus melaporkan warga yang memang kurang beretika dalam menyampaikan tuntutan, meski itu benar, namun apa perbedaan Dosmar sebagai pemimpin dengan masyarakat sebagai warga biasa?
Jujur saja, saya tak mengatakan demonstran benar secara etika. Mereka salah. Dan, tujuan pemimpin adalah mengarahkan mereka ke jalan yang benar. Caranya, dari teori B.F.Skinner dalam Quantum Teaching, masuki dunia mereka lalu bawa mereka ke duniamu. Teknisnya mudah: terima mereka dengan benar, dengarkan, lalu arahkan ke dunia kita. Sekali lagi, Dosmar tak salah. Ia benar. Ia, misalnya, melihat bahwa hanya kain sarung yang terlihat. Belum tentu ada orang di sana dan itu sangat masuk akal. Namun, sebagai pemimpin, mestinya jangan menjawab ala kadarnya. Bertanya boleh, mempertanyakan jangan.
Apalagi konon, sudah berhari-hari berlalu sejak adegan tandu-menandu itu dibuat. Andai ia bijaksana, ia akan pergi memastikan apakah itu orang atau tidak. Ia akan berkunjung, bukan malah diam lalu menjawab seolah bertanya: apakah ada orang di sana atau tidak. Yang jauh lebih bijaksana, ia akan tahu bahwa pesan terjauh dari tindakan itu, andai ia yakin yang ditandu bukan orang, adalah supaya jalan itu segera diperbaiki. Kita sering melihat aksi serupa seperti memancing di jalan raya karena banjir. Tindakan itu salah. Untuk apa memancing jika tak ada ikan? Namun, pemimpin yang bijaksana tak akan berkata: ngapain mereka memancing di jalan raya yang tak ada ikannya?
Insan bertipikal pemimpin juga tak akan berbuat ini: karena memancing di jalan raya, menimbulkan kemacetan, lantas ia mengadukannya kepada pihak berwajib atas nama mengganggu kenyamanan. Tindakan itu, sekali lagi, benar adanya. Namun, sama sekali tak bijaksana. Persoalan seberat apa pun, sebagai pemimpin, mestinya bisa menjawabnya dengan bijaksana. Apa yang dilakukan wakil bupati Oloan Nababan, misalnya, sangat bijaksana. Ia berkunjung ke sana secara langsung. Ia seolah membenarkan bahwa yang ditandu itu adalah manusia meski dalam alur logika, mustahil dalam sarung tipis itu ada manusia.
Pada intinya, sebagai warga, saya hanya berharap Bapak Dosmar lebih arif dan bijaksana. Pemimpin tidak soal benar atau tak benar. Ia harus bisa melihat hal-hal jauh (visioner). Nah, karena kebetulan kita sama-sama Nasrani, maka saya akan mengambil kisah Yesus di mana Ia tetap memilih Judas Iskariot sebagai murid meski Ia tahu, dengan memilih Judas, maka Ia akan menderita dan dihina, bahkan akan mati dengan cara paling hina: disalibkan. Mengapa Yesus memilih Judas?
Banyak jawaban yang bisa diambil. Namun, saya membacanya dengan sangat sederhana: Yesus hendak memberikan pelajaran kepada kita bahwa menjadi pemimpin berarti harus siap menderita, bahkan dihina. Jika saja kita belum siap seperti ktu, sesekali jangan berani untuk melamar sebagai pemimpin. Cukuplah menjadi rakyat agar masih bisa untuk puas pada benar tak benar. Apa yang saya lakukan ini, misalnya, puas pada benar tak benar. Belum tentu niat saya menulis ini bijaksana. Ingin sih langsung menyampaikannya secara personal dan bukannya terbuka, tapi tak ada jalur yang pas.
Oh, iya, saya akhiri dengan mengingatkan tulisan ini sesuai dengan judul. Di judul itu sengaja saya cantumkan ada kata "pemimpin". Sebab, jauh dalam hati saya, saya percaya bahwa Bapak sesungguhnya adalah pemimpin. Saya juga yakin, karier kepemimpinan Bapak tak sampai di level ini saja. Bisa jadi gubernur Protap. Atau paling tidak, bisa mencetak para pemimpin-pemimpin baru lainnya. Cepat sembuh Pak Bupati. Maaf, surat ini saya tuliskan terbuka meski juga sudah saya japri kepada Bapak melalui IG. Saya ingin, tulisan ini baiknya personal. Namun, saya ragu, tulisan itu dibaca oleh Bapak sebagai pribadi. Sebab, umumnya IG tokoh dikelola oleh admin atau tim. Jadi, ketika tak direspons, saya berpikir, IG tersebut dikelola oleh tim atau admin sehingga saya memutuskan menuliskannya secara terbuka dengan tujuan, Bapak bisa membacanya di sela-sela kesibukan.
Salam hormat dari salah satu wargamu yang belum cukup dewasa...
====
Penulis Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul, Aktif di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan di Toba Writers Forum (TWF).
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]