Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Kehadiran PT Toba Pulp Lestari (TPL), dulu bernama PT Inti Indorayon Utama (IIU), di Porsea, Kabupaten Toba, kembali menuai protes dari masyarakat. Polemik ini seakan tak berkesudahan dengan hadirnya petisi di platform change.org agar PT TPL ditutup dan tanah yang ditanami eukaliptus dikembalikan ke masyarakat lokal.
Persoalan utamanya adalah kian hilangnya hutan pinus secara berlebihan di kawasan Danau Toba (KDT). Awal berdiri IIU, masyarakat sipil (LSM, Walhi) dan Kementerian Lingkungan Hidup tidak setuju terkait dengan lokasi pabrik di hulu Sungai Asahan dan pertimbangan ekosistem Danau Toba. Masyarakat lokal juga menolak karena diperlakukan kurang adil dalam masalah tanah adat.
Namun dengan arogansi pemerintahan saat iu, segala penolakan masyarakat diamputasi dan dianggap angin lalu. Kesejahteraan yang dijanjikan kepada masyarakat lokal tidak bisa dipenuhi, malah yang terjadi sebaliknya, yakni menimbulkan penderitaan dan konflik sosial. Mudaratnya lebih banyak ketimbang manfaatnya. Sekadar menyebut contoh ledakan sebuah tangki gas PT IIU pada 5 November 1993 menimbulkan ketakutan bagi ribuan warga dan mereka harus mengungsi karena takut cacat (Kompas, 12/11/1993).
Masyarakat lantas diingatkan kembali ketegangan antara pemilik dan penduduk setempat hingga IIU ditutup tidak beroperasi pada 1999. Persoalan yang diajukan masyarakat mulai masalah lingkungan hidup yang udaranya berbau busuk, penyakit gatal-gatal karena air Sungai Asahan tercemar, hingga rusaknya jalan oleh berbagai truk yang mengangkut bahan baku. Pabrik yang menggunakan dan menghasilkan bahan beracun berbahaya (B3) ini seharusnya memperhatikan tata ruang yang mengacu pembangunan berkelanjutan dalam pemilihan lokasi pabrik.
Penolakan masyarakat bisa dipahami jika mengacu pada buku Silent Spring diterbitkan sekitar 60 tahun lalu. Penulisnya Rachel Carson, bersaksi tentang sunyinya musim sepi dari kicau burung karena telur-telur burung pecah sebelum menetas akibat pemakaian berlebihan pestisida. Silent Spring menyajikan data dan kondisi lingkungan yang terganggu oleh pestisida sintetik, terutama DDT (diklorodifeniltrikloroetana).
Carson berpendapat bahwa DDT tidak hanya membunuh hama tetapi juga memutus mata rantai makanan yang mengancam populasi burung dan akhirnya warga sekitar terpapar senyawa karsinogenik. Persolaan etika lingkungan dalam bisnis merupakan marwah Silent Spring. Binis pestisida yang melibatkan berbagai aspek kehidupan, terutama di bidang pertanian akan mengganggu ketersediaan bahan pangan bagi umat manusia.
Keresahan yang dituliskan dalam Silent Spring menjadi pemicu lahirnya gerakan lingkungan hidup di berbagai belahan dunia. Jika tak ada kegalauan Carson saat itu, mungkin penduduk bumi akan terus terlena dan seakan rumah bersama ini dalam keadaan baik-baik saja. Silent Spring bergulir menjadi bola salju yang menetaskan penggunaan DDT dilarang di Amerika Serikat tahun 1972. Buku itu juga menginspirasi gerakan lingkungan yang mendorong pembentukan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA) AS.
Semakin Meranggas
Setelah hampir 38 tahun kehadiran TPL, penduduk sekitar KDT dihadapkan pada satu kenyataan pahit saat rumah bersama mereka semakin meranggas. Bahkan, semakin hari, tingkat pencemaran dan penghancuran lingkungan hidup semakin tidak terkendali. Danau Toba perlu pemulihan dengan memelihara kuantitas dan kuliatas air danau yang secara langsung ditentukan oleh kelestarian hutan-hutan di daerah tangkapan air Danau Toba. Pemerintah pun harus menindak tegas perusahaan perusak lingkungan KDT.
Keindahan alam Danau Toba, itulah yang terlintas di benak jika setiap mendengar kota Medan dan Sumatera Utara. Danau Toba yang sudah menjadi landmark Sumatera Utara itu telah ditetapkan sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia. Namun, keindahan ini kian sirna akibat ulah sekelompok orang atau masyarakat yang menguras madu sumber daya alamnya dengan melakukan penebangan hutan secara illegal. Luas dan fungsi hutan sekitar KDT terus berkurang karena alih fungsi, penebangan pohon dan kebakaran hutan. Kerusakan pun makin massif dari waktu ke waktu.
BACA JUGA: Obituari: Frietz R Tambunan, Rektor Unika Si Pembawa Perubahan
Perusakan hutan KDT kini bermuara pada ancaman kelaparan pada warga sekitar. Menurut petani lokal, diwawancarai penulis beberapa waktu lalu, mengaku pada 1970-an hingga 1980-an hasil panen padi mereka bisa cukup untuk kebutuhan hidup selama 6 bulan. Namun sekarang hanya bertahan 2 bulan karena usaha pertanian mengalami krisis air. Sistem irigasi yang dulu dikelola Raja Bondar sudah tidak berfungsi lagi sebab sumber air yang semakin mengering.
Secara ekologis, manusia bertanggung jawab atas semua bencana kerusakan hutan di KDT. Tidak perlu mencari kambing hitam dengan menuding ada illegal logging dan musim kemarau panjang yang memantik kebakaran hutan. Manusia mesti dipersalahkan karena ia memiliki akal budi untuk menata pembangunan berkelanjutan. Yakni pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa mengurangi potensi pemenuhan kebutuhan masa mendatang.
Akal budinya memutuskan apakah baik atau tidak membabat hutan secara membabi buta untuk kepentingan perusahaannya. Manusia bersalah, tuduhan ini sah! Ia menebangi pohon semaunya demi keuntungan pribadi atau perusahaannya. Keseimbangan alam KDT pun terganggu. Potensi penyakit baru bisa muncul karena udara dan air tercemar limbah industri.
Tragedi Minamata, Bhopal dan Chernobyl adalah serpihan contoh dampak ketidakpedulian manusia pada keseimbangan alam yang menetaskan penderitaan. Romantisme yang disuguhkan hutan KDT yang rimbun, hijau dan riak air mengalir kini hanya menjadi kenangan di masa mendatang.
Merevitalisasi sikap bersahabat dengan alam patut digagas menjadi sebuah paradigma baru di KDT. Kepedulian lingkungan bukan sekadar wacana besar dalam pidato politik ketua partai dan Bupati. Ia menjadi sesuatu “conditio sine qua non” jika manusia ingin hidup tenang dan damai. Persahabatan dengan alam adalah hubungan yang tidak saling bermusuhan. Manusia menerima alam sebagai sahabat dengan menjauhkan sikap egosentrisme dan antroposentrisme.
Pemulihan ekosistem KDT menjadi sebuah keniscayaan untuk membawa kesejahteraan. Masyarakatnya akan bisa kembali menyanyikan lagu lama “ O Tao Toba, Rajani sudena Tao – O Danau Toba, Raja semua Danau” yang gaungnya sudah lama tak terdengar. Semoga!
====
Penulis Guru Besar Tetap Unika Santo Thomas Medan, Pendiri dan Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser).
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]