Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
(Benggol di Penggalian Pertama dan Hal-hal Mistis Itu)
MITOLOGI Sisingamangaraja sudah banyak didengar. Namun, ada seperti keterlupaan dari kita bahwa Sisingamangaraja sudah pasti Patuan Bosar atau Ompu Pulo Batu. Artinya, ada kesan, jika mendengar Sisingamangaraja, dari Sisingamangaraja ke-1 sampai ke-12, maka yang awet dalam ingatan kita adalah Sisingamangaraja XII.
Tentu, ini sebuah keterlupaan kita. Sebab, Sisingamangaraja adalah sebuah dinasti. Pikiran logis tahu bahwa jika ada yang ke-12, pasti ada ke-11. Jika ada ke-11, pasti ada ke-10. Demikian seterusnya. Dan, dalam catatan mitologi, kita sama sama tahu dan itu mudah dibaca bahwa Sisingamangaraja I-XII memang ada.
Tetapi, di daerah Bakara (dulu Dairi Bagasan), di mana Istana Sisingamangaraja I-IX adalah pertanyaan yang sulit dijawab. Apakah memang yang I-IX tidak di Bakara? Kalau tak di Bakara, di mana? Kalau di Bakara, di mananya istananya?
Ada pertanyaan yang jauh lebih sulit. Di mana makam Sisingamangaraja I-IX? Apakah raib begitu saja karena ia gaib? Apakah ia tak pernah mati sehingga tak ada makam? Kalau tak mati, mengapa X-XII mengalami kematian? Banyak pertanyaan yang lebih sulit. Namun, Sang Khlalik memberi anjuran: carilah maka akan kamu dapatkan.
Dalam kurang lebih 2-3 minggu ini, kami dengan Tim dari Balai Arkeologi Sumatera Utara mencoba mencari Jejak Sisingamangaraja. Ada yang mengejutkan menurutku di penggalian hari pertama. Kejutan pertama, misalnya, ditemukannya pecahan genteng pada permukaan speed pertama. Genteng? Apa yang spesial dengan genteng? Begini! Huta Ginjang Dolok di Desa Sinambela termasuk desa tua. Desa ini dibuka oleh Op Humutur Sinambela.
Op Humutur adalah anak dari Raja Pareme. Berarti, ia selevel dengan Raja Sisingamangaraja I yang merupakan keturunan dari Bona Ni Onan. Bona Ni Onan adalah adik Raja Pareme. Desa ini baru ditinggalkan di awal 2000. Berarti, desa ini sudah menyimpan banyak kisah. Desa ini juga sudah menyaksikan beberapa sejarah.
Ia saksikan danau yang dulu permukannya masih sampai hingga pinggiran Tobbak Sulu-sulu. Kini, air danau sudah jauh surut dari Tobbak sulu-sulu. Ia saksikan perang Padri yang konon adalah pembalasan seorang urat darah ke pamannya. Ia saksikan orang-orang dari gunung membakar Istana di Desa Lumban Raja. Ia saksikan Sisingamangaraja sudah tiada dari generasi pertama hingga terakhir.
Baik, kita langsung pada poinnya: desa tua ini baru ditinggalkan tahun 2000-an. Menurut saksi hidup, pada saat itu, Rumah Bolon tak lagi menggunakan ijuk sebagai atap. "Dari dulu sudah genteng," ucap seorang tenaga lokal. Saya berpikir, jika genteng sudah ada, maka benih kemajuan sudah cepat merambat ke desa ini.
BACA JUGA: Ormas Batak, Ayo Sambut Bang Togu Simorangkir dan Tim di Jakarta
Pada speed kedua penggalian, kami menemukan tembikar dan serpihan periuk tanah. Ada yang sudah bercorak. Pada speed kedua di titik lain, tepat di bawah Rumah Bolon, kami juga menemukan tulang binatang. Wajar karena bawah rumah panggung dulu juga digunakan sebagai tempat ternak.
Namun, konon, bawah rumah panggung juga digunakan untuk menguburkan ari-ari, anak kecil yang meninggal, istri yang meninggal. Bawah panggung juga digunakan untuk tempat kegiatan kegiatan produktif lainnya. Seumpamanya, misalnya, kadang, Ibu akan bertenun di sana.
Pada speed ketiga, kami menemukan benggol. Benggol adalah mata uang yang diciptakan Belanda. Mata uang ini sudah sangat tua dan dicetak mulai 1800-an dan berakhir dicetak pada 1945. Koin Benggol berlaku hingga zaman kemerdekaan, sekitar tahun 1950-an.
Benggol pasti banyak juga beredar. Sebab, koin Benggol dicetak dengan jumlah yang bervariasi setiap tahunnya. Pencetakan paling sedikit terjadi pada 1896, sebanyak 1.120.000 keping. Sementara pencetakan koin terbanyak terjadi pada 1945. Saat itu, koin Benggol dicetak 2000.000 keping.
Laboratorium nanti akan memastikan sejauh mana logam benggol ini sudah larut dalam peradaban di Bakara. Seperti diketahui, Bakara adalah anugerah. Tanahnya subur, batunya kokoh, airnya melimpah. Jika digali, banyak pelajaran yang bisa didapatkan.
Seyogianya, tujuan dari penelitian bukan mencari batu, tulang, emas, keramik, tembikar, dan semacamnya. Tujuan sejati dari penelitian arkeologis adalah mencari makna makna untuk kemudian bisa dicangkokkan pada skala makro dalam upaya pemajuan budaya. Karena itu, pembangunan setiap daerah oleh pemerintah semestinya mempertimbangkan output dan outcome dari penelitian.
Sekali lagi, tujuan dari penelitian arkeologis bukan untuk mengangkut dan mencari barang. Kalau itu tujuannya, mending pakai traktor seperti para petambang yang meratakan pegunungan dan melahap hutan sesuka hatinya seakan gunung itu ditimbun oleh moyangnya, seakan hutan itu dirawat oleh leluhurnya.
Matahari mulai tidak kelihatan. Sepertinya sore akan tiba. Kami pun turun. Di kejauhan, danau seperti bernyanyi entah nyanyian apa, danau seperti merintih entah rintihan apa? Mungkinkah danau itu merintih bahwa jika tak diperhatikan, ia akan surut, surut, dan terus semakin surut hingga akhirnya kerontang?
Entahlah. Barangkali kamu akan berkata: danau masih lama untuk surut. Atau, itu hanya mitos bagimu. Kita tak tahu, segalanya dimulai dari mitos. Jika mitos adalah fakta yang dilebihkan, mistis bisa jadi sama artinya dengan kekuatan yang berlebihan. Peletakan batu dengan mengangkutnya dengan seutas benang oleh leluhur adalah mistis. Apakah itu fakta?
Ya. Itu fakta. Mistis adalah fakta. Setidaknya, fakta tentang kekuatan yang berlebihan. Tetapi, jangan salah, mitos juga tak sekadar fakta yang dilebihkan. Mitos juga adalah fakta yang dikurangi. Kita, misalnya, masih saja percaya bahwa perambahan hutan tak berpengaruh pada permukaan danau. Bukankah itu fakta yang dikurangi dengan tujuan untuk merestui para pembalak hutan berdiri kokoh di Tanah Batak?
Saya tertawa tepat di akhir tulisan ini. Kamu bilang: jangan percaya mitos. Padahal, tujuannya adalah sebatas mengurangi fakta yang pernah terjadi. Oh, iya, saya ini juga orang ilmiah. Tetapi, bagi saya, mitos dan mistis adalah bagian dari ilmiah. Ia hanya belum bisa disederhanakan dengan data kuantitatif atau kualitatif.
Yang pasti, suatu saat, kita akan sampai ke titik itu. Titik itu maksudnya, kita tak melebih lebihkan fakta dan juga tak menguranginya. Sebab, keduanya sama berbahaya kok. Persis seperti pertanyaan begini ketika kita turun gunung: jumlah kita berkurang atau lebih? Bayangkan jika kurang, berarti ada yang hilang di puncak. Jika bertambah, siapa yang menyusup dari puncak?
Sadarilah, keduanya ternyata sama sama seram dan mistis bukan?
====
Penulis Guru SMAN 1 Doloksanggul, Ikut Meneliti Jejak Dinasti Sisingamangaraja, Guru SMAN 1 Doloksanggul
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]