Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SETIAP Pemda tentunya sangat mengharapkan adanya kenaikan alokasi TKDD agar dapat dimanfaatkan untuk mendanai urusan dan kewenangan yang dilimpahkan kepada mereka.
Berdasarkan data Kemenkeu, alokasi TKDD tahun 2021 mencapai Rp 795,5 triliun atau sekitar 45,6% dari total penerimaan ppajak dan PNBP. Angka tersebut hampir sepuluh kali lipat dari jumlah TKDD sejak awal implementasi desentralisasi fiskal tahun 2001 yang hanya sebesar Rp 81,7 triliun atau sekitar 31% dari total penerimaan pajak dan PNBP. Hal ini mengindikasikan bahwa perhatian dan dukungan pemerintah pusat kepada daerah terus meningkat dalam rangka mendukung penguatan layanan publik di daerah.
Begitu pula data perkembangan indeks ketimpangan antarwilayah pada tahun 2020. Indeks Williamson dan indeks Theil yang masing-masing menunjukkan angka sebesar 0,53 dan 0,23. Angka ini mengalami penurunan yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan angka pada tahun 2016,yaitu masing-masing sebesar 0,72 dan 0,33. Hal ini menandakan bahwa TKDD telah berhasil mengurangi ketimpangan pendanaan antardaerah. Dengan begitu, sejatinya semua daerah memiliki kesempatan yang relatif sama untuk meningkatkan pelayanan dan membangun daerahnya.
Tantangan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal
Dalam pelaksanaannya, ternyata tidak semua daerah yang mampu mengalokasikan dana yang diperolehnya secara bijaksana. Penulis mencatat beberapa tantangan yang perlu solusi segera agar tujuan desentralisasi dapat terwujud.
Pertama, meskipun TKDD yang disalurkan pemerintah pusat kepada daerah naik signifikan setiap tahunnya dan menghasilkan pemerataan kemampuan keuangan yang semakin membaik, tetapi outcome pembangunan belum terlalu menggembirakan. Sebagian daerah memiliki kinerja yang sangat tinggi, tetapi di sisi lain banyak juga daerah yang masih tertinggal.
Sebagai contoh ketersediaan air minum layak, capaian tertinggi diraih oleh 7 Pemda, di antaranya Kabupaten Magelang, Kota Tegal, dan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dengan angka 100 persen. Sementara, Kabupaten Lanny Jaya, Papua dan Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, capaian layannya masing-masing hanya sebesar 1,06 persen dan 22,91 persen.
Kemudian, jika menilik Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berdasarkan data BPS tahun 2020, capaian tertinggi diraih oleh Kota Yogyakarta dengan angka sebesar 86,61 dan Kota Banda Aceh sebesar 85,41. Sedangkan, capaian terendah yaitu Kabupaten Nduga, Papua dan kabupaten Sabu Raijua, NTT masing-masing hanya sebesar 31,55 dan 57,02.
Kedua, TKDD belum dimanfaatkan secara optimal. Pola belanja daerah hingga sekarang cenderung memprioritaskan ke belanja aparatur. Belanja pegawai sebagai alokasi dasar dalam formula DAU mendorong peningkatan jumlah pegawai daerah. Hal ini tidak searah dengan esensi DAU sebagai alat ekualisasi kemampuan keuangan yang seharusnya berujung pada ekualisasi layanan publik. Di samping itu, pemerintah daerah masih menggunakan DAK sebagai sumber utama belanja modal, padahal pada esensinya DAK adalah skema penunjang.
Data tahun 2019, rata-rata belanja infrastruktur publik secara nasional mencapai Rp137,3 triliun atau 11,5 persen APBD. Porsi belanja infrastruktur belum memadai dalam mendukung upaya perbaikan dan peningkatan sarana dan prasarana layanan umum, serta mendorong perekonomian daerah untuk mencapai potensi terbaiknya.
Ketiga, jumlah jenis program dan kegiatan terlalu banyak, sehingga belanja APBD tidak fokus dan kurang efektif dalam membenahi pelayanan maupun pembangunan di daerah. Dari data APBD provinsi, kabupaten, dan kota tahun 2019, jumlah jenis program mencapai 29.623 program dan jumlah jenis kegiatan mencapai 263.135 kegiatan. Banyaknya variasi jenis program dan kegiatan menyebabkan sulitnya sinkronisasi pembangunan di daerah, antardaerah, serta antara pusat dan daerah.
Keempat, realisasi belanja daerah lambat, sehingga dana idle pemda di perbankan relatif tinggi. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, pada bulan Mei 2021 posisi simpanan pemda adalah sebesar Rp172,55 triliun, naik Rp 6,96 triliun atau 4,20 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2020. Saldo rata-rata di akhir tahun selama tiga tahun terakhir adalah sebesar Rp 96 triliun. Saldo simpanan tertinggi berada di wilayah Provinsi Jawa Timur dan terendah berada di wilayah Provinsi Sulawesi Barat.
Kelima, sinergi dan gerak langkah APBN dan APBD belum optimal, sehingga masih perlu diperkuat. Di antaranya adalah kebijakan counter-cyclical tahun lalu belum berjalan optimal di daerah. Misalnya, belanja penanganan Covid-19 tahun 2020 terlihat belum optimal dengan realisasi kesehatan 66,4 persen, perlinsos 67,6 persen, dan pemulihan ekonomi 53,3 persen.
Di samping itu, program prioritas terkendala karena belum terlalu didukung oleh Pemda untuk merealisasikan kegiatan pendukungnya. Begitu juga upaya penguatan program Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang didesain oleh Pemerintah, antara lain melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Pembiayaan Ultra Mikro (UMi), belum secara optimal diadopsi oleh Pemda dalam program kewirausahaan di daerah. Oleh karena itu, sinergi dan harmonisasi antara APBN dan APBD perlu diperkuat melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah.
RUU HKPD
Upaya perbaikan untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut perlu mendapatkan dukungan penuh, termasuk memiliki landasan hukum yang kuat. Oleh sebab itulah, saat ini Pemerintah Pusat bersama DPR tengah membahas RUU Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Tujuan disusunnya RUU HKPD ini adalah sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui HKPD yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok NKRI. Selain itu, RUU HKPD juga menjadi sarana integrasi pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (UU Nomor 33 tahun 2004) dengan pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah (UU Nomor 28 tahun 2009).
Terdapat empat pilar utama sebagai landasan untuk mewujudkan tujuan HKPD. Pilar pertama, ketimpangan vertikal dan horizontal yang menurun lewat reformulasi DAU, DAK yang fokus pada prioritas nasional, perluasan skema pembiayaan daerah, serta sinergi pembiayaan lintas sumber. Kedua, harmonisasi belanja pusat dan daerah, meliputi TKD yang berfungsi sebagai counter-cyclical policy, penyelarasan kebijakan pusat dan daerah, pengendalian defisit APBD, serta refocusing APBD dalam kondisi tertentu.
Ketiga, peningkatan kualitas belanja daerah melalui pengelolaan TKD berbasis kinerja, TKD diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik, serta pengendalian disiplin belanja daerah. Sementara, pilar terakhir adalah penguatan local taxing power yang mendukung implementasi UU Cipta Kerja, mengurangi retribusi dari layanan wajib, sumber pajak daerah baru, serta opsen perpajakan antara provinsi dan kabupaten/kota.
Penulis berharap RUU yang diajukan dengan itikad baik dari pemerintah pusat dapat memperoleh sambutan yang baik pula dari seluruh masyarakat. Oleh sebab itu penulis mendorong partisipasi yang luas serta do’a dari masyarakat agar Pemerintah Pusat bersama DPR mampu menghasilkan produk hukum terbaik di bidang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah.
====
Penulis Kepala Seksi PPA II-A Kanwil DJPb Provinsi Sumut
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]