Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Praperadilan merupakan salah satu lembaga yang diperkenankan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di tengah kehidupan penegak hukum. Praperadilan dalam KUHAP diletakkan pada BAB X bagian ke satu, sebagai salah satu ruang lingkup wewenang mengadili bagi Pengadilan Negeri.
Praperadilan menurut Pasal 1 butir 10 KUHAP adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasa tersangka. Rumusan Pasal 1 butir 10 tersebut dipertegas pula dalam Pasal 77 yang menyatakan bahwa: “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang di atur dalam undang-undang ini tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidanya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Bila ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan (Prapid) bukanlah merupakan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri dan bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. Praperdilan hanya sebagai suatu lembaga yang ciri dan eksistensinya meliputi empat hal, sebagai berikut, pertama, berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri dan sebagai
lembaga pengadilan, Prapid hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri. Kedua praperadilan bukan berada di luar atau di samping maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri.
Ketiga, administratif yudisial, personil, peralatan dan finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri. Keempat, tatalaksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri. Pendeknya, eksistensi dan kehadiran Prapid, bukan merupakan lembaga peradilan yang berdiri tersendiri, akan tetapi hanya merupakan pemberian wewenang yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri.
Sementara itu, proses pemeriksaan pada sidang Praperadilan dilakukan dengan acara cepat. Mulai dari penunjukan hakim, penetapan hari sidang, pemanggilan para pihak dan pemeriksaan sidang Praperadilan dilakukan dengan cepat guna dapat menjatuhkan putusan selambat-
lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari. Ketentuan ini harus ditetapkan secara konsisten, dengan bentuk dan pembuatan putusan dalam acara pemeriksan singkat dan acara pemeriksaan cepat sebagaimana yang secara tegas diamanatkan dalam Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHP
Bentuk putusan yang sesuai dengan proses pemeriksaan cepat, tiada lain dari pada putusan yang dirangkai menjadi satu dengan berita acara. Sedangkan dalam acara pemeriksaan singkat yang kualitas acara dan jenis perkaranya lebih tinggi dari acara pemeriksaan cepat, bentuk dan pembuatan putusan dirangkai bersatu dengan berita acara. Apalagi dalam acara cepat, sudah cukup memenuhi kebutuhan apabila bentuk dan pembuatannya dirangkai dengan berita acara.
Pengalaman penulis mengikuti sidang Prapid pada perkara nomor 37/Pid.Pra/2020/PN.Mdn di PN Medan bersama 34 orang advokat yang berasal dari Koprs Advokat Alumni UMSU (KAUM), yang bertindak sebagai penasehat hukum dan sekaligus kuasa pemohon Prapid Khairi Amri dalam kasus demo penolakan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja pada bulan Oktober 2020 yang lalu, bahwa memang Prapid itu berjalan dengan mekanisme sidang acara cepat, yaitu dalam tempo 7 hari kerja sidang Prapid selesai.
Tujuan Praperadilan
Tidak ada sesuatu yang diciptakan tanpa didorong oleh adanya maksud dan tujuan. Pastilah ada yang hendak dituju dan dicapai. Demikian pula halnya dengan pelembagaan Prapid ini, tentu mempunyai misi dan motivasi. Berdasarkan semangatnya, ada maksud dan tujuan yang hendak ditegakkan dan dilindungi, yaitu tegaknya hukum dan perlindungan hak tersangka dalam tingkat pemeriksaan penyidikan dan penuntutan.
Untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, UU memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaaan dan lain sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat, yaitu, pertama tindakan paksa yang dibenarkan oleh UU demi kepentingan pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tesangka. Kedua sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan UU, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi tersangka.
Menurut ketentuan hukum yang berlaku (due process of law), maka tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka. Nah, tindakan upaya paksa yang dilakukan secara bertentangan dengan hukum dan UU adalah merupakan perkosaan terhadap hak asasi tersangka.
Setiap tindakan perkosaan yang ditimpakan kepada tersangka adalah tindakan yang tidak sah, karena bertentangan dengan hukum dan UU (illegal). Akan tetapi bagaimana cara mengawasi dan menguji tindakan paksa yang dianggap bertentangan dengan hukum? Untuk itulah makanya diperlukan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk menentukan sah atau tidaknya suatu tindakan paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum yang dilimpahkan kewenangan kepada lembaga peradilan.
Cukup beralasan bila tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap seorang tersangka untuk dilakukan pengawasan, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan UU dan berjalan proporsional dengan ketentuan hukum, serta tidak merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, pelembagaan Praperadilan dalam KUHAP semata-mata bertujuan untuk melakukan pengawasan horizontal
atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan benar-benar tidak bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Wewenang Praperadilan
Selain apa yang dinyatakan secara tegas di dalam Pasal 1 butir 10 dan Pasal 77 KUHAP, adapun wewenang yang diberikan UU kepada lembaga Praperadilan meliputi, pertama, memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa. Wewenang yang pertama diberikan UU kepada lembaga Prapid untuk memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan.
Artinya, seorang tersangka yang dikenakan tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan ataupun penyitaan dapat meminta atau mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk memeriksa sah atau tidaknya tindakan yang dilakukan penyidik kepadanya. Salah satu contoh kasus dalam konteks ini, perkara Nomor 37/Pid.Pra/2020/PN.Mdn dengan pemohon Khairi Amri, Ketua KAMI Medan.
Kedua, memeriksa sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Pengujian sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan dipandang perlu dalam rangka memeriksa dan menilai serta mengawasi tindakan penyalahgunaan wewenang (abuse of authority), baik dari penyidik maupun penuntut umum. Walaupun penyidik dan penuntut umum mempunyai kewenangan dalam menghentikan pemeriksaan, penyidikan dan penuntutan, misalnya dari hasil pemeriksaan penyidikan dan penuntutaan tidak cukup bukti untuk meneruskan ke sidang pengadilan atau apa yang disangkakan kepada tersangka bukan merupakan kejahatan atau bukan merupakan pelanggaran tindak pidana, atau karena alasan nebis in idem, bahwa ternyata apa yang disangkakan kepada tersangka merupakan tindak pidana yang telah pernah dituntut dan diadili dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap atau karena perkara tersebut telah kedaluwarsa.
Akan tetapi, apakah selamanya alasan-alasan tersebut sudah benar menurut ketentuan UU? Tentu jawabnya tidak. Bahkan bisa saja tanpa alasan yang jelas, sebab itu perlu di uji. Contoh kasus dalam konteks ini, perkara RJ Lino di PN Jakarta Selatan.
Ketiga, berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 95 KUHAP yang mengatur tentang tuntutan ganti kerugian yang dapat diajukan tersangka, keluarganya atau penasihat hukumnya kepada Praperadilan. Tuntutan ganti kerugian dapat diajukan tersangka berdasarkan alasan: karena penangkapan atau penahanan yang tidak sah atau karena penggeledahan atau penyitaan yang bertentangan dengan ketentuan hukum dan UU atau karena kekeliruan mengenai orang yang semestinya ditangkap, ditahan atau diperiksa. Misalnya pelaku tindak pidana sebenarnya adalah si fulan A, sementara yang diperiksa dan ditahan si fulan B. Lalu setelah beberapa hari kemudian penyidik menyadari telah terjadi kekeliruan. Maka atas kekeliruan tersebut orang yang ditangkap, ditahan atau diperiksa dapat menuntut ganti kerugian.
Contoh korban salah tangkap dan rekayasa kasus Andro Suprianto dan Nurdin Prionto dalam perkara Nomor 98/Pid.Prap/2016/PN.Jkt.Sel dengan hakim tunggal Tatok Sapto Indrato SH MH yang menyatakan menerima sebagian permohonan ganti kerugian para pemohon dan masing-masing mendapat ganti kerugian sejumlah Rp 36 juta.
Keempat, memeriksa permintaan rehabilitasi. Praperadilann berwenang memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan tersangka, keluarganya atau penasehat hukumnya atas penangkapan atau penahanan tanpa dasar hukum atau rehabilitasi akibat kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke sidang pengadilan.
Kelima, Praperadilan terhadap tindakan penyitaan. Pada dasarnya setiap upaya paksa (enforcement) dalam penegakan hukum, menganduung nilai HAM, oleh karena itu harus dilindungi dengan seksama dan hati-hati, sehingga perampasan atasnya harus sesuai dengan hukum acara yang berlaku (due process) dan hukum yang berlaku (duo to law). Jika ditinjau dari standar universal dan KUHAP, tindakan upaya paksa merupakan perampasan HAM atau hak privasi perseorangan (personel privacy right) yang dilakukan penguasa (aparat penegak hukum)
dalam melaksanakan fungsi peradilan, dalam sistem peradilan pidana (criminal justice sistem) terhadap: penangkapan (arrest), penahanan (detention), penggeledahan (searching), penyitaan, perampasan, pembeslahan (seizure).
Terakhir sebagai penutup, pemeriksaan Prapid dapat dihentikan atau gugur sebelum putusan dijatuhkan atau pemeriksaan dihentikan tanpa adanya putusan. Hal ini di atur dalam Pasal 82 ayat (1) d, yang berbunyi: “Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedang pemeriksan mengenai permintaan kepada Praperdilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur”.
Sebagai kesimpulan bahwa pemeriksaan Praperadilan akan dinyatakan gugur apabila: Pertama karena pokok perkaranya telah diperiksa oleh Pengadilan Negeri. Kedua, pada saat perkaranya diperiksa oleh Pengadilan Negeri, pemeriksaan Praperadilan belum juga selesai.
====
Penulis Alumni FH UMSU, Kepala Divisi Informasi dan Komunikasi KAUM, Ketua Pemuda Muhammadiyah Kota Medan Periode 2014-2018.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]