Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PENGAKUAN dan penghormatan terhadap perempuan sebagai makhluk manusia sejatinya diakui sebagai hak yang inheren, yang tidak bisa dipisahkan. Pemahaman ini menjadi entry point untuk memposisikan perempuan sebagai manusia yang bermartabat.
Perbedaan biologis dengan laki-laki bukan alasan untuk serta merta menjadikannya sebagai manusia kelas kedua. Hal ini juga penting ditegaskan karena dalam situasi tertentu, perempuan merupakan bagian dari kelompok yang rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Secara politik, kaum perempuan dianggap tidak punya otonomi, karena suamilah sebagai kepala keluarga, yang menentukan urusan yang bersifat publik. Seorang perempuan yang telah kawin serta merta dianggap sebagai milik suaminya, atau jika belum kawin milik ayah atau saudara laki-lakinya.
Beberapa negara memperlakukan dengan baik perempuan serta laki-laki mereka. Jurang sosial dan ekonomi di antara perempuan dan laki-laki di hampir seluruh bagian dunia masih sangat besar. Perempuan mayoritas orang miskin dunia dan jumlah perempuan yang hidup dalam kemiskinan pedesaan meningkat hingga 50% sejak tahun 1975. Perempuan juga merupakan mayoritas buta huruf dunia. Di seluruh dunia, perempuan memperoleh penghasilan 30% sampai 40% lebih kecil daripada penghasilan laki-laki untuk mengerjakan pekerjaan yang sama.
Perempuan selalu berada pada posisi yang marjinal. Hal ini dapat dilihat dari berbagai indikator, di antaranya dilihat dari sistem pengupahan, upah perempuan lebih rendah daripada laki-laki, jaminan kesehatan perempuan lebih rendah dari pada laki-laki, kebijakan-kebijakan moralitas lebih berpihak pada laki-laki dan sebagainya. Minimnya keterlibatan dan partisipasi politik perempuan menjadi penyumbang terhadap termarjinalnya perempuan dalam pembangunan.
Hal ini menjadi faktor keterlambatan potensi perempuan menjadi kelas tertindas oleh kebijakan-kebijakan yang tidak berwawasan gender tersebut. Oleh sebab itulah negara-negara penanda tangan konvensi CEDAW PBB di desak untuk melakukan tindakan nyata dalam mengatasi segala bentuk deskriminasi terhadap perempuan.
Di Indonesia salah satunya lahirlah gerakan affirmative action, tindakan khusus yang dilakukan oleh negara untuk memberikan peluang, kesempatan dan dorongan kepada perempuan agar terlibat dan berpartisipasi dalam politik. Affirmative action juga dapat dipahami sebagai kompensasi negara terhadap perempuan yang selama ini termarjinalkan oleh kebijakan-kebijakan pembangunan yang tidak berwawasan gender tersebut. Affirmative action ini berlaku setelah pemerintahan reformasi berkuasa di Indonesia.
Affirmative Action
Affirmative action (tindakan afirmatif) adalah kebijakan yang diambil yang bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Bisa juga diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu. Dalam konteks politik, tindakan afirmatif dilakukan untuk mendorong agar jumlah perempuan di lembaga legislatif lebih representatif.
Undang-Undang No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) telah mengakomodasi tindakan afirmatif bagi perempuan. Di antaranya ketentuan yang menyatakan dalam daftar calon legislatif minimal harus ada 30% persen perempuan.
Selain itu, UU Pemilu juga mengenal sistem zipper agar memudahkan perempuan terpilih menjadi anggota legislatif. Sistem ini mewajibkan dalam setiap tiga orang bakal calon sekurang-kurangnya harus terdapat satu perempuan. Tujuannya, agar perempuan bisa berpartisipasi aktif. Hal mana tertuang dalam Pasal 55 ayat (2) UU Pemilu.
Isu tindakan afirmatif kembali menjadi pembicaraan hangat setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Pemilu. Pasal 214 huruf a sampai e dalam UU Pemilu Legislatif soal penetapan caleg dengan sistem nomor urut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibatnya, Pemilu 2009 harus menggunakan sistem suara terbanyak sampai saat ini
Keterlibatan Perempuan Masih Rendah
Penyelenggara pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan pemilu, terdiri dari Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis.
Proses mewujudkan sistem demokrasi yang lebih baik di Indonesia kemudian dikeluarkan regulasi Undang Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Terdapat pasal yang mengatur tentang keterwakilan perempuan 30 persen di jajaran penyelenggara pemilihan umum baik di KPU dan Bawaslu, Dalam Pasal 10 ayat 7 UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang berbunyi “Komposisi keanggotaan KPU, keanggotaan KPU provinsi, dan keanggotaan KPU Kabupaten/Kota memperhaitikan keterwakilan perempuan paling sedikit 3O% (tiga puluh persen)” dan di Pasal 92 ayat 11 UU No.7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu) berbunyi “Komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen”).
Namun hal ini bertentangan dengan Hasil riset Pusat Kajian Politik (Puskapol) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Indonesia (UI), menunjukkan antusiasme perempuan untuk mengikuti proses seleksi yang semakin baik. Namun, keterpilihan perempuan sebagai komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI masih terbilang rendah. Keterpilihan perempuan sebagai komisioner di KPU RI dan Bawaslu RI masih terbilang rendah untuk periode 2017-2022, yaitu hanya 1 dari 7 orang KPU dan 1 dari 5 orang Bawaslu. Jumlah ini masih jauh dari angka minimal 30% keterwakilan perempuan.
Peserta yang mendaftar seleksi anggota KPU RI dan Bawaslu RI pada 2012, yakni peserta Laki-Laki 495 (81,6%) dan 252 (85,7%). Lalu, pada seleksi 2016 peserta laki-laki 230 (70,8%) dan peserta perempuan 176 (73,6%). "Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, jumlah perempuan sebagai penyelenggara pemilu pun jauh dari memadai. Bahkan, ada beberapa daerah yang tidak memiliki komisioner perempuan dalam struktur penyelenggara pemilu.
Penutup
Kehadiran perempuan dalam lembaga penyelenggara pemilu dinilai penting. Sebab, lembaga penyelenggara pemilu adalah jantung pembuatan keputusan politik yang mengatur seleksi kepemimpinan negara. Kehadiran perempuan strategis untuk memastikan proses tersebut sensitif gender dan menghasilkan suksesi kepemimpinan yang bisa lebih memperhatikan kepentingan perempuan dalam proses kebijakan publik ke depannya.
Pemenuhan tentang hak-hak perempuan dalam politik sudah terdapat beberapa regulasi yang sudah mengatur keterwakilan perempuan dalam dunia politik. Regulasi tersebut hanya sebatas aturan namun tidak ada keharusan untuk dapat memenuhi aturan tersebut. Seperti tidak adanya kewajiban bagi penyelenggara Pemilu untuk memenuhi kouta 30% keterwakilan perempuan, serta tidak adanya sanksi yang mengharuskan terpenuhinya hak-hak politik perempuan.
Upaya pemenuhan hak politik keterwakilan perempuan sebagai penyelenggara pemilu perlu adanya keseriusan dalam menjalankan regulasi sesuai dengan peraturan yang berlaku berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, dikarenakan tidak adanya sanksi atau kewajiban dari penyelenggara Pemilu untuk memenuhi keterwakilan perempuan sebagai penyelenggara pemilu dari tingkat pusat sampai di level terendah. Regulasi bukan hanya dijadikan pemanis atau hanya penggugur kewajiban semata sebagai prasyarat hadirnya perempuan dalam dunia politik yang sudah diberikan tempat serta aturan. Akan tetapi perlu adanya supervisi maupun implementasi di lapangan.
====
Penulis Founder Pergerakan Wanita Indonesia (Pertiwi) Sumatera Utara.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]