Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
BEBERAPA pekan yang lalu, tepatnya tanggal 4 November 2021 Mahkamah Agung (MA)
telah membuat kejutan, yaitu mengeluarkan putusan menolak kasasi yang diajukan Luhut
MP Pangaribuan terkait legalitas (keabsahan) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Majelis Hakim Gugatan Nomor 3085 K/PDT/2021, yang diimpimpin Hakim Agung Sudrajat Dimyati, Pri Pambudi Teguh dan Syamsul Ma’arif sebagai anggota secara bulat dalam amar putusan tersebut menyatakan menolak Kasasi I dan II.
Berdasarkan kronologisnya, kubu Luhut MP Pangaribuan mengajukan kasasi ke MA atas Putusan Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta yang menyatakan Peradi di bawah Ketua Umum (Ketum) Otto Hasibuan sebagai kepengurusan organisasi Peradi yang sah. Artinya, putusan MA di atas menguatkan Putusan PT DKI Jakarta.
Selanjutnya, apabila putusan MA tersebut telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), maka menurut logika hukumnya dapat dipastikan bahwa organisasi dan kepengurusan yang memakai nama Peradi di luar Peradi yang dipimpin Ketum Otto Hasibuan adalah tidak sah.
Sebelum keluarnya putusan MA tersebut, tanggal 19 Agustus 2021, Otto Hasibuan telah mengusulkan agar diadakan musyawarah (Munas) bersama untuk menyatukan kembali tiga kubu organisasi Peradi yang masih terpecah menuju wadah tunggal advokat (singel bar). Singel bar dimaksud adalah bahwa hanya ada satu wadah advokat yang diberikan kewenangan oleh undang-undang (UU) untuk mengatur segala hal mengenai kepentingan advokat. Hal ini termaktub dalam UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Namun hingga putusan MA dikeluarkan, upaya bersatu tersebut belum tercapai.
Perseteruan dan/atau perpecahan Peradi selama kurun waktu 7 (tujuh) tahun terpecah menjadi tiga kubu pasca Musyawarah Peradi (Munas) yang berakhir deddlock pada tahun 2015 di Ballroom Hotel Phynisi Makasar, sedikit banyak membawa dampak negatif bagi keberlangsungan organsiasi advokat di tengah masyarakat. Pengalaman penulis acap kali ketika bertemu, baik dengan klien ataupun masyarakat umum, mereka bertanya, Peradi mana pak? Peradi Otto atau Luhut?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut mau tidak mau harus dijawab agar tidak menjadi keraguan bagi masyarakat awam. Khusus bagi penulis untungnya dapat memberi jawaban dengan pede, ya Peradi Kantor Slipi Jakarta lah, sebagai simbol Peradi yang dipimpin Otto Hasibuan.
Semestinya hal seperti ini tidak perlu terjadi, namun itulah realitas di tengah masyarakat. Jangankan di kalangan yang paham hukum, masyarakat awam saja pun bertanya apakah seorang advokat tersebut tercatat pada organisasi Peradi A, Peradi B atau Peradi C. Mengapa demikian?
Barangkali masyarakat sebagai user (pengguan) jasa advokat ingin memastikan (mengukur) bahwa advokat yang dipilihnya itu harus jelas rekam jejak dan kualitasnya dalam hal memberikan layanan (advis) hukum, baik mewakili atau mendampingi di dalam pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (nonlitigasi).
Upaya mengukur dan/atau menilai kualitas seorang advokat memang perlu dilakukan oleh masyarakat selaku pengguna jasa advokat agar tidak salah dalam memilih. Sering kali masyarakat yang tersangkut masalah hukum sebelum berperkara, baik posisinya sebagai lenggugat atau tergugat dalam kasus perdata atau sebaliknya sebagai pelaku atau korban dalam kasus pidana, terlebih dahulu mencari informasi sekaligus menilai rekam jejak (track record)bahkan tak berlebihan biasanya jasa seorang advokat dipakai lewat rekomendasi (usulan) kerabat, teman atau kolega dari klien itu sendiri.
Hemat penulis, penilaian masyarakat terhadap seorang advokat adalah sesuatu hal yang wajar. Pendek kata, jangankan untuk memilih seorang penasehat hukum/kuasa hukum, mencari teman atau pacar pun orang akan memilih dengan memberi beragam penilaian. Tak usah jauh-jauh, mau membeli barang di pasaran saja pun orang akan memilih. Makanya ada istilah, hidup itu pilihan, karena sifat manusia memang harus memilih.
Penutup
Terakhir, sebagai harapan barang kali dengan kelurnya putusan MA yang telah menolak kasasi kubu Luhut MP Pangaribuan, hendaklah semua pihak dapat menghormati keputusan MA tersebut. Sudahlah, tidak usah bersiteru berkepanjangan. Jadikan putusan MA tersebut sebagai si tawar si dingin, pengobat hati dan perlipur lara.
Peradi harus bersatu sebagai wadah tunggal. Cukuplah perpecahan Peradi selama kurun waktu kurang lebih 7 tahun ini, sekarang saatnya bergandeng tangan menatap kejayaan Peradi yang bebas dan mandiri dalam melindungi para pencari keadilan dan menjalankan tugas melayani anggota dengan sebaik-baiknya.
Sudah semestinya semua pihak duduk bersama (Islah) menurunkan ego masing-masing demi masa depan Peradi yang lebih baik. Kepada kubu yang ditolak MA tidak usah merasa malu dan berkecil hati. Sebaliknya kepada kubu Ketum Otto Hasibuan tidak usah merasa jummawa dan besar kepala, tapi tetaplah teduh berusaha untuk merangkul semua pihak demi terwujudnya wadah tunggal advokat (singel bar) sebagaimana yang dimaksudkan dalam UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Wassalam, fastabiqul khoirot!
====
Penulis adalah Anggota DPC Peradi Medan,
Kepala Divisi Informasi dan Komunikasi KAUM, Ketua Pemuda Muhammadiyah Kota Medan Periode 2014-2018.
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]