Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Pusat Kajian Law, Gender and Society Fakultas Hukum (FH) UGM menilai hakim perlu memperbanyak perspektif saat mengadili permohonan identitas transgender. Hakim selama ini cenderung memakai perspektif kedokteran/medis dan agama semata.
Hukum Indonesia mengakui dua pilihan jenis kelamin dalam identitas kependudukan yaitu laki-laki atau perempuan. Menjadi masalah bila trasgender/waria akan mengubah identitas di catatan kependudukan, dari laki-laki menjad wanita atau sebaliknya. Mereka harus mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri untuk pilihannya tersebut. Namun dalam praktiknya, hakim belum memiliki kesamaan pandangan dan hukum acara yang belum ada.
"Keterbatasan perspektif hakim tentang gender dan seksualitas mempengaruhi pertimbangan mereka yang mengacu pada pendekatan medis terhadap kondisi biologis pelamar sebagai faktor penentu identitas gender, dan ini menjadi dinamika hukum yang menantang yang harus dihadapi oleh kaum waria," demikian hasil penelitian Pusat Kajian Law, Gender and Society Fakultas Hukum (FH) UGM yang dikutip detikcom, Kamis (9/12/2021).
Penelitian ini dilakukan oleh sejumlah dosen FH UGM yaitu Sri Wiyanti Eddyono, Annisa Syaufika Yustisia Ridwan, Revino Fauzan Satria dan Annisa Ayuningtyas. Rencananya penelitian ini akan dipaparkan ke publik secara online sore ini.
"Dalam konteks Indonesia, pengakuan identitas gender masih bermasalah. Transgender telah mengalami berbagai diskriminasi termasuk kurangnya akses terhadap dokumen identitas," ujarnya.
Menurut peneliti, ketiadaan pengaturan yang lebih rinci tentang aplikasi perubahan identitas jenis kelamin telah menyebabkan kekosongan hukum dalam hukum acara. Dalam situasi ini, hakim dapat membuat temuan hukum untuk kepentingan rasa keadilan.
"Namun dalam praktiknya, kekosongan hukum ini menimbulkan inkonsistensi dalam penanganan permohonan perubahan identitas jenis kelamin," paparnya.
Keterbatasan perspektif hakim tentang gender dan seksualitas mempengaruhi pertimbangan mereka yang mengacu pada pendekatan medis terhadap kondisi biologis pelamar sebagai faktor penentu identitas gender, dan ini menjadi dinamika hukum yang menantang yang harus dihadapi oleh kaum waria.
"Dengan tidak mencukupinya sumber hukum sebagai bahan pertimbangan serta kurangnya pemahaman hakim tentang gender dan jenis kelamin, seharusnya para hakim didukung oleh para ahli (melalui kesaksian) dalam sidang pembuktian," paparnya.
Para peneliti menilai para hakim memandang dokter atau ahli medis sebagai ahli kunci karena aspek biologis dianggap sebagai poin utama dalam perubahan identitas jenis kelamin. Dan pendekatan medis ini kemudian dikaitkan dengan argumentasi agama.
"Hakim selalu mengaitkan dampak psikologis misalignment gender dan jenis kelamin dengan kondisi biologis, namun aspek medis-biologis dan argumentasi terabaikan dalam beberapa kasus karena argumentasi agama (bahwa perubahan gender bertentangan dengan nilai-nilai agama) lebih ditonjolkan," kata peneliti memaparkan.
Alhasil peneliti menyimpulkan bukan hal mudah bagi trangender untuk diterima dalam kacamata hukum Indonesia.
"Hal ini mencerminkan bahwa kaum trasgender masih menghadapi tantangan yang cukup berat dalam setiap permohonan untuk menyesuaikan diri dengan gender yang telah ditentukan," ungkapnya.(dtc)