Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
BUMI adalah tempat manusia hidup, terlepas dari apapun bentuk tubuh, warna kulit, ras, agama serta identitas lain yang melekat. Selama dia berwujud manusia, maka wajib hukumnya, hak-hak dia sebagai manusia harus dijamin oleh manusia lain yang tinggal di bumi. Mengapa demikian? Karena begitulah akal dan nurani manusia bekerja, selaku satu-satunya mahluk yang dibekali akal pikiran oleh Yang Kuasa.
Artinya, selama dia masih berpikir normal, siapapun dia, ketika melihat mahluk yang secara bentuk sama seperti dia menderita, pasti akan muncul rasa prihatin, iba dan kasihan, membayangkan diri sendiri berada di posisi demikian, untuk kemudian mengambil tindakan selanjutnya.
Hal itulah yang sedikit banyak membuat manusia dari berbagai negara sepakat merumuskan bagaimana idealnya hidup manusia. Naka lahirlah pernyataan umum tentang hak-hak azasi manusia yang menjelaskan detail-detail hak manusia sebagai satu individu.
Prinsip dari hukum tersebut adalah keadilan dan kesetaraan terhadap setiap manusia. Artinya, satu sama lain tidak semestinyalah saling mendominasi, menafikan, menyerang, mempersekusi, yang pada ujungnya hanya membuat salah satu pihak jadinya merasa terancam dan ketakutan.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya tidak ada alasan sesama manusia bisa merasa lebih berhak mendapatkan akses-akses kehidupan seperti tempat tinggal misalnya. Logikanya begini, ketika kita menginginkan salah satu hak, yakni tempat tinggal layak aman dan kondusif, maka orang lain juga sudah pasti harapanya demikian. Terlepas dari apapun identitasnya, maka kita harus memperlakukan sebagaimana kita ingin diperlakukan. Itulah idealnya.
Sehingga patut dipertanyakan ketika saat ini banyak orang tidak lagi bisa menempati suatu wilayah sebagaimana manusia pada umumnya. Mereka dipersekusi, diserang hanya karena keberadaanya minoritas di sebuah negara. Mereka terpaksa meninggalkan tempat kelahiranya, terombang-ambing di tengah lautan dan tak jarang meninggal dunia karena minimnya persediaan makan dan minum selama perjalanan.
Data dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) mengungkap jumlah pengungsi di Indonesia di awal 2019, setidaknya ada 13.997 pengungsi internasional dari 43 negara.
Berdasarkan data Dirjen Keimigrasian awal 2018, kebanyakan pengungsi ini berasal dari Afghanistan, Somalia, Myanmar Rohingya, Irak, Nigeria, Srilanka, yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia.
Itu masih di Indonesia, negara lain lebih banyak lagi menampung pengungsi. Seperti Turki menampung sekitar 3,7 juta pengungsi atau Pakistan yang menampung 1,4 pengungsi. Masih banyak sebenarnya negara yang menjadi tempat pelarian para pengungsi
Terlepas dari itu semua,yang mau penulis sampaikan di sini adalah bahwa faktanya ada banyak manusia sekarang ini yang hanya untuk tinggal nyaman saja sangat susah. Padahal seperti yang dikatakan di atas bahwa bumi adalah tempat mahluk yang bernama manusia tinggal, sehingga ketika ada sebagian manusia tidak bisa menetap, maka ada yang salah dengan kemanusiaan manusia saat ini.
Kemajuan berpikir manusia modern nyata-nyata telah serta merta membunuh rasa kemanusiaan itu sendiri. Betapa tidak, ketika seluruh dunia jelas-jelas sudah mengetahui bahwa ada manusia yang sedang kebingungan mencari tempat tinggal, negara-negara malah memperketat masuk pengungsi kenegaranya. Mereka enggan memasukkan manusia yang sedang terancam karena perbedaan warga negara. Alibinya keamanan nasional, terkesan sangat proteksionis terhadap negara. Tapi di balik itu menandakan kemajuan bernegara satu sisi telah mematikan rasa kemanusiaan.
Dari situ terlihat bahwa sifat manusia dalam derajat tertentu tidak semahluk sosial yang biasa kita dengungkan. Tapi sebaliknya serigalw satu sama lain. Merasa terancam akan kehadiran orang lain, sehingga dengan cepat kita menolak siapapun yang datang, kendatipun sudah jelas mereka adalah manusia-manusia yang membutuhkan pertolongan.
Bahkan dari beberapa jurnal yang penulis baca, negara-negara yang sudah menyepakati konvensi internasional tentang pengungsi tahun 1951, harusnya wajib hukumnya menerima pengungsi agar mendapat tempat tinggal baru, bukan malah memperketat pengungsi masuk ke negaranya.
Pengungsi di Kota Medan
Belakangan ini, pengungsi Afganistan yang ada di Kota Medan sering melakukan aksi demonstrasi. Poin penting yang mereka tuntut adalah terkait pemberangkatan mereka ke negara ketiga yang akan menjadi negara baru mereka.
Mereka merasa sudah terlalu lama tinggal di Indonesia dengan segala aturan yang mengikatnya. Mereka ingin terlepas dari kungkungan tersebut.
Untuk diketahui, pengungsi yang berada di Indonesia khususnya Medan memang harus mengikuti aturan yang mungkin membuat mereka jenuh. Mereka tidak bisa beraktitifitas sebagaimana manusia biasanya. Mereka dilarang bekerja, jam keluar-masuk dari penampungan dibatasi, tidak bisa memiliki sepeda motor dan aturan lainya membuat hidup mereka terasa membosankan, sehingga pada akhinya mereka mau tidak mau harus lebih sporadis dalam menuntut hak hidup mereka dalam jangka panjang dan itu hanya akan didapatkan apabila mereka diberangkatkan UNHCR ke negara ketiga.
Tapi permasalahanya seperti yang penulis sampaikan di atas, bahwa banyak negara yang meratifikasi konvensi pengungsi sedang mengetatkan negaranya akan kedatangan para pengungsi dengan alasan keamanan negara. Makanya dari yang penulis pahami bahwa wajar saja pengungsi Afganistan melakukan demontsrasi karena memang mereka sudah terlalu lama menunggu proses penempatan ke negara ketiga.
Entah karena UNHCR sedang kebingungan akan menempatkan dimana para pengungsi ini, yang jelas jumlah pengungsi di Kota Medan tidak banyak berkurang dan itulah yang selalu diprotes pengungsi Afganistan tersebut.
Sehingga memang wajar kita bertanya apakah memang kemanusiaan masih ada?
====
Penulis Pegawai Rumah Detensi Imigrasi.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]