Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SETIAP daerah di Indonesia memiliki bahasa daerah masing-masing. Bahkan ada provinsi yang memiliki lebih dari satu bahasa daerah. Menurut labbineka.kemdikbud.go.id, ada 718 bahasa daerah di Indonesia. Masing-masing dengan keunikan dan ciri khas tersendiri.
Keberadaan bahasa daerah tersebut patut diapresiasi dengan cara melestarikannya. Agar bahasa daerah dapat membudaya, setiap generasi memiliki tanggung jawab yang sama untuk mempelajari dan mengajarkannya kepada generasi selanjutnya. Bahasa daerah merupakan identitas seseorang dan penanda bahwa seseorang tersebut mencintai budaya dan asal daerahnya.
Namun, era globalisasi saat ini mengharuskan generasi muda fasih berbahasa asing yang diakui secara internasional untuk memudahkan mereka mengikuti arus globalisasi. Ketertarikan generasi muda untuk belajar bahasa asing tentu menghasilkan manfaat yang jauh lebih besar. Mereka lebih mudah mendaftar beasiswa untuk melanjutkan studi, lebih mudah mencari pekerjaan di negara lain dan lebih mudah membangun relasi untuk kepentingan karir mereka.
Maka wajar jika generasi muda saat ini merasa tidak perlu menguasai bahasa daerahnya karena selain hanya menunjukkan identitas, tidak terdapat benefit lainnya yang mendukung kesuksesan mereka. Pun bahasa daerah hanya bisa digunakan di daerah tertentu saja, sedangkan bahasa asing yang diakui secara internasional bisa digunakan dimanapun.
Meski demikian, pemikiran ini agaknya keliru. Orang tua tetap memiliki peran yang cukup besar dalam mengajarkan bahasa daerah kepada anak dan cucunya.
Di keluarga kami, bapak dan mamak kami selalu menggunakan bahasa Batak Simalungun dan bahasa Batak Toba di rumah. Meskipun mamak lebih sering menggunakan bahasa Indonesia kepada kami, namun kami bisa mengerti jika ada orang yang menggunakan Bahasa Batak Simalungun maupun Bahasa Batak Toba. Secara tidak langsung orang tua kami membiasakan kami mendengar kedua bahasa tersebut. Dan sejak kecil juga kami beribadah di gereja suku yang setiap ibadahnya menggunakan Bahasa Batak Simalungun.
Di lingkungan rumah kami biasanya orang sekitar menggunakan Bahasa Batak Simalungun dan Batak Toba. Kami tidak diajarin untuk bisa berbahasa seperti mengajari di ruang kelas, namun apa yang kami dengarkan setiap hari meninggalkan bekas dan hingga saat ini kami masih menggunakan bahasa tersebut. Pun, saat ini, ketika sudah berkeluarga, sebisa mungkin kami berusaha menggunakan bahasa daerah kepada anak-anak kami. Perlahan-lahan, sedikit demi sedikit anak-anak kami bisa mengerti arti bahasa daerahnya.
Kami tidak mengharuskan anak-anak bisa menggunakan Bahasa Batak Simalungun dengan lancar, namun paling tidak mereka bisa paham ketika ada orang yang menggunakan bahasa tersebut. Dan paling tidak mereka paham dan tahu darimana asal mereka. Suatu hari ketika mereka merantau kemana saja, atau bertemu siapa saja, mereka bisa menjelaskan asal usulnya. Sejarahnya.
Dulu, saat saya bersekolah di SMP, masih ada mata pelajaran aksara dan Bahasa Simalungun di sekolah kami. Setiap minggu, kami diajarin cara menulis dan membaca aksara Simalungun. Kami dilatih menulis cerita dengan Bahasa Simalungun. Kami juga diajarin bernyanyi dan menari Simalungun.
Saya masih ingat bagaimana para siswa di kelas dengan grogi mempersiapkan satu lagu Simalungun untuk dinyanyikan di depan kelas. Karena nilainya akan digunakan sebagai nilai ulangan harian, maka kami harus benar-benar mempersiapkannya agar dapat bernyanyi dengan baik dan mendapat nilai bagus.
Saat ini, tidak ada lagi mata pelajaran bahasa daerah di sekolah tersebut karena diganti dengan pelajaran baru, seperti prakarya dan kewirausahaan. Tidak bisa dipungkiri penggunaan bahasa daerah akan semakin jarang. Sekolah sebagai salah satu sarana untuk mengajarkan bahasa daerah bisa memberi kontribusi terhadap pelestarian bahasa daerah. Ketika anak-anak yang diberi reward (berupa nilai raport) mau tidak mau mereka akan belajar. Atau solusi lain, bisa ditetapkan satu hari setiap minggu yang wajib menggunakan bahasa daerah.
Jika hanya mengharapkan sosialisasi dari Badan Bahasa, maka hal ini tidak akan efektif. Sosialisasi sifatnya hanya menginformasikan, tidak sampai kepada aplikasinya.
Selain itu, perlunya buku-buku yang berbahasa daerah akan sangat mendukung pelestarian bahasa daerah itu sendiri, sehingga generasi muda yang masih peduli untuk melestarikan bahasa daerah memiliki senjata yang bisa diperkenalkan kepada teman atau keluarganya kelak.
Menjaga keberadaan bahasa daerah agar tetap lestari tentu menjadi tanggung jawab bersama jika kita menganggapnya penting. Jika bahasa daerah tidak sepenting bahasa asing, maka hal yang lumrah jika generasi muda enggan belajar bahasa daerah.
Pemerintah perlu membuat even atau semacam kegiatan rutin yang mengingatkan betapa pentingnya berbahasa daerah. Jika tidak, Indonesia akan kehilangan bahasanya, identitasnya yang kaya akan bahasa daerah itu jika tidak diupayakan jalan keluarnya.
====
Penulis Guru di Balikpapan, Aktif di Perkamen.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]