Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
ADA kabar baik bagi dunia industri perikanan pada 2022 ini. Badan Layanan Umum Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menyalurkan pembiayaan dengan sistem resi gudang mulai tahun ini. Sistem resi gudang menjadi hal yang urgen dan wajib dimiliki demi kebutuhan penyimpanan semua komoditas ikan, rumput laut, sekaligus menjadi manajemen stok demi menjaga stabilitas harga.Secara rasional, sistem resi gudang akan menjawab masalah kelola stok perikanan, khususnya perikanan tangkap yang sifatnya musiman. Meski penting, akan tetapi sampai hari ini sistem resi gudang masih belum populer di kalangan masyarakat umum.
Dalam pengertiannya, resi gudang adalah surat atau dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di gudang. Penyimpanan di gudang ini dikelola oleh pengelola yang mendapat izin Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Adanya sistem resi gudang akan lebih mudah menjaga kualitas ikan agar tidak rusak dan tetap baik sejak ditangkap. Hingga saat ini, resi gudang ikan yang telah terbit antara lain berasal dari Tegal, Sidoarjo, Probolinggo, Benoa, dan Natuna. Jumlah resi gudang yang diterbitkan adalah sebanyak 12 resi dengan volume barang 370 ton senilai Rp 6 miliar dengan nilai pembiayaan Rp. 2 miliar.
Adapun resi gudang rumput laut yang sudah diterbitkan antara lain adalah di daerah Makassar, Sidoarjo, Wakatobi, Maluku Tenggara, Tabanan, dan Tangerang dengan volume 9.027 ton atau senilai Rp. 147 miliar dengan nilai pembiayaan Rp 87 miliar. Sementara, sistem resi gudang garam tercatat telah terbit 10 resi untuk volume 701,73 ton atau setara Rp. 977,49 juta dengan nilai pembiayaan sekitar Rp 70 juta.
Sistem resi gudang ini sangatlah menolong. Saat harga jatuh, petani ikan bisa menunda penjualan menyimpan hasil panen di gudang dan menerima resi.
Selanjutnya, resi yang dikeluarkan pengelola gudang bisa dijadikan sebagai agunan di bank, sehingga petani atau petambak bersangkutan tetap bisamendapatkan modal memutar usahanya meskipun hasil panennya belum terjual. Saat harga telah membaik, nelayan atau petambak bisa menjual hasil panen yang di simpan di gudang. Sebagian hasil penjualan akan bisa digunakan untuk mengembalikan pinjaman bank. Disinilah keuntungan sistem resi gudang karena akan mampu meningkatkan pendapatan nelayan atau petambak ikan.
Langkah Rasional
Tak dapat dipungkiri jika pandemi Covid-19 ini membawa dampak yang berbeda dari satu kelompok nelayan di satu wilayah laut dengan wilayah lainnya. Hasil observasi Global Fishing Watch (GFW, 2020) memberikan gambaran jika beberapa kawasan pesisir dan kepulauan cukup terdampak oleh Covid-19. Terdapat penurunan kualitas dan keadaan sosial ekonomi. Kualitas keadaan sosial ekonomi ini menjadi menurun karena sumber pendapatan dan hasil panen menjadi kurang (Marianus, 2020).
BACA JUGA: Merawat Akses Pangan Nasional
Situasi besar dari wabah ovid -19 benar- benar mempengaruhi aktivitas perikanan nelayan tradisional, khususnya bagi kegiatan produksi (melaut), distribusi dan perdagangan. Penurunan perikanan mengakibatkan menurunnya pendapatan para nelayan tradisional dan nelayan kecil, yang sebagian besar dalam kategori berpendapatan rendah bahkan sebelum krisis Covid-19. Turunnya pendapatan dikarenakan harga ikan yang mengalami penurunan akibat pembatasan sosial dan lesunya kegiatan perekonomian.
Dampak pandemi Covid-19 pada sektor perikanan telah menyebabkan penurunan ekspor komoditas perikanan dan menurunnya pendapatan nelayan yang disebabkan karena terputusnya rantai pemasaran. Aktivitas penangkapan ikan global turun sekitar 6,5% pada 2020 dan hampir 10% sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Covid-19 sebagai pandemi pada 11 Maret (GFW, 2020). Banyak penjualan perikanan yang tersendat selama adanya wabah Covid-19 (Grahadyarini, 2020).
Nyaris seluruh kawasan wilayah Indonesia melaporkan terjadinya penurunan harga ikan. Banyak Pelabuhan Perikanan yang melaporkan jika harga tangkapan ikan turun hingga 50 persen. Nelayan banyak yang mengeluhkan penurunan harga ikan mencapai 30 persen lebih semasa pandemi. Nelayan juga harus berjibaku dengan cuaca buruk akibat perubahan musim dan harga hasil laut turun hingga 50 persen. Bahkan pada awal pandemi bahkan nyaris mengalami penurunan omset harga ikan sebesar 50 persen. (Jaringan Studi Indonesia, 2020).
Pada beberapa daerah diluar Jawa seperti daerah teluk mengkudu Sumatera Utara juga mengalami hal serupa dimana mereka mengeluhkan pendapatannya sangat berkurang akibat harga jual turun drastis. Ekspor pun mengalami penurunan harga, sebab pengiriman ekspor ditutup dan beberapa ikan justru tidak laku di pasaran seperti ikan gulama (Safir, 2020). Hal yang sama terjadi di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara dan di Aceh Besar, Aceh, di mana harga ikan turun hingga 50-60 persen di masing- masing lokasi karena sepinya pembeli.
Ditambah lagi, pengeluaran biaya bensin untuk nelayan yang memakai mesin katinting, boot teptep, dan boot robin untuk melaut cukup tinggi, karena harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di kepulauan dan pesisir relatif mahal dari harga BBM di perkotaan.
Menjaga Stabilitas
Sejak awal masa pandemi, penurunan permintaan atas ikantelah diprediksi oleh LIPI yaitu sebanyak 20 sampai 50 persen. (LIPI, 2020). Daya beli konsumen yang turun akibat tekanan ekonomi dampak wabah pandemi Covid-19 telah menyebabkan stok logistik perikanan pada daerah lain menjadi sangat berlimpah. Dapat kita lihat pada kasus yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan yang mengalami kelebihan produksi ikan sebanyak 79.897 ton dan hanya terserap di pasar lokal kisaran 29.770 ton ikan. Seharusnya sisanya tersebut masuk pasar ekspor keluar. (Efrizal, 2020). Sehingga nelayan di Sumatera Selatan terpaksa harus menjual ikan dengan harga murah di pasar. Hal ini mereka dilakukan agar ikan tidak menjadi busuk.
Situasi yang sama juga terjadi pada nelayan gurita di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup dari banyak hasil tangkapan mereka. Harga gurita menjadi komoditas termurah di pasar setempat. Hampir setiap hari ada nelayan yang menjajakan hasil tangkapannya dari desa ke desa (Paino, 2020). Nelayan tetap menjual hasil ikan demi dapat terus menyambung hidup, meski harga tak sebanding biaya operasional yang harus dikeluarkan untuk melaut.
Banyaknya hasil tangkapan nelayan dan industri ikan yang mengalami surplus karena ketidakmampuan menjaga stabilitas harga dan penyimpan pasokan jelas membuktikan jika selama masa pandemi, banyak stok penyimpanan ikan (cold storage) di Indonesia yang tidak mencukupi dan telah mengalami penumpukan bahan baku ikan atau over stock karena tak dapat disuplai ke luar daerah atau luar negeri seperti biasanya.
Karena itulah, insiatif yang dilakukan oleh pemerintah melalui sistem resi gudang saat ini setidaknya memberi solusi dalam penyelesaian kebutuhan besar akan penyimpanan ikan yang sangat terganggu selama masa pandemi, terutama membantu nelayan di seluruh Indonesia supaya mampu menjaga kestabilan pasokan ikan secara baik.
====
Penulis Eksekutif Peneliti Jaringan Studi Indonesia.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]