Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
UMAT Islam di seluruh dunia saat ini sedang menyambut Ramadan, bulan yang dianggap suci bagi setiap umat Muslim. Ramadan membawa sejuta kisah bagi mereka yang menunggu-nunggu kehadiran bulan pembawa berkah ini. Ibadah puasa yang wajib dijalani oleh tiap Muslim menjadi ciri khas menarik, selain ritual ibadah lainnya yang giat dimaksimalkan oleh pemeluk agama Islam di bulan Ramadan ini.
Tak terkecuali di Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbanyak di muka bumi. Ragam budaya tercipta akibat dari kemunculan bulan Ramadan di negeri ini. Ibadah puasa yang menjadi ciri khas utama, dimana umat Muslim harus menahan rasa lapar dan haus serta hawa nafsu dari subuh hingga magrib.
Namun ada yang berbeda. Jika sebelumnya masyarakat kita hanya mengenal budaya buka bersama, suatu budaya yang hanya ada di bulan Ramadan, kini kegiatan tersebut mendapat nuansa baru. Nuansa baru itu kerap disebut budaya “flexing” atau ajang pamer oleh orang-orang yang hadir. Aktifitas buka bersama tak lagi hanya sekadar buka bersama, tetapi memiliki rasa baru.
Pertemuan serta interaksi yang dilakukan saat berbuka puasa tak tagi hanya sekadar membahas kembali kisah-kisah yang pernah dijalani bersama. Namun telah diwarnai ajang adu pencapaian, flexing tadi. Pencapaian yang dimaksud bisa macam-macam, entah itu pencapaian finansial, status sosial, prestasi, maupun hal lain yang diharap bisa menjadi pembuktian bahwa si pelaku flexing telah lebih unggul dibanding orang lain yang hadir saat kegiatan tersebut.
Umumnya flexing dalam kegiatan buka bersama sama sekali tidak bermaksud untuk menarik orang yang menyaksikannya untuk bergabung bersama atau mencapai level yang sama dengan orang yang melakukan flexing tersebut. Sama sekali tidak. Ajang pamer tersebut kelihatannya murni dilakukan hanya untuk tujuan mencari validasi atau pengakuan dari orang-orang yang hadir, untuk keadaan atau status tertentu yang pada akhirnya ternyata bisa diraih.
Bahaya Flexing dalam Ibadah
Flexing tidak hadir begitu saja. Setiap orang secara psikologis ingin menunjukkan eksistensi diri, dan eksistensi memang diperlukan oleh tiap manusia.
Epicurus, seorang filsuf Yunani kuno menyatakan bahwa tujuan manusia hidup adalah untuk mencari kebahagiaan sebesar-besarnya. Bagi Epicurus, kebahagiaan adalah mutlak, dan karena itu harus diperjuangkan oleh setiap orang.
Namun sayangnya, manusia modern ini lebih banyak terjebak ke dalam kebahagiaan pada hal-hal materialistis. Kultur baru yang memuja materi mudah kita saksikan sekarang ini. Bahkan media massa dan media sosial, diisi dengan “iklan” mengenai kebahagiaan mereka yang memiliki uang dan status sosial tertentu. Konsekuensinya, orang yang memiliki kemampuan finansial yang baik, maupun status sosial yang tinggi dianggap menjadi orang yang paling bahagia dan dijadikan patokan.
Maka logislah kemudian muncul pelaku flexing yang menemukan tempatnya. Pelaku flexing seolah merupakan representasi dari keberhasilan manusia modern. Eksistensi diri sebagai seseorang yang lebih bahagia akibat pencapaian-pencaian yang telah ia raih, dipamerkan kepada orang lain. Sayangnya, capaian-capaian itu mengambil tempat dalam ritual ibadah, termasuk saat berbuka puasa bersama.
Validasi memang dibutuhkan oleh tiap manusia. Itu manusiawi dan manusia memang butuh penghargaan. Tetapi menjadi hal yang kurang baik saat dilakukan di dalam kegiatan buka bersama.
Terasa miris, ketika flexing yang dilakukan oleh satu orang dalam acara tersebut, direspon pula oleh orang lain yang hadir dengan aksi pamer serupa. Acara yang tadinya diharapkan membawa keberkahan serta dapat mengobati rasa rindu, esensinya dihancurkan oleh aksi saling balas pamer.
Bayangkan mereka yang hadir menyaksikan diri sendiri belum dapat meraih atau memiliki capaian yang dipamerkan oleh pelaku flexing. Miris, suasana ibadah yang seharusnya menunjukkan eksistensi kebersamaan, ibadah dan rasa syukur atas perjalanan kerohanian di bulan Ramadan, yang mestinya bisa dilakukan dengan cara positif, malah menjatuhkan mental orang lain.
Tentu saja ini tidak sesuai dengan etika Islam, dimana salah satunya mengajarkan untuk membawa kedamaian, yang seharusnya ditekankan pada bulan suci Ramadan. Siapa yang bisa damai hatinya, ketika ia harus terpaksa mendengar orang lain bercerita tentang pencapaian yang belum dapat ia raih. Siapa yang bisa damai hatinya, manakala momen berbuka menjadi momentum yang menyedihkan bagi mereka yang tak punya eksistensi.
Budaya flexing ini tentu pada konteks tertentu harus diterima. Tetapi pada konteks ibadah dan selama bulan puasa seharusnya pun harus dicegah. Inilah tantangan umat Islam yang harus dikoreksi dan dijadikan renungan bersama, betapa budaya modern sekarang bisa berdampak pada ritual keagamaan. Yang tadinya begitu adem, penuh silaturahmi, bisa terancam menjadi ritual penuh pameran diri.
====
Penulis mahasiswa Prodi Antropologi Sosial FISIP USU.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]