Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
TERBENTUKNYA Partai Mahasiswa Indonesia (PMI) sempat menuai berbagai diskursus di masyarakat, terkhusus di kalangan mahasiswa. Pembentukan partai ini pertama kali disampaikan oleh Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, saat menerima audiensi perwakilan massa aksi, 21 April 2022.
“Telah lahir partai baru, ada namanya Partai Buruh, lalu kemudian ada juga Partai Mahasiswa Indonesia. Sudah sah di Departemen Hukum dan HAM,” ungkap Wakil Ketua DPR dari Partai Gerindra tersebut waktu itu.
Surat Kemenkumham Nomor M.HH-AH.11.04.09 tentang Penyampaian Data Partai Politik yang Telah Berbadan Hukum, yang diteken Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly menunjukkan Partai Mahasiswa Indonesia merupakan salah satu partai yang ada dalam daftar partai politik di Indonesia. Ada 75 nama partai tercatat dalam daftar tersebut dan Partai Mahasiswa Indonesia terdapat pada urutan ke-69.
Dalam surat itu juga tercatat nama-nama pengurus, yakni Eko Pratama sebagai Ketua Umum Mohammad Al Hafiz sebagai sekretaris jenderal, dan Muhammad Akmal Mauludin sebagai bendahara umum.
Sebelum menjadi Ketua Umum Partai Mahasiswa Indonesia, Eko Pratama dikenal sebagai Koordinator Pusat Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Nusantara. Dan bukan rahasia pula, bahwa BEM Nusantara ini terbelah menjadi dua kubu, yakni kubu Eko Pratama dan Dimas Prayoga. Kubu Eko Pratama inilah yang yang menemui Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Wiranto, pada 8 April lalu dan memutuskan untuk tidak ikut berpartisipasi dalam aksi mahasiswa.
Kata “mahasiswa” dalam partai politik ini sontak menuai berbagai tanggapan mahasiswa. Sebagai seorang mahasiswa, penulis menilai pembentukan partai ini telah mengkhianati gerakan dan roh mahasiswa sekaligus mencederai statuta universitas yang melarang mahasiwa untuk terlibat dalam politik praktis.
Menurut Joseph Schumpter dalam bukunya yang berjudul "Capitalism, Sosialism, and Democracy", partai politik ialah kelompok yang anggotanya bertindak dalam hal perjuangan kekuasaan. Schumpter menilai partai politik sama seperti pedagang, dimana komoditas yang diperjualbelikan ialah isu politik yang dibayar dengan pemberian suara pemilih.
Sederhananya, partai politik tidak akan terlepas dari berbagai kepentingan. Kalau mahasiswa sudah terjebak dalam kepentingan kekuasaan, siapa lagi yang membela kepentingan rakyat yang “dianiaya” kuasa partai politik?
Gerakan mahasiswa tak harus dilembagakan melalui partai politik. Gerakan mahasiswa adalah gerakan mahasiswa, bukan gerakan partai politik. Partai politik selalu bergerak dengan berbagai pertimbangan kepentingan, antara lain perolehan kursi maupun pundi-pundi untuk memenuhi kebutuhan politik.
Ketika melancarkan aksi, mahasiswa selalu berupaya agar perjuangan membela kepentingan rakyat tidak dikooptasi dan dikapitalisasi oleh instrumen kekuasaan. Ketika gerakan mahasiswa sudah bercampur dengan kepentingan partai politik, kecenderungan gerakan mahasiswa disusupi berbagai kepentingan akan sangat besar.
Gerakan mahasiswa hanya memiliki satu kepentingan, yaitu kepentingan rakyat. Saat partai politik telah melenceng dari garis perjuangan atau mengeluarkan anasir-anasir politik yang tak pro rakyat, mahasiswa menjadi garda terdepan untuk menentang dan menumbangkannya.
Tidak dapat dibantah, banyak politisi mumpuni yang dulunya merupakan tokoh pergerakan mahasiwa. Pengalaman mereka dalam membela rakyat menjadi modal berharga sebagai seorang politisi. Pengalaman ini juga setidaknya menjadi menjadi penyaring agar keputusan yang dibuat tidak melenceng dari harapan rakyat, agar misi dan program partai politik tidak malah bertolak belakang dengan kepentingan rakyat.
Melembagakan mahasiswa dalam partai politik menyebabkan esensi kampus sebagai laboratorium peradaban tereduksi. Ketika mahasiswa membentuk partai politik, permasalahan bangsa akan dibahas di meja partai politik. Kebebasan akademik pun hilang. Garis perjuangan tak tegak lurus lagi. Mahasiswa seharusnya mendiskusikan permasalahan bangsa di meja kampus, bukan di meja partai politik.
Lagipula begitu banyak wadah yang dapat digunakan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat seperti NGO atau non governmental organization, aliansi-aliansi rakyat, dan komunitas nonprofit yang mengangkat suatu isu tertentu.
Selain itu, harus ditegaskan, Partai Mahasiswa Indonesia tidak mempunyai hak mengatasnamakan perwakilan mahasiswa Indonesia. Atas dasar apa partai politik ini bisa mengaku sebagai muara gerakan mahasiswa seluruh Indonesia? Siapa pula yang bisa menjamin partai politik yang membawa-bawa nama mahasiswa ini bukan “mainan” dari kekuasaan?
Bukan mudah membentuk partai politik. Diperlukan modal yang besar. Selain modal sosial dan elektabilitas, urusan logistik juga menjadi hal yang penting. Ketiadaan logistik akan memberikan celah pada kekuatan oligarki dan kekuasaan. Akhirnya, partai baru itu hanya akan menjadi instrumen baru bagi kekuasaan dan gerakan mahasiswa pun akhirnya menjadi komoditas politik.
====
Penulis Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan llmu Politik Universitas Sumatra Utara.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]