Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
PELECEHAN seksual merupakan segala bentuk tindakan seksual yang memberikan perasaan tidak nyaman pada si target pelecehan dan bahkan juga dapat mempengaruhi orang-orang di sekitarnya. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sendiri menyebutkan, pelecehan seksual adalah tindakan yang bernuansa seksual, baik yang disampaikan melalui kontak fisik maupun kontak nonfisik.
Pelecehan di sini nyatanya juga dapat dialami oleh siapa saja, baik itu perempuan ataupun laki-laki. Walaupun, target utama pelecehan hingga saat ini masihlah selalu perempuan. Dimana para pelaku seringnya masih bersembunyi di balik pola pikir lama yang mengatakan bahwa memang secara 'kodrati' perempuan ialah untuk menghibur lelaki.
Banyaknya pola pikir yang mengungkung kebebasan seseorang dengan membawa-bawa gender sebagai garis batas berperilaku menjadi salah satu hambatan terbesar dalam meredam maraknya kasus pelecehan seksual yang tak kunjung terlihat ujungnya. Dimulai dari adanya kebiasaan penerimaan atas budaya patriarki, hingga ke penolakan keras terhadap penyuaraan gerakan feminisme yang bahkan dicap sebagai tabu.
Gerakan feminisme juga semata-mata diberlakukan tidak hanya untuk mencapai yang namanya pemenuhan hak dalam kesetaraan gender, namun juga untuk mengupayakan perlindungan perempuan dari sesuatu yang berupa pelecehan seksual. Lantas jika hal pembelaan seperti pemberlakuan feminisme dianggap tabu dan dipandang sebagai bentuk pembangkangan kaum perempuan, lalu harus kita sebut apakah mereka yang menolak adanya pengembangan hak-hak perempuan, tetapi tetap menutup matanya atas segala kasus pelecehan seksual yang terjadi selama ini?
Ada banyak hal yang ingin penulis tanyakan dan bicarakan mengenai kasus-kasus pelecehan seksual serta perkembangan kesetaraan gender, terutama di Indonesia sejauh ini. Salah satunya kasus yang terjadi belum lama ini, ialah kasus salah satu dosen UNSRI yang dipidana atas tindakan pelecehan seksual terhadap mahasiswi bimbingannya. Dimana pada persidangan, pelaku dengan tanpa bersalah berdalih atas dasar khilaf dan bahwa si korban pun cakap dan sadar atas apa yang terjadi.
Serta kasus pelecehan seksual lainnya yang lebih jarang terungkap, adalah kasus pelecehan secara verbal yang lebih sering diterima oleh para perempuan, yang sangat disayangkan justru dinormalisasi oleh pola pikir masyarakat kita sendiri.
Penulis pun juga menyadari, di setiap kasus pelecehan seksual yang diterima perempuan selama ini seringkali diperparah dengan kiblat pemikiran masyarakat kita yang cenderung stereotype. Menggiring pemikiran-pemikiran baru yang menyatakan bahwa kesalahan utama terjadinya pelecehan seksual ada pada si korban itu sendiri.
Padahal, senyatanya tidak ada perempuan yang ingin menjadi target dari pelecehan dengan disengaja. Terutama apabila dikaitkan dengan cara berpakaian serta bersikap, yang dengan jelas kedua hal tersebut merupakan media berekspresi seseorang.
Adanya pernyataan yang turut menyatakan perempuan harus bersikap selayaknya perempuan tanpa menuntut lebih, harus berpakaian sepantasnya perempuan tanpa bereksplorasi lebih, turut ikut merangkum pendapat penulis dalam tulisan kali ini. Bahwa, pelecehan seksual yang terjadi pada perempuan tidak semata-mata dikarenakan sikap maupun cara berpakaian si perempuan tersebut, karena masih ada juga kasus-kasus yang dimana perempuan yang berpakaian tertutup tak pula luput menjadi target dari kasus pelecehan seksual.
Alih-alih memborbardir para perempuan, seharusnya kita bisa mulai berani dan beralih paham kalau perempuan juga memiliki hak yang sama selayaknya laki-laki dalam berpakaian dan mengekspresikan dirinya di khalayak umum.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Puspayoga juga menyebutkan bahwa tingkat kesetaraan gender di Indonesia terhitung masih rendah. Hal tersebut diungkapkan berdasarkan Indeks Kesetaraan Gender yang dirilis oleh Badan Program Pembangunan PBB (UNDP).
Pernyataan tersebut ikut didukung dengan salah satu upaya peningkatan keberhasilan kesetaraan gender yang berlaku di Indonesia, ialah dengan adanya partisipasi perempuan sebanyak 30% di dalam keanggotaan parlemen yang hingga kini masih belum terwujud.
Dukungan dari berbagai pihak dalam keberhasilan pencapaian kesetaraan gender saat ini sangat dibutuhkan, tidak hanya untuk pemenuhan hak perempuan, tapi juga untuk meminimalisir pelecehan seksual. Dimulai dari hal sederhana seperti penerimaan feminisme sebagai banding dari budaya patriarki serta membuang stigma yang memandang perempuan selayaknya adalah sebuah marionette.
====
Penulis Reporter di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Teropong UMSU/Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FISIP-UMSU),
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]