Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
KEPOLISIAN Republik Indonesia dalam minggu ini benar–benar mengalami sorotan yang cukup tajam dari masyarakat, efek dari berbagai peristiwa kekerasan, keterlibatan oknum polisi dalam pelanggaran hukum, dan yang terakhir polisi yang menewaskan polisi di kediaman Kepala Divisi Provost dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri.
Terlepas dari berbagai kontroversi yang menyertai berbagai dugaan peristiwa yang menimpa tubuh kepolisian, namun secara psikologis masyarakat, yang sangat berharap kehadiran lembaga hukum yang bersih, efektif, efisien dan terpercaya, justru diperhadapkan pada wajah aparatur penegak hukum yang bermasalah
Bukan tidak mungkin berbagai kasus yang saat ini menjadi perhatian dalam tubuh lembaga dan aparatur penegak hukum adalah gunung es, dimana sesungguhnya mungkin banyak kasus penyalahgunaan kewenangan, kekerasan dan industri hukum yang pernah diungkap Menkopolhukam adalah sesuatu yang sudah terbiasa
Di tengah kerinduan banyak anak bangsa pada hadirnya keadilan sebagai perwujudan tujuan konstitusi, justru terlalu sering dihadapkan pada wajah aparat penegak hukum, yang seolah gagal memberikan keadilan, rasa kemanusiaan dan hikmat bijaksana dalam banyak proses kasus hukum.
Pernyataan Menkopolhukam tentang industri hukum dan masyarakat menyebutnya sebagai drama hukum, karena ada proses hukum yang sering tersimpulkan atau terasumsikan seolah memiliki sutradara atau penulis skenario yang mempermainkan pasal, fakta peristiwa, hingga alat bukti demi kepentingan kelompok atau materi.
Jika berkaca pada berbagai peristiwa penegakan hukum dan perilaku aparat hukum, yang menjadi kontroversi ditengah–tengah masyarakat, maka sebenarnya krisis penegakan hukum dan krisis kepercayaan terhadap hukum telah sangat lama berlangsung
Hukum sebagai bagian Wajah Negara
Prof Satjipto Rahardjo pernah menyatakan bahwa kualitas hukum suatu bangsa adalah cermin dari kepribadian bangsa itu sendiri, atau dalam kata lain dalam diri manusia, hukum layaknya pancaran (inner beauty) yang tidak bisa dibohongi atau dipungkiri.
Karena itu hukum seharusnya tidak bisa direkayasa namun harus berjalan natural (alamiah) sesuai fakta peristiwa, alat bukti dan proses lainnya, sejak lama perdebatan dan proses hukum dominan berkutat dibicarakan pada tahapan teks dan peraturan perundang-undangan, tanpa membicarakan hukum itu secara utuh dan holistik.
Sehingga menyebabkan hukum menjadi kering karena dilepaskan dari konteks dan dimensi keadilan dan kemanusiaan, sehingga banyak proses hukum dikunci pada linearitas perbuatan, aturan dan vonis, padahal dalam heurmeutika hukum, hukum itu bukan sekadar peraturan perundang-undangan, tetapi justru melekat erat di dalam perilaku manusia itu sendiri.
Untuk apa berbagai peraturan yang bagus dan sempurna jika moral para pelaku dan penegak hukum tetap saja tak lebih baik dari masyarakat biasa ? Dan sebaliknya naskah hukum yang amburadul dan tidak berkepastian akan menyulitkan penegak hukum mencari formula terbaik dalam melaksanakan hukum.
Berbagai permasalahan hukum saat ini sejatinya bukan hanya pada peraturan yang tidak memadai tetapi ada pada kepribadian dan karakter, baik di tengah masyarakat atau ditengah aparat penegak hukum, dengan kata lain, untuk mengenal lebih dalam suatu negara maka lihatlah proses penegakan hukumnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa berbagai masalah dalam wajah lembaga dan aparat hukum, diakibatkan oleh masih sangat rendahnya struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum dalam pribadi bangsa ini, sehingga memunculkan begitu banyak sengkuni yang rakus kekuasaan walaupun harus mengorbankan rasa keadilan, bahkan nyawa orang lain yang tidak bersalah.
Berbagai peristiwa yang memperlihatkan lemahnya penegakan hukum, seperti cacat yang mennghiasi wajah hukum, sesuatu yang ditengarai karena rendahnya kualitas keperibadian dan karakter para penegak hukum, terutama akibat banyaknya kasus suap yang melibatkan oknum penegak hukum, yang seperti linier dengan persoalan seperti rekening gendut dan pola hidup mewah beberapa penegak hukum.
Banyak keluhan masyarakat tentang perilaku aparat hukum yang seharusnya menegakkan hukum, justru menjadikan hukum sebagai alat menunjukkan kekuasaan, dan mengambil kentungan sendiri, termasuk seperti memenuhi pesanan, dari beberapa pihak yang berkepentingan dan bermodal untuk menyerang atau merebut sesuatu dari pihak lainnya
Padahal jika penegakan hukum tidak baik, itu sama artinya dengan melakukan pembiaran pelanggaran dan kejahatan (tegengesteld) atau pembiaran terhadap kaidah-kaidah hukum (materieel recht) yang dibuat guna mengatur tatanan kehidupan bermasyarakat.
Tanpa penegakan hukum yang terpercaya maka rakyat pasti putus asa terhadap negara dan keadilan, jika terjadi krisis kepercayaan atas hukum, maka lahirlah kekacauan atau chaos, dan tujuan negara hukum dalam konstitusi bangsa ini hanya akan tinggal mimpi belaka.
Keadilan dan Kemanusiaan sebagai Orientasi Substansial
Telah lama rasa keadilan menjadi impian, jika dijaman dulu hukumnya adalah “Gigi ganti gigi, dan mata ganti mata “namun kemajuan jaman kemudian melahirkan proses penegakan hukum dengan proses penyelidikan, tuntutan, pembelaan hingga peradilan dan penjara untuk pertanggungjawaban perbuatan.
BACA JUGA: Tenggelamnya Pancasila dalam Slogan
Jika melihat keluhan masyarakat dan berbagai persoalan lembaga serta aparat penegak hukum, maka bukan sesuatu yang salah, jika kemudian masyarakat mengatakan bahwa lebih bisa memperoleh keadilan dijaman dahulu yang belum memiliki agama, pemerintahan dan produk hukumnya
Padahal kehadiran negara menurut Jean Jacques Roesseau pada abad ke-18 dengan teori kontrak sosialnya, bahwa individu menyerahkan sebagian kebebasannya kepada negara dengan tujuan kebebasannya dapat dilindungi oleh negara, maka kejahatan sebagai duri perusak harmoni kedamaian dan kehidupan sejatinya dikontrol ketat oleh negara
Dari mandat warga, kemudian Negara memiliki legitimasi melalui aparat hukum untuk bertindak adil dalam memulihkan dan menstabilkan situasi sosial di masyarakat akibat kejahatan, namun yang sangat sering terjadi justru masyarakat menggugat dan mempertanyakan nilai keadilan yang dihasilkan dari penegakan hukum.
Dari beberapa kasus yang melibatkan pihak pejabat atau pihak bermodal, tidak jarang dirasakan jauhnya rasa keadilan dan kemanusian, bahkan masyarakat yang tidak memiliki jabatan dan modal seolah tidak mempunyai hak atas hukum walaupun mungkin benar.
Keadilan dan kemanusiaan yang seharusnya menjadi orientasi substansial dari hukum pada akhirnya berubah menjadi ketidakadilan, justru oleh hukum itu sendiri ketika hukum masuk pada bagian yang bersifat prosedural, yang diintervensi berbagai kepentingan yang jauh dari konteks diskresi yang bersifat kepatutan oleh penegak hukumnya.
====
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Inspirasi (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]