Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
BELUM lama ini Menteri Pertanian menyebutkan harga mi instan akan melonjak hingga tiga kali lipat. Sebelumnya, presiden juga sudah mewanti-wanti potensi kenaikan harga mi instan. Krisis pangan terjadi sebagai dampak perang Rusia-Ukraina dan gelombang iklim panas. Rusia dan Ukraina merupakan penyuplai kebutuhan gandum dunia. Namun kedua negara ini kompak menghentikan ekspor, sehingga menghambat pasokan gandum.
Harga mi instan memang terpantau naik. Jika di awal tahun 2022 dengan uang Rp 10.000 kita dapat membeli mi instan sebanyak 4 bungkus, kini rata-rata harganya di atas 3 ribuan per bungkus. Mi instan pun merangsek masuk ke dalam daftar komoditas penyebab inflasi pada Juli 2022. Lantas jika kenaikan harganya demikian signifikan, akankah mi instan hanya dapat dinikmati kalangan sultan?
Konsumen Terbesar ke-2 Duni
Terlepas dari dampak negatifnya, mi instan memang sangat digemari. Dengan ciri penyajian yang cepat, tahan lama, dan memiliki beragam cita rasa membuat mi instan menjadi makanan favorit semua lapisan masyarakat. Mi instan kerap menjadi penyelamat akhir bulan saat keuangan menipis. Label ‘makanan anak kost’ pun melekat pada mi instan karena harganya yang murah dan cukup mengenyangkan untuk dikonsumsi.
Di Indonesia, tidak ada waktu khusus untuk menyantap mi instan. Baik itu pagi hingga malam hari. Mi instan tak hanya dijadikan menu utama tapi juga makanan selingan. Bahkan mi instan sering disantap bersama nasi layaknya lauk pauk. Sulit untuk menentukan apakah mi instan termasuk kebutuhan pokok atau bukan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebesar 77,65 persen rumah tangga mengonsumsi mi instan pada September 2021. BPS juga mengungkapkan tingkat konsumsi mi instan sebanyak 3,901 bungkus (±80 gram) per kapita per bulan. Itu berarti, rata-rata orang Indonesia memakan 1 bungkus mi instan per minggu atau 47 bungkus mi instan per tahun.
Laman World Instant Noodles Association (WINA) membenarkan tingginya konsumsi mi instan di Indonesia. Data terakhir menunjukkan penduduk Indonesia menyantap 13,27 miliar bungkus mi instan sepanjang tahun 2021. Indonesia menjadi negara pemakan mi instan terbesar ke-2 di dunia setelah Cina.
Besaran konsumsi ini sebetulnya menurun seiring dengan meningkatnya pola hidup sehat di masyarakat. Bila dibandingkan dengan tahun 2013, konsumsi mi instan di Indonesia menyentuh angka 14,9 miliar bungkus. Adanya Pandemi Covid-19 justru membuat konsumsi mi instan meningkat. Pada 2021 konsumsi mi instan di Indonesia naik sebesar 6 persen dibandingkan tahun 2019 sebelum pandemi.
Ketergantungan pada Impor
Mi instan terbuat dari tepung terigu yang merupakan produk olahan gandum. Sayangnya, saat ini kebutuhan gandum Indonesia ditopang dari impor. Tak hanya gandum, Indonesia juga mengimpor tepung terigu. Seiring meningkatnya konsumsi mi instan dan roti, lonjakan impor gandum tak dapat dihindari.
Menurut laporan The Indonesian Market for Australian Grains , 36 persen penggunaan tepung terigu di Indonesia dijadikan mi instan. Berikutnya digunakan untuk roti sebesar 26 persen, mi basah dan mi kering sebesar 22 persen dan sisanya untuk biskuit, kue, dan camilan lainnya sebesar 16 persen.
Dalam satu dekade terakhir, impor biji gandum dan meslin menunjukkan tren yang meningkat. Sejak 2019, Indonesia menjadi negara pengimpor gandum terbesar di dunia. BPS mencatat volume impor gandum 2021 sebesar 11,17 juta ton dengan nilai 3,45 miliar US Dollar. Jumlah ini meningkat dua kali lipat dibandingkan 2011 yang sebesar 5,6 juta ton. Adapun negara yang menjadi pemasok gandum terbesar ke Indonesia yakni Australia, Ukraina dan Kanada .
Tingginya ketergantungan terhadap impor gandum memang tak bisa diatas dengan cepat. Namun pada krisis pangan seperti ini, seharusnya pemerintah lebih serius mengerem laju impor gandum. Upaya menjadikan pangan lokal sebagai alternatif pengganti gandum bukanlah wacana baru. Pengembangan komoditas subtitusi seperti sorgum, singkong dan sagu masih menjadi tantangan besar ketahanan pangan negeri ini.
Saran Mentan untuk beralih makan singkong tentu tak semudah membalikkan telapak tangan. Memaksa generasi micin mengganti mi instan dengan singkong mungkin sama sulitnya dengan meminta orang Indonesia meninggalkan nasi. Baik singkong, sorgum maupun pangan lokal lainnya tak bisa hanya ditingkatkan dari sisi produksi pertaniannya saja. Tapi juga perlu dijadikan makanan olahan agar lebih diminati masyarakat dan memiliki nilai tambah. Di sinilah peran aktif pelaku industri juga dibutuhkan .
Tak Perlu Panic Buying
Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, inflasi Bulan Juli 2022 sebesar 0,64 persen. Kelompok Makanan, Minuman dan Tembakau mengalami inflasi sebesar 1,16 persen. Mi instan menjadi komoditas yang dominan memberikan andil inflasi, yakni sebesar 0,01 persen. Ini setara dengan besaran andil komoditas cabai hijau, tomat dan air kemasan. Padahal bulan-bulan sebelumnya, mi instan tak pernah masuk dalam jajaran komoditas penyebab inflasi.
Salah satu produsen besar mi instan memang tak menapik terjadi kenaikan harga. Namun kenaikannya tidak akan terlalu signifikan. Mengingat komponen biaya produksi mi instan bukan hanya tepung terigu. Itupun komponennya tidak terlalu besar.
Meski demikian, pelaku industri mi instan tentu berperan penting dalam menekan kenaikan harga. Sebaiknya suplai bahan baku harus terus dikontrol. Produsen juga dapat memiliki beberapa opsi importir dan tidak bergantung pada satu atau dua negara saja. Selain itu, penyesuaian ongkos produksi bisa dilakukan untuk mengimbangi kenaikan harga bahan baku utamanya.
Di tengah kontroversi kenaikan harga mi instan, pemerintah perlu memastikan kelancaran rantai perdagangan mi instan. Jangan sampai terjadi spekulasi di tingkat distributor. Penimbunan dapat berdampak pada berkurangnya masa pakai. Sebab, mi instan hanya bertahan sekitar 6 bulan setelah diproduksi.
Masyarakat juga tak perlu sampai berbondong-bondong memborong mi instan. Berkaca dari kasus minyak goreng, panic buying justru berujung pada kelangkaan dan meroketnya harga. Terutama di wilayah terpencil.
Daripada panic buying, lebih baik jadikan momentum kenaikan harga mi instan untuk hidup lebih sehat. Sebaiknya konsumsi mi instan dikurangi karena tergolong junk food. Pengeluaran dapat dialihkan untuk konsumsi makanan segar yang lebih bergizi agar kualitas kesehatan menjadi lebih baik. Masyarakat harus lebih bijak dalam berbelanja dan menentukan prioritas konsumsi yang bermanfaat bagi diri sendiri dan keluarga.
====
Penulis Statistisi Ahli Muda Fungsi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik, BPS Kabupaten Labuhanbatu Selatan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]