Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
MENINGGALNYA Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J) yang melibatkan mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol Ferdy Sambo dan lingkaran intinya, yang sempat direkayasa dengan berbagai kejanggalannya, ternyata justru menarik perhatian masyarakat hingga presiden untuk dibuka seterang- terangnya.
Desakan masyarakat dan presiden akhirnya memaksa Kapolri untuk membentuk tim khusus guna melakukan pemeriksaan intensif yang bekerja maraton dalam mengungkap upaya pengaburan fakta peristiwa, penghilangan alat bukti, penyusunan skenario kebohongan yang bermuara pada menghalangi proses penegakan hukum.
Polri akhirnya menetapkan 5 tersangka pembunuhan berencana dan 6 perwira tersangka menghalangi penyidikan, serta puluhan personel diperiksa terkait pelanggaran etik, namun dengan yang motif berkembang liar akibat dari ketertutupan petinggi Polri, termasuk pergantian 3 kali kuasa hukum Bharada E yang disinyalir karena intervensi, untuk mengendalikan pengakuan nantinya dalam proses peradilan.
Tidak berapa lama riuh skenario kebohongan mantan Kadiv Propam muncul lagi kasus penangkapan Kepala Satuan (Kasat) Narkoba Polres Karawang AKP Edi Nurdin Massa yang terlibat dalam peredaran narkoba, dan penangkapan Briptu D oleh Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sulteng, karena diduga menerima suap 18 peserta calon siswa (Casis) seleksi pendidikan pembentukan Bintara Polri gelombang II tahun anggaran 2022 sebesar Rp 4,4 miliar
Padahal di akhir tahun 2021 hingga awal 2022 di media sosial sempat viral tagar “ Percuma Lapor Polisi “ sebagai bentuk ekspresi kekecewaan terhadap banyaknya oknum kepolisian yang tidak profesional. Tagar yang mendapat dukungan luas di media sosial karena sangat dekatnya persoalan masyarakat terkait keamanan dan kebutuhan transparansi dan penanganan tindak lanjut pelaporan yang sering tidak direspon dengan baik
Berbagai persoalan yang melibatkan personel Polri sudah selayaknya menjadi bahan evaluasi bagi para Kapolri, DPR RI dan Pemerintah dalam melakukan perubahan, untuk meyelamatkan citra Polri sebagai wajah negara yang memiliki fungsi pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Krisis dan Darurat Kepercayaan terhadap Polri
Selain jabatan Kadiv Propam yang berfungsi mengawasi dan sarana penindakan internal, keberadaan Satuan tugas khusus ( Satgassus ) yang dikepalai oleh Ferdy Sambo, kemudian memunculkan berbagai isu dan asumsi liar dari masyarakat bahwa motif penembakan Brigadir J terkait bisnis gelap tata kelola narkoba jenis sabu dan judi di ranah kepolisian.
Terutama jika dikaitkan dengan operasi Polri setelah Satgassus dibubarkan oleh Kapolri justru terlihat gerakan pembongkaran dan penangkapkan para bandar besar atau bos mafia judi online dibeberapa Kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bali dan Medan
Dengan banyaknya sejarah penyimpangan yang dilakukan oknum polisi membuat citra institusi Polri menjadi sangat dekat dengan model dan budaya penyalahgunaan wewenang, yang disimpulkan oleh masyarakat sebagai kecenderungan lembaga yang jika kebetulan ada beberapa orang ketahuan lalu viral dan dianggap oknum.
Model dan budaya penyalahgunaan kewenangan tersebut tersimpulkan karena banyak dan mengakarnya penyimpangan yang seolah tetap konsisten berjalan tanpa adanya perubahan yang signifikan dalam perilaku dan mental anggota Polri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
Bahkan tidak jarang masyarakat harus berhadapan dengan arogansi personal, namun lemahnya tindak lanjut laporan masyarakat, membuat anggapan bahwa kontrol dan sanksi sekedarnya dari internal Polri, melahirkan banyak celah terjadinya pelanggaran, termasuk kewenangan dari lembaga pengawas seperti Kompolnas yang hanya punya kewenangan memberikan rekomendasi
Sanksi yang tajam ke bawahan, tapi tumpul ke atas seperti api dalam sekam yang memicu kekecewaan, walaupun sudah banyak peraturan, SOP, surat edaran untuk pembenahan internal Polri, namun terbukti berbagai pelanggaran masih sangat marak, seolah mengindikasikan personel tidak mengindahkan aturan atau pemimpin tidak mempunyai kewibawaan.
Salah satu persoalan yang sering dikeluhkan masyarakat adalah banyaknya personal kepolisian yang melakukan pendekatan dengan kekerasan daripada cara yang lebih humanis, dari kasus tewasnya Brigadir J dan kasus tindakan kekerasan yang dialami 20 orang Bintara junior Polres Bungo, Jambi, yang dilakukan 22 seniornya, mencerminkan perilaku kekerasan yang tidak hanya berlaku pada aparat kepada masyarakat tetapi aparat dengan aparat itu sendiri.
Perilaku buruk sejumlah oknum polisi dari pangkat tamtama hingga jenderal ini kemudian dianggap oleh masyarakat sebagai situasi yang menunjukkan betapa daruratnya kondisi Polri dalam mengemban amanat dan fungsinya, yang sangat jelas tergambar lewat tagar #Percuma Lapor Polisi yang sempat trending media sosial.
Selama kurun waktu tahun 2021 Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) telah menerima tiga hingga empat ribu aduan masyarakat terkait pelayanan Polri yang buruk, dimana 80 % laporan terkait dengan dugaan pelayanan buruk, dan 90% dari yang diadukan kebanyakan menyangkut kinerja reserse.
Sedangkan berdasarkan temuan terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis Minggu 24 Juli 2022, mayoritas publik merasa korupsi di kepolisian dan kejaksaan masih buruk, LSI melakukan survei nasional pada 27 Juni sampai 5 Juli 2022 dengan jumlah responden mencapai 1.206 orang.
Salah satu fokus pertanyaan dalam survei adalah kinerja lembaga penegak hukum, saat ditanya mengenai evaluasi Kepolisian, 59,3 % responden merasa polisi sudah dapat melaksanakan tugasnya menangani kasus korupsi, sedangkan Kejaksaan, 55,8 % responden merasa jaksa sudah dapat melaksanakan tugasnya menuntut para koruptor di pengadilan, angka tersebut hanya lebih rendah dari KPK (60,9 %), namun lebih tinggi dari kehakiman (52.9 %).
Namun mayoritas responden juga menganggap korupsi di pihak Kepolisian masih buruk, yaitu sebanyak 46 %, sedangkan yang menyatakan polisi dapat menolak korupsi sebanyak 40 persen responden, sisanya, menjawab tidak tahu atau tak menjawab, sedangkan 43 % responden merasa korupsi di dalam Kejaksaan masih buruk, sedangkan yang menyatakan sebaliknya sebesar 42 %, sisanya menjawab tidak tahu atau tak menjawab.
Momentum revolusi Polri dari kematian Brigadir J
Jika melihat berbagai perkembangan dan keresahan masyarakat terhadap kinerja serta tudingan yang menyematkan Polri sebagai bagian dari mafia narkoba dan judi online dalam kasus kematian Brigadir J. Termasuk berbagai rekayasa kasus, personil Polri yang terlibat Narkoba, serta keberadaan Badan Narkotika dan bidang penanganan Narkoba pada setiap tingkatan wilayah serta komando, namun peredaran narkoba justru seperti semakin meluas.
Hingga tudingan bahwa Polri adalah bagian dari mafia seolah menegaskan pentingnya Kapolri, DPR, dan Pemerintah untuk segera mendorong proses revolusi dalam tubuh Polri dengan mengubah sistem dan struktural secara integral, sistematis dan cepat, terutama titik tekan pada revolusi mental yang pernah digaungkan Presiden Joko Widodo.
Dengan kemajuan teknologi informasi saat ini masyarakat tidak hanya menuntut polisi bertindak benar dan cermat saja, tapi harus berkejaran dengan kecepatan tangan masyarakat dalam memviralkan kesalahan maupun pelanggaran yang dilakukan oleh anggota kepolisian sebagai wujud ketidakpuasan
BACA JUGA: Reforma Agraria Bukan Sebatas Sertifikasi Tanah
Revolusi mental personel yang harus dijauhkan dari mental polisi kolonial yakni “mentalitas ambteenar” ,yakni petugas yang merasa berkuasa, pemegang kewenangan mutlak penegakan hukum, bukan sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.
Revolusi yang harus dimulai dari transparansi dan akuntabilitas pada proses rekrutmen atau penerimaan personil, mutasi (merit system), reward and punishment, dan penekanan prestasi yang diukur dari penilaian tugas melayani, melindungi dan mengayomi, yang tercermin dari turunnya angka kriminalitas, hilangnya peredaran narkoba dan kenyamanan masyarakat.
Termasuk kewajiban personil untuk mengungkap kasus narkoba dan judi yang tidak berhenti pada pelaku lapangan, tetapi harus menyisir hingga para bandar utama, penyandang dan aliran dana, untuk segera diumumkan kepada masyarakat. Dan jika ada oknum atau pejabat Polri dan hukum yang terindikasi melindungi, bahkan terlibat dalam jaringan narkoba dan judi online tentunya harus dibuka kepada masyarakat dan dituntut hukuman seberat-beratnya karena statusnya sebagai penegak hukum
Karena intervensi jaringan narkoba dan judi dalam tubuh penegak hukum tidak hanya mempertaruhkan keamanan dan ketertiban masyarakat tetapi juga merusak sistem hukum yang pada akhirnya menghancurkan bangsa, maka tujuan utama dalam revolusi Polri adalah mewujudkan polisi yang profesional dan berintegritas
Dengan indikator utama seperti Polri yang ahli dan memiliki pengetahuan tentang kepolisian, tunduk pada ketentuan hukum dan sumpah jabatan, humanis, independen, tidak berpolitik dan tidak berbisnis, transparan serta akuntabel, dengan dukungan kebijakan dan program yang jelas dari pemerintah, DPR, internal Polri, dan masyarakat.
====
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Inspirasi (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]