Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Satu nusa satu bangsa
Satu bahasa kita
Tanah air pasti jaya
Untuk selama-lamanya
MASIH lekat di ingatan saya lagu Satu Nusa Satu Bangsa ini pernah sayup-sayup terdengar dari salah satu kamar mahasiswa Indonesia di sebuah kota kecil bernama Enschede, di sebelah timur Belanda. Mendengarkan lagu tersebut ketika berada di luar negeri memberikan sensasi yang berbeda. Gambaran tanah air nan permai seolah hadir di pelupuk mata, diiringi gemuruh rindu kampung halaman nun jauh disana. Di saat seperti itu, semangat nasionalisme dan cinta tanah air bisa tiba-tiba datang membuncah memenuhi dada. Memotivasi untuk segera selesaikan studi dan kembali mengabdikan diri di tanah air dengan segala kemampuan yang ada.
Sudah setahun lebih saya meninggalkan Belanda. Kembali bekerja di institusi yang lama untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh di sana. Hari ini ketika lagu tersebut terdengar lagi di salah satu kanal radio swasta, mengingatkan kembali sensasi yang pernah dirasakan ketika menuntut ilmu di Belanda. Tetapi saya rasakan semangat yang muncul tidak lagi sama. Apa yang menyebabkan semangat nasionalisme ini seolah tak lagi terang nyalanya.
Saya menduga-duga bahwa apa yang saya alami ini adalah ‘culture shock’ atau gegar budaya yang kerap dialami orang-orang yang baru masuk ke lingkungan yang baru. Menurut Mulyana (2007), gegar budaya adalah perasaan terkejut atau tertekan yang muncul ketika individu memasuki suatu lingkungan yang berbeda jauh dengan lingkungannya terdahulu. Ketika berhadapan situasi tersebut, seorang individu biasanya akan mempertanyakan kembali asumsi-asumsinya, tentang apa yang disebut kebenaran, moralitas, kebaikan, kewajaran, kesopanan, kebijakan, dan sebagainya. Pengalaman hidup di negara maju yang serba teratur acapkali dituding sebagai penyebab utama gegar budaya ini.
Saya kira sah-sah saja jika perasaan kaget ini muncul ketika kembali beraktifitas di tanah air. Jika mencermati berita yang diulas di media massa maupun sosial media, kita akan disuguhi aneka berita bernada negatif seperti resesi global di depan mata, kondisi ekonomi yang tidak menentu, koruptor yang tega mencuri hak rakyat tak berdosa, ataupun manuver politik yang membuat polarisasi semakin membentang antar anak bangsa. Belum lagi jika dengan berita tentang kenakalan remaja.
Tawuran antar sekolah, antar kampus, hingga antar kampung masih terus terjadi. Geng motor beranggotakan anak-anak usia remaja kerap berbuat onar, tak segan-segan melukai bahkan merenggut nyawa para korban tak berdosa di berbagai kota. Dampak peredaran narkoba hingga ke pelosok-pelosok kampung juga telah merusak mental dan akal sehat anak-anak muda hingga mereka tak lagi mampu berfikir dan bertindak jernih. Melihat fenomena ini semua, yang mirisnya, banyak dilakukan oleh generasi muda, wajar bila kita menjadi khawatir memikirkan bagaimana nasib bangsa ini ke depan.
Padahal tepat 94 tahun yang lalu, pada tanggal 28 Oktober 1928, berbagai organisasi pemuda dari berbagai penjuru nusantara berkumpul dalam sebuah rapat akbar di Jakarta. Mereka berkumpul dengan modal semangat persatuan sebagai anak bangsa yang ingin negerinya merdeka. Buah dari deklarasi persatuan itu memang baru bisa dipetik 17 tahun kemudian dengan diproklamirkannya Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka.
Akan tetapi, keberanian dan kebulatan tekad para pemuda yang berbeda suku, agama, pendidikan, dan latar belakang telah menjadi lecutan yang sangat berarti dalam perjalanan panjang mendirikan sebuah negara merdeka. Peristiwa Sumpah Pemuda ini kemudian menjadi pelajaran dan contoh abadi bagi generasi penerus akan pentingnya semangat dan tekad persatuan, untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, Indonesia.
Meskipun saat ini kondisi bangsa kita mungkin belum pada tahap ideal dan belum bisa 100 persen meneladani semangat Sumpah Pemuda, alhamdulillah saya masih teringat pesan guru-guru saya untuk senantiasa bersyukur. Jangan lupa bahwa negeri ini masih memiliki banyak stok pemuda yang berhasil mengukir prestasi serta mengharumkan nama bangsa di berbagai ajang berskala internasional.
Pada gelaran Olimpiade Matematika Internasional di Rusia pada pertengahan 2021 yang lalu misalnya, pelajar-pelajar Indonesia berhasil memborong enam medali. Kemudian di ajang Olimpiade Biologi Internasional Challenge II 2021, pelajar-pelajar Indonesia berhasil membawa pulang 1 emas dan 3 perak. Ada pula Zahran Auzan, remaja asal Langkat yang baru-baru ini berhasil menjadi juara kedua dalam perlombaan hafalan Alquran tingkat internasional di Arab Saudi.
Di bidang olahraga, kita memiliki segudang atlet yang namanya cukup diperhitungkan di berbagai kompetisi internasional. Eko Yuli Irawan misalnya, termasuk salah satu dari 5 atlet angkat besi yang telah memenangkan 4 medali Olimpiade. Di ajang badminton, negara kita cukup produktif menghasilkan atlet-atlet kelas dunia. Contoh terkini adalah pasangan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto dan Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon yang meraih juara 1 dan 2 kelas ganda putra di turnamen Denmark Open 2022.
Dari berbagai torehan prestasi ini, kita masih bisa menaruh harap. Insya Allah masih banyak generasi muda Indonesia yang bisa dihandalkan untuk melanjutkan tongkat kepemimpinan negara ini di masa depan. Semuanya terpulang kembali kepada kita untuk menentukan di posisi mana kita berada.
Apakah kita mau menjadi bagian dari problem, atau menjadi solusi atas berbagai persoalan bangsa? Apakah kita sekadar menjadi individu yang aktif menebar amarah di sosial media, atau aktif bergerak untuk terus berkontribusi menebar manfaat, sebesar apapun peran kita?
Kiranya momen Sumpah Pemuda tahun ini bisa menjadi pemantik semangat agar rasa nasionalisme berbakti kepada bangsa tetap nyala di hati kita semua. Semoga sensasi yang saya rasakan saat mendengarkan lagu Satu Nusa Satu Bangsa saat di Belanda sana, bisa saya rasakan juga di sini saat diuji kembali di dunia nyata.
====
Penulis pemerhati kebijakan publik, alumni S3 di University of Twente, Belanda. Saat ini bekerja di Bappedalitbang Kabupaten Deli Serdang
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]