Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Di dalam ruang kelas, siswa sering kali hanya pendengar dan pengikut. Jadi, adalah masuk akal jika siswa menjadi pengecut serta miskin inisiatif. Padahal, sekolah semestinya membuat siswa menjadi sosok-sosok yang mandiri. Artinya, bahkan tanpa guru, mereka harusnya punya inisiatif untuk belajar sendiri.
Sayang, inisiatif itu kemungkinan tergerus lantaran siswa kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan pembelajaran. Pasalnya, jika siswa diposisikan sebatas pelaksana ketetapan, pada akhirnya mereka juga akan menjadi pasif. Karena itu, guru perlu mengubah pola untuk tak lagi jadi penguasa kelas.
Artinya, jika selama ini dialektika peraturan tidak ada, maka ada baiknya kita mulai mendengar suara-suara siswa. Bagaimanapun, pada prinsipnya, mereka punya harapan dan keinginan.
Dalam hal ini, jika kita mengakomodasi suara mereka, dengan sendirinya kita juga sedang mengajar mereka untuk terampil tidak saja dalam berbicara, tetapi juga dalam mendengar. Daripada sibuk memberikan berbagai peraturan tegas, guru sebaiknya perlu dan harus membiarkan siswa untuk mengutarakan keinginannya.
Pasalnya, dengan memberi siswa kesempatan demikian, secara tak langsung, para guru sudah merangsang mereka menjadi orang yang bertanggung jawab dan mandiri. Walau demikian, harus dicatat bahwa otoritas tetap menjadi hak guru. Perbedaannya, siswa hanya diberi kesempatan untuk membuat peraturan (voice), bahkan diberi kesempatan untuk memilih dari berbagai usulan peraturan tersebut (choice).
Saya sendiri sudah mulai melakukannya. Sebab, saya mempunyai keyakinan bahwa manusia cenderung akan lebih menghargai suara dan pilihanya sendiri daripada suara dan pilihan orang lain.
Tanpa Dialektika
Dalam hal ini, jika kita melibatkan siswa pada setiap pengambilan keputusan niscaya mereka juga akan jauh lebih menghargainya, sehingga jadilah mereka sebagai pribadi yang penuh inisiatif dan bertanggung jawab.
Hal ini senada dengan hasil penelitian Aiken, Heinze, Meuter, & Chapman, (2016) dan Thibodeaux et al. (2017) yang menyebutkan secara gamblang bahwa jika kita menginginkan murid-murid mengambil peran tanggung jawab untuk pembelajaran mereka, maka kita harus memberikan kesempatan kepada mereka untuk memilih apa saja dan bagaimana mereka akan belajar.
Memberikan pilihan seperti itu pada siswa juga akan memberdayakan mereka, mendorong keterlibatan dalam pembelajaran, dan mengenalkan pada minat pribadi dalam pengalaman belajar (Aiken et al, 2016). Faktanya selama ini, tak dapat dimungkiri kita masih kurang melibatkan dialektika dengan siswa. Justru, sebagai hasil dari miskinnya pelibatan siswa, sangat jamak kita dengar aturan konyol dalam sebuah perpeloncoan. Pasal I: kakak kelas tak pernah salah. Pasal II: jika kakak kelas salah, kembali pada pasal I. Kemunculan pasal ini sejatinya adalah ledekan tentang betapa tak diberinya kesempatan pada junior bersuara.
Setingkat lebih tinggi, kemunculan pasal ini (meski sebatas ledekan) adalah metafora tak langsung betapa guru pun tak memberi kesempatan kepada siswa untuk bersuara. Tak dinyanya lagi, posisi siswa haruslah selalu mendengar dan manggut-manggut, sehingga kelas ideal adalah kelas yang hening, tanpa dialektika. Setingkat lebih tinggi, dan justru dari sini mestinya muasalnya, yaitu bahwa guru pun tak diberi kesempatan untuk menginterupsi sebuah kebijakan pendidikan. Sebagai missal, cukup sering terjadi berkas administrasi guru ditolak begitu saja atas dasar alasan yang tidak diketahui.
Nah, maksud saya mengutarakan ini, di samping supaya guru proaktif mendengar dan melibatkan siswa, hal pertama yang juga harusnya dilakukan adalah bahwa pemerintah harus mendengar dan melibatkan guru pada berbagai agenda pembuatan kebijakan mendasar terkait pendidikan. Kita harus mengubah pola supaya tak selalu mengambil keputusan penting tanpa terlebih dahulu bertanya pada guru. Lebih-lebih, kita juga harus megubah pola supaya tidak selalu menyalahkan guru atas berbagai kemunduran dalam pendidikan. Bagaimanapun, guru-guru hanyalah pelaksana lapangan, bukan penentu kebijakan.
Saya jadi teringat pada petikan pidato Mas Menteri (Mendikbudristek Nadien Makarim) ketika merayakan hari guru untuk tahun pertama saat dia menjadi menteri: "namun, perubahan tidak dapat dimulai dari atas. Semuanya berawal dan berakhir dari guru. Jangan menunggu aba-aba, jangan menunggu perintah. Ambillah langkah pertama".
Secara makna, pidato tersebut sangat indah. Namun, secara realita, perubahan akan sulit terjadi jika sistem tak ramah dan jika atasan tak kunjung berubah. Ketika guru berubah dan sistem tak berubah, maka pelan-pelan mereka kembali pada habitus lama. Jadi, marilah mendengar guru.
Akan Terbangun
Seruan mari mendengar guru ini penting supaya seruan mari mendengar siswa juga menjadi relevan, berkesinambungan, dan aplikatif. Sebab, pendidikan dengan pola mendengar siswa diketahui sangat berdampak signifikan. Semakin signifikan jika kita sudah sampai pada level memberi siswa kesempatan memilih.
Dengan level itu, kita sudah bisa meningkatkan motivasi dan otonomi murid, yang dapat memberikan dampak positif pada efikasi diri dan motivasi murid (Bandura, 1997). Pasalnya, dengan mendengar mereka berbicara (voice) serta memberi kesempatan memilih (choice), mereka juga akan merasa memiliki (ownership).
Dengan posisi sebagai ownership, keterlibatan mereka juga akan lebih tinggi dalam proses belajar. Voltz DL, Damiano-Lantz M., dalam artikel penelitiannya yang berjudul Developing Ownership in Learning. Teaching Exceptional Children (1993;25(4):18-22) menjelaskan bahwa kepemilikan dalam belajar (ownership in learning) sebenarnya mengacu pada rasa keterhubungan, keterlibatan aktif, dan minat pribadi seseorang dalam proses belajar. Keterhubungan itu dapat diperoleh tidak saja hanya ketika proses belajar mengajar berlangsung, tetapi juga sebelum belajar-mengajar berlangsung.
Dalam pada itu, pada tahun ajaran baru ini, sebelum memulai agenda tahunan, marilah meminta suara dan melibatkan siswa. Niscaya, di daerah kami, sebagaimana juga sudah saya utarakan ketika menjadi pemateri MGMP di Kabupaten Humbang Hasundutan, pola pandang kami sedikit demi sedikit akan berubah.
Pasalnya, saat murid terhubung (fisik, kognitif, sosial emosional) dengan apa yang sedang dipelajari, terlibat aktif dan menunjukkan minat dalam proses belajarnya, maka kita dapat mengatakan bahwa tingkat rasa kepemilikan mereka terhadap proses belajar tinggi. Dengan demikian, kepemimpinan murid pun akan terbangun.
====
Penulis Guru SMP Negeri 2 Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, sedang mengikuti PPG Daljab dari Universitas Negeri Makassar
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]