Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
DEWASA ini, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup semakin hari meningkat dan menjadi permasalahan yang cukup serius bagi dunia. Permasalahan lingkungan hidup ini menjadi tanggung jawab besar karena akan menyangkut kualitas kehidupan dari manusia serta makhluk hidup lainnya di masa yang akan datang.
Dengan menguatnya perhatian dunia terhadap permasalahan lingkungan hidup, perbankan kini melakukan transformasi pada perilaku dan kegiatannya dengan mengimplementasikan konsep green economy. Gerakan konsep green economy pada hakikatnya mendorong agar setiap kegiatan ekonomi harus meminimalkan dampaknya bagi lingkungan. Konsep green economy pada ranah perbankan diadopsi melalui konsep green banking.
Tidak ada definisi dari green banking yang diterima secara universal, karena sangat bervariasi antar negara. Namun, beberapa peneliti dan organisasi telah mencoba untuk mendefinisikan green banking. Secara umum, green banking merupakan bank yang kegiatan operasionalnya ramah lingkungan, memiliki tanggung jawab dan kinerja lingkungan, serta mempertimbangkan aspek perlindungan lingkungan dalam menjalankan bisnisnya.
Di Indonesia, belum terdapat peraturan yang memadai terkait dengan penerapan green banking. Di samping itu, belum ada ketentuan peraturan perundangan-undangan di Indonesia yang secara tegas mengatur kewajiban bagi suatu bank untuk mencantumkan ketentuan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.
Namun, terdapat beberapa ketentuan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang secara implisit dapat dijadikan landasan bagi bank dalam pelaksanaan konsep green banking khususnya terkait pada hukum perkreditan di Indonesia, yakni Pasal 22 UUPPLH, Pasal 36 UUPPLH, Pasal 65 UUPPLH, Pasal 66 UUPPLH, Pasal 67 UUPPLH dan Pasal 68 UUPPLH. Selain UUPPLH, Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UUP) secara implisit juga mencantumkan kewajiban pelaksanaan green banking pada perbankan nasional dalam penjelasan angka 5 dalam Pasal 8 ayat (1) UUP.
Bank secara langsung memang tidak tergolong sebagai pelaku penyumbang pencemaran lingkungan yang tinggi. Penggunaan energi serta sumber daya alam lainnya dalam aktivitas perbankan tidak separah sektor-sektor bisnis lainnya seperti halnya industri pengolahan dan pertambangan. Namun demikian, perbankan tidak lantas dapat dilepaskan dari persoalan meningkatnya degradasi lingkungan hidup. Dengan menyediakan layanan pembiayaan atau pinjaman kepada nasabahnya, bank dapat menjadi pemicu bagi kegiatan-kegiatan yang berdampak pada lingkungan hidup.
Dalam penerapan praktik green banking, Amerika Serikat dapat dikatakan telah menerapkannya lebih advance daripada negara Indonesia, dimana bank di Amerika dapat dibebankan tanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh nasabah yang sebelumnya mendapatkan layanan pembiayaan atau pinjaman dari bank tersebut.
Hal tersebut dapat dilihat pada kasus Bank of America and Environmental Protection Agency (EPA), dimana pada tahun 2008 Bank of America menyediakan pembiayaan untuk mengelola dan mengoperasikan Rehrig-United International Site. Dikarenakan adanya indikasi kerusakan lingkungan hidup terhadap kegiatan bisnis di Rehrig, EPA kemudian menuntut ganti rugi kepada J&P Keegan LLP selaku pemilik Rehrig dan Bank of America.
Pada tahun 2013 Bank of America setuju untuk memberikan ganti rugi kepada EPA sebesar $80,398 dikarenakan adanya pelepasan atau ancaman pelepasan zat berbahaya dengan kadar tinggi, khususnya nikel dan kromium yang digunakan selama kegiatan bisnis Rehrig berlangsung. EPA dan Bank of America kemudian menandatangani settlement agreement for recovery of past response costs. Dalam hal ini, di dalam settlement agreement tersebut EPA menyatakan bahwa Bank of America merupakan pihak yang turut bertanggung jawab sebagaimana ditentukan pada Section 107(a) dari Comprehensive Environmental Response, Compensation and Liability act of 1980 (CERCLA).
Indonesia sendiri belum mempunyai peraturan perundang-undangan yang secara tegas membebankan tanggung jawab kepada bank terhadap kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh nasabah yang sebelumnya telah mendapatkan fasilitas pembiayaan atau pinjaman. Sebagaimana dikutip dari Menski bahwa untuk memperbaiki hukum nasional dapat dilakukan melalui studi perbandingan hukum dimana hal tersebut tidak mengarah pada uniformisasi (penyeragaman), karena reformasi demikian disodorkan dengan modifikasi sedemikian rupa bilamana perlu disesuaikan dengan kondisi lokal atau pertimbangan khusus lainnya yang memastikan integrasinya secara mulus ke dalam sistem hukum.
Dalam hal ini, sebagai salah satu bentuk reformasi terhadap penerapan praktik green banking di Indonesia, ketentuan CERCLA sudah selayaknya untuk diadopsi pada salah satu peraturan perundang-undangan Indonesia yang baru yang nantinya disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, sehingga aturan tersebut nantinya diharapkan dapat menjadi salah satu landasan dalam penerapan praktik green banking yang lebih advance di Indonesia.
====
Penulis Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG/posisi lanskap), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]