Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Abad 21 dikenal sebagai abad digitalisasi, abad dengan kecepatan informasi dan teknologi yang begitu pesat. Tidak dapat dipungkiri jika abad ini merupakan abad tercanggih dengan semua kehebatan di dalamnya. Banyak hal yang awalnya diramalkan tidak pernah terjadi akhirnya bisa terwujud secara mencengangkan.
Salah satu kecanggihan zaman sekarang adalah teknologi komunikasi. Berkomunikasi semudah ini sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh dunia sebelum abad 21.
Sebuah cara berkomunikasi yang begitu mudah, semudah membalikkan telapak tangan katanya. Dengan mudahnya berkomunikasi, waktu tempuh informasi tidak lagi terbatas.
Tidak seperti zaman dulu yang masih mengandalkan jasa pos. Kalaupun saat itu telah ada fasilitas jaringan telepon, kondisinya tetap tidak semudah zaman sekarang.
Smartphone, merupakan salah satu bentuk kecanggihan teknologi komunikasi abad 21. Smart, pintar, sebuah alat yang begitu pintarnya, sehingga ia bisa memudahkan kita dalam berkomunikasi satu sama lain dari jarak sejauh apapun.
Bagaimana tidak, misalnya saja teknologi video call dapat terjadi, bahkan pasti tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh pembuat telepon sendiri, Alexander Graham Bell. Atau, bagaimana pula sebuah surat sudah bisa dikirim hanya dengan 1 klik dengan adanya email. Hanya dalam sebuah genggaman, semuanya dapat dilakukan. Itu lah prinsip dasar smartphone.
Namun, di balik seluruh kecanggihan yang ada, sebuah penyakit sosial muncul di kalangan masyarakat di seluruh dunia. Penyakit yang pada akhirnya kita anggap sebagai sesuatu yang normal hingga tak pernah sama sekali kita anggap sebagai sebuah masalah serius. Sebuah penyakit yang pada akhirnya mampu membuat manusia hilang kendali akan dunia nyata dan berbalik pada dunia maya.
Kegilaan itu, dalam dunia medis, disebut sebagai nomophobia. Nomophobia merupakan sebuah singkatan dari No Mobile Phone Phobia, yang artinya fobia jika tidak memegang handphone.
Kata ini mulai sering digunakan dan menjadi perhatian saat pandemi sedang berlangsung, dimana semuanya harus dilakukan serba digital. Orang dengan kondisi nomophobia sudah begitu lazim kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Terutama pada anak-anak, yang sudah dibiasakan memakai handphone sejak usia dini, mereka makan harus ditemani handphone, sebelum tidur harus lihat handphone, sewaktu senggang harus liat handphone, bahkan saat orangtua-nya sedang ‘ngomel’ pun ia dengan berani bermain handphone. Sebuah tragedi miris yang kita anggap normal-normal saja di zaman ini.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena kita melewati batas. Seperti sering kita dengar, apa pun yang sifatnya berlebihan pasti mendatangkan bencana. Berdasarkan studi, penggunaan handphone seharusnya hanya 5 jam saja per hari. Di atas batas tersebut berarti kita telah menggunakannya secara tidak normal.
Maka mudah ditebak jika seseorang yang mengidap nomophobia merasa dirinya tidak tenang saat tidak bersama handphonenya. Ia akan merasa gelisah, merasa tidak ada kehidupan lain di luar handphonenya, kehidupan nyatanya itu hampa.
Mereka yang sudah terbiasa dekat dengan handphone akan merasa dirinya begitu kesulitan ketika harus diam memperhatikan sesuatu tanpa handphone atau membaca buku sejenak. Dalam bahasa medisnya disebut, sakau. Tidak bisa kalau tidak ada handphone.
Masih berdasarkan studi sepintas, lebih dari 80 persen anak muda di Indonesia sudah mengidap nomophobia ini. Bisa dipastikan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat kecanduan handphone tertinggi.
Ini merupakan kondisi yang begitu menyedihkan saat generasi muda kita sudah rusak dengan pemakaian handphone yang berlebihan.
Nomophobia ini dapat dijelaskan dengan menggunakan satu istilah lain yang populer belakangan. FOMO, alias fear of missing out. Orang-orang yang mengidap nomophobia merasa jika dia tidak memakai handphonenya, ia akan ketinggalan pesan-pesan penting, ketinggalan berita terkini, ketinggalan drama favoritnya, tidak kebagian tiket konser, dan lain sebagainya.
Dia merasa, dirinya akan kehilangan sesuatu jika ia tidak memakai handphonenya. Perasaan-perasaan tersebut muncul ketika seseorang sudah membangun dengan begitu dalam dunianya dalam handphonenya.
BACA JUGA: Menjaga Api Kebangkitan Nasional
Akibatnya apa? Kecanduan seperti ini pada akhirnya menjadikan banyak orang tidak lagi peduli dengan sekitar, a-sosial, merasa dirinya adalah bagian dari handphonenya, dan akhirnya kehilangan kesehatan mental yang paripurna. Penjelasan-penjelasan di atas adalah sebuah argumentasi bahwa nomophobia dan fomo adalah tanda jiwa yang tidak baik-baik saja.
Bagaimana cara mengatasinya? Stop kebiasaan apa-apa serba di handphone. Semua yang kita butuhkan ada di dunia nyata. Manusia adalah sebuah mahluk yang mampu dengan begitu mudahnya berimajinasi secara liar hingga ia mampu membangun dunianya sendiri yang ia rasa sempurna di handphonenya. Manusia merasa handphone dapat menerimanya lebih baik daripada orang menerimanya di dunia nyata.
Untuk orangtua, sebaiknya tidak memberikan handphone kepada anaknya, apalagi ketika masih sangat muda. Boleh memberikan handphone, asal ada batas waktu pemakaiannya. Orangtua juga harus memperhatikan konten-konten yang dikonsumsi oleh anaknya agar apa yang ia terima adalah sesuatu yang bersifat positif dan tidak menjadikan handphone sebagai alat pembunuh mental.
Kita harus memperhatikan diri kita sendiri dalam pemakaian handphone yang kita pakai. Jangan sampai akhirnya handphone menjadi ‘senjata makan tuan’. Kita mengira bahwa handphone itu lebih smart daripada pemakainya. Itu pandangan yang salah. Seharusnya kita lah yang lebih smart dari handphone. Smartphone, bukan hanya melulu soal kepintaran handphone, tetapi seharusnya tentang pemakainya yang lebih smart dalam mengelola gawainya sendiri.
Mari kita menyelamatkan diri kita dengan membatasi pemakaian handphone yang berlebihan. Mari kita melihat barang yang pada akhirnya akan kita buang jika masa pakainya sudah habis sebagai sebuah benda biasa, yang memang memiliki keunggulan, tetapi tidak melampaui keunggulan seorang manusia. Sudah berapa lama kah anda melihat handphone hari ini? Waspada, jangan sampai kita menjadi generasi sakau digital.
====
Penulis alumni SMA Methodist 5 Medan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: redaksimbdmedanbisnisdaily.gmail.com