Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
FOMO adalah akronim dari Fear of Missing Out. Kalimat ini mengandung arti takut ketinggalan suatu aktivitas atau kegiatan. Masyarakat Kota Medan biasa menyebutnya “pantang tak top”.
Akhir-akhir ini publik sering menggunakan kata “Fomo” merujuk kepada orang-orang yang hobi mengikuti trend populer di sosial media, dan itu tidak terkecuali menimpa orang-orang yang geger ingin segera memesan tiket konser Coldplay.
Coldplay sendiri merupakan salah satu band internasional yang berasal dari Inggris. Band ini mengawali kariernya dengan mengeluarkan album yang diberi judul “Brothers and Sisters” pada tahun 1999 dan sampai sekarang telah memiliki lebih dari 66 juta pendengar di aplikasi Spotify dan jutaan fans dari seluruh dunia, termasuk dari Indonesia.
Kabarnya, band legendaris ini akan mengadakan konser perdananya di Kota Jakarta, tepatnya di GBK (Gelora Bung Karno) pada bulan November mendatang.
Kabar ini telah dikonfirmasi langsung kebenarannya oleh Coldplay. Kedatangan Coldplay langsung mendapatkan atensi dari masyarakat Indonesia. Kabar Coldplay akan melakukan konser di Indonesia langsung menjadi trending topik #1 di Twitter.
Masyarakat dan khalayak umum pun berbondong-bondong berebut untuk mendapatkan tiket konser pada saat penjualan tiket konser dibuka pada tanggal 19 Mei 2023.
Semua kalangan, baik generasi boomer tahun 90-an hingga generasi z atau millenial melakukan pembelian tiket secara rebutan (war tiket). Ada yang menyiapkan hingga 4 device atau perangkat, ada yang rela menunggu berjam-jam di depan layar komputer, ada karyawan yang mengambil cuti hanya untuk memantau layar device mereka, hingga yang paling unik adalah memakai jasa calo. Semua usaha tersebut dilakukan agar mereka mendapat tiket untuk menonton konser Coldplay secara langsung.
Mengapa masyarakat rela membuang waktunya hingga melakukan segala cara hanya untuk mendapatkan sebuah tiket konser yang tidak murah itu? Padahal jika kita pikirkan dengan akal sehat, bukankah pada akhirnya video konser pastilah akan bertebaran di situs online dan sosial media?
Memang terdapat banyak alasan bagi pembeli tiket mengapa aksi war tiket itu dilakukan. Umumnya, masyarakat berebut tiket konser karena mereka merasa konser Coldplay adalah konser yang eksklusif dimana tidak ada jaminan bahwa Coldplay tahun mendatang akan mengadakan kembali konsernya di Indonesia.
Ada juga yang berpendapat bahwa ia adalah penggemar Coldplay sejak lama dan Coldplay adalah salah satu band favoritnya sehingga ia harus menonton konser sebagai bentuk support atau dukungan kepada band favoritnya.
Namun, di balik alasan tersebut terbuka sebuah fakta unik bahwa beberapa orang membeli tiket konser hanya sebagai bentuk “agar tidak ketinggalan trend dengan teman yang lain”.
Alhasil, ada yang rela mengambil screenshot foto war tiket dari temannya, hanya agar bisa eksis sebagai fans Coldplay, lalu mengirimkannya ke sosial media. Kembali kepada bahasa Medan, “pantang tak ikut meramaikan” pembelian tiket konser Coldplay.
Itulah gejala Fomo tadi. Pengaruh dari peer group menyebar satu sama lain, dan akhirnya menjadi efek domino yang tersirkulasi dalam peer group tersebut.
Jika satu orang membeli tiket maka orang lain yang berada pada satu group juga akan mengikuti untuk membeli tiket meskipun pada awalnya tidak ada niatan untuk membeli tiket dan menonton konser.
Ada rasa bahwa kalau tidak ikut melakukan perilaku tertentu, dianggap berbeda, dianggap tidak memiliki identitas yang seharusnya dimiliki. Karena Coldplay dianggap identitas, maka setiap orang pun wajib melekatkan diri dengan identitas Coldplay.
Usai tiket, merchandise berbau Coldplay akan mulai meramaikan pasar. Dan perilaku fomo akan muncul lagi. Bukti-bukti bahwa seseorang memiliki merchandise akan segera di share kemana-mana.
Itulah budaya fomo. Tak peduli kemampuan diri, asal “tenar” dan bisa “pamer”, orang akan melakukan apa saja. Demi tujuan itu, uang bahkan kejujuran bisa digadaikan. Coldplay, sebenarnya hanya salah satu wujud dari fomo yang menimpa kita saat ini.
Sesungguhnya perilaku fomo ini telah terbentuk terus menerus dalam masyarakat yang cenderung menyukai eksistensi dangkal ini.
====
Penulis mahasiswa Antropologi Sosial FISIP USU.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: redaksimbdmedanbisnisdaily.gmail.com