Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Gugatan 'class action' terhadap larangan ekspor sapi ke Indonesia pada tahun 2011 akan kembali ke pengadilan, setelah kalangan peternak dan eksportir menolak nilai ganti rugi yang ditawarkan Pemerintah Australia.
Hal ini disampaikan oleh Direktur Utama Cattle Australia, Luke Bowen, sebagai pihak penggugat yang sebelumnya memenangkan gugatan atas legalitas keputusan sepihak pemerintah Australia12 tahun yang lalu.
Keputusan itu dikeluarkan oleh Pemerintahan Perdana Menteri Julia Gillard yang dipicu adanya temuan penyiksaan ternak sapi Australia di berbagai rumah pemotongan hewan (RPH) di Indonesia.
Penyiksaan ternak tersebut pertama kali diungkap dalam laporan ABC di TV,yang langsung memicu kecaman luas, terutama dari aktivis perlindungan dan kesejahteraan hewan.
Pejabat layanan hukum dari Kejaksaan Agung Australia, Michael Johnson, dalam dengar pendapat di Senat pada bulan Mei lalu menyebutkan pemerintah telah mengajukan tawaran ganti rugi sebesar A$215 juta dengan batas waktu penerimaan 21 Juli.
Menurut Luke, tawaran ganti rugi itu jauh dari angka A$1,2 miliar yang diajukan dalam gugatan class action pada tahun 2022.
"Dengan tawaran ganti rugi sekecil itu, mari kita kembali ke pengadilan saja," tegas Luke.
"Pengadilan akan menentukan volume penjualan ternak ke Indonesia yang hilang selama periode tahun-tahun setelah pelarangan tersebut," katanya.
Luke mengatakan perbedaan antara tawaran ganti rugi A$215 juta dan angka kerugian A$1,2 miliar dari penggugat terjadi karena adanya perdebatan tentang sejauh mana dampak larangan tersebut.
"Ini jelas merupakan suatu permasalahan yang tidak dapat diatasi oleh pemerintah," katanya.
"Bukan hanya periode larangan itu diberlakukan, kami juga berbicara tentang tahun-tahun berikutnya ketika volume perdagangan menurun drastis sebagai akibat dari menurunnya jumlah izin impor dari pemerintah Indonesia," papar Luke.
Tawaran ganti rugi ini merupakan yang kedua dari dari pemerintah tahun ini, setelah tawaran pertama ditolak pada bulan Februari lalu.
Dalam sebuah pernyataan, Departemen Keuangan mengatakan "Pemerintah belum menerima tanggapan substantif dari pihak pengacara class action".
Pengacara yang mewakili gugatan ini telah diberikan perpanjangan waktu hingga September untuk menanggapi tawaran ganti rugi, bersamaan dengan persidangan kasus yang akan berlanjut kembali di pengadilan.
Sudah lama menunggu
Ganti rugi akibat keputusan pemerintah ini merupakan perjuangan 12 tahun bagi Michael Thompson, seorang peternak yang mengelola Peternakan Mundabullangana, 70 kilometer barat daya Port Hedland.
Dia adalah salah satu penggugat dalam class action, yang berkampanye dan menyediakan dana untuk upaya hukum melawan pemerintah.
"Saya sangat marah. Saya menjadi orang Australia Barat pertama dan satu-satunya dari 21 orang yang bergabung dalam gugatan class action," ujar Michael.
Dia memperkirakan larangan tersebut merugikan bisnis keluarganya sebanyak A$2 juta dalam lima tahun pertama saja.
"Banyak peternak lain yang mengalami kerugian lebih besar," katanya.
Thompson menyebutkan biaya hukum dari gugatan ini tidak kurang dari A$30 juta sejauh ini.
Dia mengaku akan tetap berjuang, "berapapun biayanya".
"Saya melihat sendiri berapa kerugian yang dialami keluarga saya saat itu," kata Michael.
"Saya melihat kerusakan yang terjadi pada banyak keluarga di seluruh Australia,tidak hanya di kalangan peternak tapi juga di industri peternakan secara umum," tambahnya. dtc