Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Dari pidato singkat Mendikbud Nadiem Makarim pada peringatan Hari Guru Nasional November 2019, yang kemudian sempat viral, ada sebuah kalimat yang cukup menggugah: “Guru Indonesia yang Tercinta, tugas Anda adalah yang termulia sekaligus tersulit”. Saya berkeyakinan inilah yang kemudian menjadi alasan fundamental mengapa Mas Menteri, panggilan akrab beliau, menggagas konsep Merdeka Belajar. Harus diakui, guru dan murid selama ini terperangkap dalam sistem pendidikan yang seolah menjadikan mereka seperti berada di dalam penjara.
Pendeknya, kewajiban-kewajiban administratif yang selalu menghambat guru untuk berkreasi dan mengembangkan kemampuan akan didesain lebih sederhana namun efektif. Model-model ujian yang membelenggu para peserta didik dan kurang mengakomodir pendidikan karakter akan dirombak total. Seperti biasa, reaksi publik terbelah. Sebagian menyambut sembari menanti dengan optimisme. Tapi, tidak sedikit pula yang apatis dan pesimis.
Itulah gambaran umum persepsi masyarakat yang terjadi saat itu. Sekarang semua berubah drastis. Sikap optimis tadi semakin luntur. Rasa apatisme itu kian membesar. Alasannya jelas: pandemi Covid-19! Kegiatan belajar dan mengajar (KBM) tatap muka berubah total menjadi KBM dalam jaringan (daring). Keraguan-keraguan muncul. Bagaimana guru-guru bisa mengelola pembelajaran jarak jauh (PJJ) ketika—seperti yang pernah diutarakan Kapustekkom Kemendikbud Gogot Suharwoto dalam International Symposium on Open Distance and E-learning (ISODEL) 2018 di Bali—hanya 40 persen guru yang siap dengan teknologi? Sejauh mana pendidikan karakter bisa terimplementasikan jika interaksi guru dan murid terbatas hanya di dunia maya? Bagaimana PJJ dapat berjalan maksimal bila masih terdapat ketimpangan akses digital antar wilayah?
Kolaborasi
Sejujurnya, tanpa bermaksud tidak berempati terhadap masyarakat yang mengalami kesulitan di multi sektor lantaran penyebaran virus corona, pada konteks berbeda, wabah ini sebetulnya membuka ruang dan peluang untuk membenahi pendidikan kita. Betapa tidak, meski masih jauh dari sempurna, guru-guru dipacu mengelola PJJ yang mutlak berbasis teknologi. Mengutip judul buku milik Jaya Setiabudi ‘The Power of Kepepet’, manusia bisa mengeluarkan potensi dan kekuatan tersembunyi ketika berada dalam situasi terdesak.
Saya berani bertaruh, jika virus corona tidak datang, mayoritas guru-guru di Indonesia tidak akan mengenal secara mendalam apa dan bagaimana menggunakan Google Classroom, Google Meet, Zoom Meeting—untuk sebatas memberi contoh—dalam mengajar. Jika pandemi ini tidak muncul, guru-guru berusia tua tidak akan segigih sekarang berpacu dengan laptop dan komputer dalam rangka memenuhi tuntutan tugas mengajar.
Sekali lagi, saya bukan mengharapkan kemunculan virus corona. Tapi, petuah nenek moyang kita yang mengajarkan bahwa selalu ada hikmah di balik setiap musibah memang tidak sembarangan diucapkan.
Ketika kemudian muncul pertanyaan apakah PJJ akan mampu menyemai bibit-bibit karakter dalam jati diri para pelajar, lagi-lagi saya katakan, justru pandemi ini menjanjikan prospek untuk itu. Malah ruang lingkupnya menjadi lebih luas. Karakter, apakah itu karakter baik atau buruk, pada hakekatnya merupakan apa yang kita lakukan di saat tidak ada orang yang melihat. Artinya, karakter tidak dibuat-buat. Karakter itu sudah tertanam kuat dan menjadi manifestasi dalam wujud tingkah laku. Untuk sampai pada tingkatan karakter yang baik, anak-anak kita harus dibekali oleh teladan yang baik pula. Sebab keteladanan adalah unsur penting dalam menumbuhkan karakter. Dan seperti yang selalu diajarkan orang tua kita terdahulu: “satu teladan lebih baik daripada seribu nasihat.”
Mari kita cermati. Jiwa sosial kolektif masyarakat kita terus bermunculan dalam wujud pemberian bantuan sembako, penggalangan dana dan pembagian masker gratis untuk masyarakat miskin dan yang terkena dampak virus corona. Protokoler kesehatan sederhana namun selama ini sering kita abaikan, seperti mencuci tangan dan memakai masker saat beraktifitas di luar rumah, marak dikampanyekan dan kini mulai diterima sebagai bagian tidak terpisahkan dalam rutinitas harian. Beberapa provider internet memberikan kuota murah bagi guru, dosen dan pelajar untuk keperluan PJJ. Ini semua merupakan teladan kuat dan pembelajaran karakter yang paling nyata bagi para peserta didik karena turut melibatkan elemen-elemen masyarakat.
BACA JUGA: Rumah Pertama Adalah Segalanya
Meski pendidikan karakter adalah mimpi kita bersama, aspek kognitif dalam PJJ tidak serta merta dapat dikesampingkan. Kesiapan teknis seperti infrastruktur pembelajaran, jaringan hingga kuota internet adalah prasyarat mutlak. Ini menjadi tantangan berat tersendiri. Sebab seperti yang kita lihat sendiri roda perekonomian rumah tangga penduduk Indonesia terganggu. Artinya, prioritas utama masyarakat saat ini adalah pemenuhan kebutuhan sandang dan pangan. Dengan kata lain, biaya pulsa atau kuota internet tidak masuk kategori sebagai kebutuhan primer.
Pemerintah lewat Kemdikbud sadar dan cukup responsif pada tanggung jawab itu. Terbukti dana sebesar Rp. 8,9 triliun digelontorkan untuk bantuan kuota internet kepada guru, dosen dan peserta didik demi kelancaran PJJ selama tiga hingga empat bulan ke depan. Dinas-dinas pendidikan di berbagai wilayah Indonesia dalam beberapa hari terakhir tengah sibuk melakukan pendataan untuk mendukung mekanisme penyaluran bantuan tersebut.
Terbukanya akses untuk belajar ini punya efek dahsyat dan pernah dibuktikan oleh Profesor Sugata Mitra pada tahun 1999 di India. Lewat eksperimen yang dikenal dengan nama Hole in the Wall, Mitra melubangi sebuah dinding pembatas antara kampus tempat ia mengajar dengan pemukiman masyarakat miskin. Di lubang itu ia lantas meletakkan sebuah perangkat komputer lengkap. Seiring berjalannya waktu, eksperimen itu membuahkan hasil luar biasa! Tanpa pendampingan guru, anak-anak di daerah kumuh tadi akhirnya mampu mengoperasikan komputer. Artinya, kesempatan melahirkan kemampuan belajar secara mandiri dalam diri manusia.
Tapi, meski bantuan kuota internet tengah diupayakan, bukan berarti masalah sudah beres. Fakta geografis bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 13 ribu pulau dan medan yang sulit dijangkau, membuat kualitas layanan internet masih belum maksimal. Itu sebabnya tempo hari kita sempat disuguhkan dengan pemandangan para pelajar di Simalungun dan Wonogiri yang harus memanjat pohon dan mendaki bukit demi mendapatkan sinyal. Bahkan di pelosok-pelosok, para guru harus mendatangi rumah murid satu per satu untuk mengirimkan bahan ajar.
Pemerintah dapat bergandengan tangan dengan perusahaan-perusaahan yang berlokasi dekat dengan daerah-daerah tadi, terutama yang masuk kategori 3T (tertinggal, terdepan dan terluar). Dalam dunia industri dan bisnis dikenal istilah Corporate Social Responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan. Peranan filantropi perusahaan sebagai wujud pengabdian kepada masyarakat dapat dilakukan, misalnya, dengan cara memberikan layanan Wifi kepada para pelajar agar mereka dapat terus melanjutkan pendidikan di tengah pandemi.
Yang kita perlukan adalah sinergitas segenap stakeholder pendidikan. Ini sebetulnya sudah sejak lama digagas oleh Ki Hadjar Dewantara lewat Tripusat Pendidikan. Dengan kolaborasi hebat Tripusat Pendidikan yang melibatkan keluarga, sekolah dan masyarakat, niscaya konsep Merdeka Belajar bisa kita wujudkan. Salam Pendidikan!
====
Penulis adalah esais dan pengarang buku cerita anak Si Aropan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]