Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Medan. Dilaporkannya Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan, berkaitan kasus "buku merah" yang dirilis IndonesianLeaks dinilai banyak pihak sebagai bentuk kriminalisasi terhadap jurnalis.
Kalangan jurnalis menganggap, masih banyak aparat penegak hukum di Indonesia tidak paham dan sama sekali belum mengerti Undang-undang Pers No 40 tahun 1999. Maka dari itu, Dewan Pers sebagai wadah perlindungan terhadap Pers, diminta turut andil dalam menyelesaikan persoalan ini.
"Jurnalisme investigasi itu sebenarnya penting bagi penegakan demokrasi. Namun, banyak pihak yang belum paham akan tugas dan fungsi pers," kata Ketua AJI Medan, Liston Aqurat Damanik, Jumat (7/12/2018).
Dalam sesi Diskusi Publik bertemakan Jurnalisme dan Pemberantasan Korupsi di Sumatera Utara, Liston berharap kasus serupa tidak terjadi lagi. Sehingga, proses demokrasi di Indonesia ini berjalan dengan semestinya.
"Harapan saya, diskusi semacam ini dapat memberikan sumbangsih terhadap masyarakat, khususnya pekerja pers," kata Liston.
Senada dengan Ketua AJI Medan, Fik Sagala dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sumatra Utara (Sumut) bahkan meminta Dewan Pers untuk menyusun program kerja, berkaitan dengan sosialisasi UU Pers di kalangan aparat penegak hukum.
Kata Fik, masih banyak penegak hukum yang menyelesaikan sengketa pers, dengan menautkan pasal-pasal pidana.
"Aparat penegak hukum itu selalu menyusun BAP hanya berdasarkan pasal KUHP saja. Padahal jelas, ada undang-undang pers yang harus dikedepankan," terang Fik.
Ia mengatakan, minimnya sosialisasi yang dilakukan Dewan Pers menjadi celah bagi penegak hukum untuk melakukan kriminalisasi. Sehingga, masih banyak jurnalis yang menjadi korban, dan tidak mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya.
"Dewan Pers harus punya kiat, bagaimana bisa menyosialisasikan UU Pers ini khususnya pada penyidik. Sehingga, ketika seorang jurnalis berhadapan dengan persoalan hukum, maka hak-haknya untuk mendapatkan keadilan itu terpenuhi," ungkap Fik.
Kedepan, sambungnya, perlu dikuatkan kembali kerjasama antara Dewan Pers dengan lembaga hukum di Indonesia. Sehingga, ketika terjadi persoalan hukum menyangkut sengketa pers, maka lembaga hukum tidak melulu mengedepankan pasal-pasal pidana.
"Kami juga punya pengalaman seperti itu. Ketika yang menjadi korban adalah jurnalis, penyidik hanya menerapkan pasal pidananya saja, tanpa menautkan UU Pers," tambah Kepala Divisi Jaringan dan Advokasi LBH Medan, Aidil A Aditya.
Ia mengatakan, dirinya sudah mencoba meminta penyidik menautkan UU Pers tersebut. Namun, penyidik hanya mengamini permintaannya saja, tanpa menyematkan UU Pers dalam Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) perkara.
Menurut praktisi pendidikan dari Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara, Iskandar Zulkarnain, mwejasama dengan lembaga hukum itu penting supaya ketika terjadi persoalan yang melibatkan pers, maka yang dikedepankan itu UU Pers.
Ia mengatakan, menyangkut pelaporan Ketua AJI Indonesia, Abdul Manan ke polisi, dirinya yakin bahwa apa yang disampaikan IndonesianLeaks itu berdasarkan fakta.
"Saya yakin, Ketua AJI (Indonesia) pasti punya data yang kuat. Dia pasti siap mempertanggungjawabkan itu," katanya. Namun, sambung Iskandar, memang pada level penyidik, sangat minim akan pemahaman UU Pers. Sehingga, masih banyak penyidik yang selalu mengedepankan UU Pidananya.
Koordinator Bidang Advokasi AJI Medan, Dewantoro mengatakan, diskusi ini sebagai respon atas ancaman yang masih terjadinya ancaman kebebasan pers dan kriminalisasi jurnalis terkait hasil liputan investigasi 'skandal buku merah' IndonesiaLeaks beberapa waktu lalu oleh sejumlah media yang tergabung dalam IndonesiaLeaks, yakni Tempo, KBR, Suara.com, Jaring dan Independen.
Pemberitaannya pun berujung pada dilaporkannya Abdul Mannan yang diketahui sebagai salah satu inisiator IndonesiaLeaks oleh Kantor Advokasi dan Investigasi Hukum, Elvan Gomez dan rekan dengan nomor LP/5758/X/2018/PMJ/Ditreskrimum tertanggal 23 Oktober 2018. Manan disangkakan dengan Pasal 317 KUHP tentang Pengaduan Palsu Pada Penguasa.
"Jurnalisme investigatif sangat diperlukan dalam upaya pemberantasan korupsi. Masyarakat bisa terlibat dengan memberikan informasi melalui platform IndonesiaLeaks sebagai wishtle blower. Harus ada dukungan publik agar media bisa bekerja secara maksimal menjadi pilar keempat demokrasi. Jika tidak, jurnalisme dalam bahaya," katanya.
Dalam diskusi yang dihadiri kalangan jurnalis dan pers mahasiswa ini, akademisi Akademisi Universitas Sumatera Utara, Syafruddin Pohan mengatakan, jurnalisme berperan besar dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Dia juga menyoroti tentang indeks kebebasan pers di Sumut yang berada di posisi paling bawah.