Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. Para pakar hukum tata negara berkumpul dalam Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-6. Konferensi tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi terkait kabinet presidensil yang efektif.
Ada empat subtopik dalam KNHTN, yang meliputi posisi tawar presiden dan partaipartai dalam penyusunan kabinet, postur kabinet dan komposisi menteri untuk membentuk kabinet yang efektif, relasi kabinet dengan DPR dan DPD, serta hubungan kabinet dengan pemerintah daerah. Hasil KNHTN menyebut harus ada evaluasi undang-undang yang terkait dengan sistem pemilu, kepartaian, perwakilan, dan pemerintahan.
"Beberapa hal yang perlu dievaluasi adalah pemisahan pemilu serentak menjadi level daerah dan level nasional, meninjau presidential threshold, visi dan misi capres harus menjadi living document, dan jarak waktu antara pengumuman hasil pemilu yang terlalu jauh dengan waktu pengambilan sumpah presiden dan wakil presiden terpilih sehingga membuka terlalu banyak ruang untuk melakukan negosiasi politik," kata Ketua Panitia KNHTN ke-6, Bivitri Susanti, di Hotel JS Luwansa, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Rabu (4/9/2019).
Bivitri mengatakan adanya koalisi sangat membatasi hak prerogatif presiden dalam penentuan kabinet, karena presiden harus memperhitungkan posisi partai politik dalam pemerintahan. Padahal, di sisi lain, ada keinginan kuat untuk memiliki kabinet yang profesional.
"Karenanya, penting untuk membatasi jumlah menteri yang berasal dari partai politik. Sehubungan dengan itu, hak prerogatif presiden harus dimaknai secara mutlak pada kriteria atau kualifikasi menteri. Meski partai politik bisa saja menawarkan kader-kader ataupun profesional yang terafiliasi dengan partainya untuk menduduki jabatan menteri, namun kriteria itulah yang harus menjadi ukuran pemilihan, maupun evaluasi menteri, oleh presiden," ujarnya.
Hasil KNHTN juga mengusulkan adanya syarat bagi menteri, di antaranya melalui mekanisme fit and proper test, menambahkan syarat keahlian terkait dengan bidang yang akan jadi tugas dan fungsinya, memiliki kemampuan pemahaman tentang administrasi negara, memiliki kapabilitas, integritas, akseptabilitas, serta memiliki kemampuan sebagai penghubung dalam birokrasi, standarisasi proses kerja dan output, membangun budaya organisasi.
"Perlu ada pembatasan yang jelas, jabatan menteri mana saja yang harus profesional atau boleh dimasuki parpol. Menteri yang masuk dalam kategori konstitusional sebagai triumvirat, yaitu Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, harus diduduki oleh orang-orang yang profesional. Begitu juga dengan menteri-menteri lainnya, yang mensyaratkan keahlian ataupun pengalaman yang khusus," jelas Bivitri.
Pakar hukum tata negara ini menyebut konferensi itu juga mengusulkan agar presiden mempertimbangkan efektivitas Menteri Koordinator (Menko). Karena, secara konstitusional, tidak ada keharusan bagi presiden untuk tetap mempertahankan Kementerian Koordinator.
"Kalaupun presiden masih memandang perlu adanya Menteri Koordinator, harus dipertimbangkan efektivitasnya, apakah memberi nilai tambah bagi presiden atau tidak," ucapnya.
Selain itu, Bivitri mengatakan efektivitas sistem presidensil tergantung dengan pola relasi eksekutif dan legislatif. Hasil KNHTN juga mengusulkan pemilihan jabatan di ranah eksekutif tidak perlu melalui persetujuan DPR.
"Struktur kabinet bukan sekadar 'gemuk' atau sebaliknya, tapi juga seberapa relevan menerjemahkan dan mensinkronisasikan kebijakan presiden. Mengingat kabinet mendapatkan mandat politik langsung dari presiden, maka presiden sendiri harus lebih dulu mendapat kejelasan dari sisi visi politik," tutur Bivitri.
"Pemilihan dan pengangkatan jabatan-jabatan yang berada di ranah eksekutif, seperti Kapolri, serta pelaksanaan wewenang eksekutif, seperti amnesti dan abolisi, seharusnya tidak perlu persetujuan dan pertimbangan DPR," sambungnya.
Bivitri juga melihat perlunya perbaikan hubungan koordinasi antara Kementerian/Lembaga sesuai sektor masing-masing dengan daerah dan tidak selalu melalui Kemendagri. Menurutnya, desentralisasi merupakan pendorong pemerintahan yang efektif sehingga harus dikelola dengan tepat.
"Penyusunan komposisi kabinet harus memperhatikan konteks otonomi daerah. Perlu ada pembenahan kendali pemerintahan daerah dan desentralisasi dari sisi pembentukan produk hukum daerah," pungkasnya.
KNHTN digelar oleh Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN). Saat ini asosiasi itu dipimpin oleh mantan Ketua MK Mahfud MD.(dtc)