Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com - Jakarta - Tanda-tanda resesi kian meningkatkan kekhawatiran. Hal ini dilatarbelakangi potensi guncangan dari ketegangan perdagangan yang meningkat dalam beberapa bulan terakhir seiring dengan ancaman pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk mengenakan tarif tambahan ekspor China dan tarif baru untuk ekspor Uni Eropa.
Dampaknya ke Indonesia sendiri sudah mulai terasa pada kinerja ekspor sepanjang tahun ini. Kepala Kajian Makro LPEM UI, Febrio Kacaribu memaparkan, dari Januari hingga Agustus 2019 ekspor Indonesia tercatat turun 8% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Ini menunjukkan adanya pelebaran defisit transaksi berjalan pada kuartal II-2019 yang berada pada 3,04% dari PDB (US$ 8,4 miliar) dari 2,6% (US$ 6,9 miliar) pada kuartal I-2019.
"Jika tidak dimitigasi dengan baik, risiko resesi di negara maju dapat memperburuk pertumbuhan PDB Indonesia pada tahun 2021," katanya saat ditemui di LPEM UI, Jakarta, Senin (4/11/2019).
Namun demikian dia meyakini, jika krisis AS terjadi dalam waktu dekat, ada jeda waktu hingga dampaknya terasa ke perdagangan Indonesia.
"Di tahun 2009, ekspor Indonesia merosot 15% (yoy) akibat terjadinya krisis keuangan global, sementara pertumbuhan ekonomi melambat menjadi 4,7%. Tren ini menunjukkan bahwa transmisi guncangan global ke sektor riil domestik tertinggal sekitar enam kuartal dari awal mulanya krisis keuangan di AS pada kuartal II-2008," kata dia.
Perubahan harga bahan bakar global juga akan secara signifikan mempengaruhi neraca perdagangan. Febrio bilang, pemerintah perlu menjaga permintaan domestik untuk mengantisipasi hal tersebut.
"Bagaimanapun, karena neraca perdagangan minyak dan gas tetap defisit selama lima tahun terakhir dan hanya berfluktuasi seiring dengan dinamika harga minyak mentah, minyak impor bukanlah penyebab utama melebarnya defisit neraca transaksi berjalan," katanya.
Proyeksi adanya resesi di tahun 2020 semakin nyata di mana The Fed terus menunjukkan sikap kebijakannya yang non agresif, dengan meningkatnya kemungkinan penurunan suku bunga oleh The Fed di bulan ini hingga akhir 2019. Diperkirakan pelonggaran The Fed maupun bank sentral lainnya akan terus berlanjut di tahun 2020.
Bank Indonesia (BI) saat ini juga berjanji untuk terus melakukan pelonggaran karena adanya perubahan fokus untuk mendukung pertumbuhan. Untuk itu, BI diharapkan setidaknya menahan suku bunga pada tahun 2020 sampai terjadinya gejolak nilai tukar rupiah.
"Kemungkinan ada ruang untuk pemotongan lebih lanjut sebesar 25 bps oleh BI di tahun 2020 jika rupiah terdepresiasi lebih dalam atau untuk menyesuaikan dengan pergerakan suku bunga Fed," kata Febrio.
"Kami melihat bahwa ketika krisis terjadi, hal itu akan mempengaruhi sistem keuangan Indonesia dengan memicu arus modal keluar yang akan memberikan tekanan besar pada Rupiah. Namun, jika BI dapat memitigasi risiko tersebut, itu akan mendorong modal mengalir kembali ke Indonesia setelah periode turbulensi berakhir," tambahnya. dtc