Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Medanbisnisdaily.com-Jakarta. PT Sigmagold Inti Perkasa Tbk hari ini resmi dihapus atau delisting dari papan perdagangan pasar modal. Para pemegang saham menjuluki perusahaan ini sebagai perusahaan hantu.
Keputusan delisting itu merupakan ujung setelah saham TMPI dibekukan selama dua tahun lebih sejak 3 Juli 2017.
Menariknya porsi pemegang saham publik di TMPI mencapai 99,86% tersebar di publik. Angka itu setara dengan 5,49 miliar lembar saham dengan nilai Rp 1,09 triliun.
Sementara untuk sisanya 0,14% dimiliki oleh PT Pratama Duta Sentosa. Angka itu setara hanya 7,5 juta lembar saham dengan nilai Rp 1,5 miliar.
Itu artinya tidak ada pemegang saham pengendali yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Para pemegang saham kini nasibnya tak jelas, salah satunya Nalom Pasaribu.
Nalom mengaku telah membeli saham TMPI sejak 2017 sebelum saham ini disuspensi. Saat itu dia tertarik membelinya karena perusahaan itu lantaran TMPI mengumumkan akan menggarap tambang emas di Sumatera Barat.
"Dua minggu sebelum suspensi saya beli, saat itu harganya sekitar Rp 70-an. Kita baca ada harapan di tambang emasnya. Tapi pada 2018 kan tambangnya dibakar massa. Karena kan posisinya dekat dengan tambang rakyat. Padahal sudah bangun jalan, alat berat sudah ada," tuturnya kepada detikcom, Senin (11/11/2019).
Sayangnya sejak kejadian itu, sahamnya terus merosot hingga gocap. Padahal saham TMPI pernah berada di level Rp 400an per lembar.
Sejak 2017 saham TMPI terus dibekukan dan tak kunjung dicabut status suspensinya. Nalom menduga ada permainan dalam perusahaan.
"Kita menengarai ada tindakan pidana. Di neraca keuangan mereka selalu tertulis ada MTN (surat utang Medium Term Notes) kurang lebih Rp 700 miliar. Setiap tahun muncul, tapi sekarang dari pengakuan dirutnya itu nggak bisa dicairin. Jadi kemungkinan itu bodong, permainan pemilik lama," tambahnya.
Nalom yang sudah menjadi investor pasar modal sejak 1995 itu juga menilai ada yang tidak beres dari porsi pemegang saham ritel yang mencapai 99,86%. Itu artinya tidak ada pemegang saham pengendali.
"Kita selama 3 minggu mengumpulkan pemegang saham ritel cuma terkumpul 10%. Kita nggak tahu tuh 90% itu investor ritel atau bagian dari rencana jahat ini," tuturnya.
Selain itu, pada RUPST TMPI 30 Oktober 2019 silam direksi dan komisaris mengundurkan diri. Praktis para investor ritel kini bingung siapa yang bisa dimintai pertanggungjawaban.
"Ini jadi perusahaan hantu, pemilik nggak ada, kantor nggak tahu di mana. Jadi perusahaan hantu," tegasnya.(dtf)