Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
“Politik diciptakan dan dimanifestasikan berdasarkan filososfi dan tujuan untuk menyediakan kebahagian dan kesejahteraan bagi manusia, tapi yang terjadi adalah sama sekali kebalikannya” (Emha Ainun Najib).
Kira-kira begitulah gambaran politik Indonesia saat ini. Mereka yang tak memproritaskan tujuan kebahagian dan kesejahteraan tersebut, memanifestasikan kursi nyaman seorang anggota dewan serta mengamankan suara rakyat agar dapat terus berkontestasi dalam pemilihan berikutnya.
Indonesia saat ini sangat kekurangan kubu oposisi. Mayoritas mereka yang sekarang duduk di gedung kura-kura Senayan didominasi oleh pendukung petahana, ya siapa lagi kalau bukan presiden kita Joko Widodo. Dalam negara demokrasi seyogyanya oposisi berperan sebagai balancer power, dengan kata lain tugas oposisi sangat berperan penting dalam mengawasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah. Sayangnya, saat Jokowi menang dalam kontestasi lima tahunan tersebut. Prabowo Subianto sebagai rival Jokowi dalam kontestasi lima tahunan itu, membelot dan memilih menjadi pembantu Jokowi sebagai menteri pertahanan.
BACA JUGA: Musim Panas Dinasti Politik
Jika dilihat secara kasat mata, hal ini merupakan hal yang baik saat Prabowo menjadi pembantu presiden demi menjaga situasi panas pasca kampanye yang menimbulkan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Akan tetapi jika dilihat dari pandangan sosial politik dengan sudut pandang demokrasi, tindakan yang dilakukan oleh Prabowo ini akan mengakibatkan kekosongan balancer power. Sehingga rakyat hanya mengganguk-angguk saat pemerintah mengeluarkan kebijakan UU tanpa adanya sanggahan serta pertimbangan yang relevan dari kubu oposisi.
Kejadian seperti ini semakin diperparah saat tiga dari empat partai besar (kecuali PKS) pendukung Prabowo dalam kontestasi pilpres saat itu, kini telah membuka diri untuk turut serta dalam pemerintahan. Wajar, kalau hal ini terjadi karena ketiga partai ini seolah kehilangan muka saat jagoan andalan mereka turut serta dalam kabinet.
Di sisi lain ketiga partai tersebut juga tengah sibuk mengamankan kotak suara dalam pemilihan kepala daerah yang akan datang. Hal ini dilakukan agar mereka tetap mendapatkan dukungan saat turut serta berpartisipasi dalam kontestasi pilpres 2024 nanti.
Akibat daripada kekosongan ini (balancer power), dampaknya dapat kita rasakan sekarang. Seperti tumpang tindih kebijakan undang-undang. Lambatnya proses penangan Covid-19. Serta membahayakan bagi Jokowi selaku Presiden Indonesia, karena tindakan yang diambil oleh presiden tidak banyak yang mengkritik atau menawarkan kebijakan alternatif, sehingga lumrah apabila menimbulkan fenomena kejadian seperti di atas.
Pakar politik UGM, Nyarwi Ahmad , mengatakan bahwa oposisi punya tiga fungsi dalam pemerintahan. Pertama, sebagai saluran pelampiasan ketidakpuasan, kedua, sebagai checks and balances bagi pemerintahan dan yang ketiga sebagai pemberi pandangan alternatif terhadap kebijakan pemerintah, dikutip dari detiknews (28/7/2019). Tidak mengherankan saat ini banyak pihak-pihak yang mengatasnamakan gerakan tertentu sebagai bentuk daripada kritikan terhadap pemerintah. Akibat daripada kekosongan tersebut. Gerakan inilah yang disebut sebagai “Oposisi Jalanan”.
Kekhawatiran sebenarnya daripada oposisi jalanan ini adalah keakuratan data fakta yang terkumpul serta tindaklanjut daripada tuntutan tersebut. Tentu fakta dan data yang disajikan berbeda dengan oposisi partai. Oposisi partai memiliki kader di parlemen, begitu pula dengan di daerah. Secara tidak langsung partai memiliki view yang lebih baik dalam memahami suatu masalah sehingga dalam mmemberikan kritik dan kebijakan alternatif lebih mudah dilakukan.
Berbeda dengan oposisi jalanan yang bisanya hanya menuntut, tanpa memberikan solusi lanjutan terhadap rumusan masalah tersebut. Sebut saja aliansi besar seperti FPI (Front Pembela Islam) dengan ijtima ulamanya yang cenderung ngasal dalam berbicara. Tanpa mengedepankan fakta bahwa ini adalah negara demokrasi yang berasaskan Pancasila.
Begitu juga dengan gerakan KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia) yang hampir serupa sama-sama menuntut tanpa melakukan check and balances dan menawarkan solusi akternatif.
Di kemerdekaan Indonesia yang ke-75 tahun, haruslah disikapi dengan sikap peduli dan semangat yang selalu berkobar. Banyak hal yang harus dibenahi, mulai dari stabilitas ekonomi, pendidikan sampai kesadaran politik masyarakat Indonesia. Selayaknya jiwa seorang pemuda, kobaran semangat dalam membawa arak-arakan api tersebut haruslah dilakukan dengan gegap gempita. Agar semangat luhur pejuang tetap menyala.
Oposisi bukan merupakan sesuatu yang tabuh. Oposisi selayaknya obat yang membantu seseorang menjaga imun dalam tubuhnya. Selayaknya obat, kritikan oposisi memang pahit terdengar, akan tetapi itu semua bertujuan agar imun dalam stabilitas negara tetap pada kondisi yang seharusnya.
====
Penulis merupakan mahasiswa Ilmu Politik FISIP Universitas Sumatra Utara.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]