Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Beberapa minggu yang lalu, saya merilis sebuah buku berjudul; “Kuatkan Pangan di Tengah Ancaman (Ajakan Mengoptimalkan Sumber daya lokal, Mulai dari Pekarangan Sendiri)”. Sebuah perenungan theologis dan praktis saya--sumbangsih untuk tetap bekerja bersama semua stakeholder--membangun HKBP di waktu kini dan mendatang. Mengajak gereja agar tidak hanya sibuk di dalam rutinitas dan seremonial an sich, tetapi mulai peduli dengan persoalan-persoalan di dalam dan di luar dirinya sendiri. Terkhusus di tengah persoalan yang kita hadapi kini di era disrupsi yang tengah melanda dunia. Pandemi COVID-19 menjadi penyebab utamanya.
Persoalan penting yang perlu menjadi sorotan kita bersama adalah soal ketahanan pangan. Pandemi COVID-19 telah menggerus ketahanan pangan dunia. Di bulan April 2020, World Food Programme, badan pangan dunia yang dibentuk oleh FAO PBB menyebutkan bahwa, diperkirakan sebanyak 265 juta orang di dunia akan mengalami kelaparan. Bahkan di negara-negara Ethiopia, Kenya, Somalia, Eritrea dan Djibouti ada 13 juta orang yag melewati seharian penuh tanpa makan. Mereka lapar, haus, tergeletak tak berdaya.
Pandemi COVID-19 membuat kita tidak mungkin bergantung kepada impor semata. Di Indonesia, kementrian pertanian telah merancang beragam program, mulai dari; perluasan lahan, irigasi efektif, pembuatan embung, pemanfaatan lahan rawa dan pengadaan pupuk bersubsidi. Bahkan, agenda perluasan lahan telah digerakkan lintas kementrian. 17 Provinsi di Indonesia turut terlibat di dalam penguatan pangan, dan kita bersyukur, terjadi pertumbuhan PDB pertanian sebesar 16,24%.
Namun, persoalan baru muncul. Indonesia memasuki jurang resesi, dengan pertumbuhan ekonomi minus 5,32% di kuartal II-bulan Juni. Daya beli kita menurun. Pemasukan menipis dan kemandirian masyarakat sangat diharapkan bisa muncul menatap realita ini. Karena itu, dalam persoalan ini kita tidak boleh tinggal diam dan hanya berperan secara rutinitas dan seremonial an sich. Bila sikap ini tetap membudaya dalam diri kita, ancaman dan bahaya kelaparan bagi gerenasi kita akan segera terjadi.
Masih tegakah kita tinggal diam tanpa peduli? Bukankah Sidang PGI di Nomensen tahun 1971 silam, telah mengingatkan gereja-gereja agar peduli terhadap pembangunan? Tidakkah kita juga mengerti bahwa misionaris kita telah menerapkan model pertanian di lahan parggodungan gereja, sekolah, klinik dan rumah sakit. Semuanya mereka lakukan demi pembangunan warga seutuhnya. Untuk itu Gereja HKBP harus meneladani semuanya itu dan ikut aktif partisipatif. Kita harus turut ikut berperan, terlibat membantu beragam kesulitan yang ada. Kristus Yesus Tuhan kitapun melakukan hal serupa, menyampaikan kabar baik pada seluruh ciptaan, menyelamatkan bumi (Yoh 3:16); menyampaikan kabar baik pada orang miskin, orang tawanan, orang buta, tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang (Lukas 4:18-19).
Sebagai pendeta HKBP, sekaligus calon praeses dari Distrik VII Samosir, saya senantiasa berharap dan berdoa demi pemulihan alam dan bangsa kita, Indonesia. Dan saya yakin, bapak-ibu sekalian pasti melakukan hal yang sama. Disamping itu, kita juga perlu berbuat walau dalam langkah sederhana sekalipun. Tentu Ora et Labora, bekerja sambil berdoa demi memperkuat ketahanan dan kedaulatan pangan kita di tengah ancaman pandemi Covid-19 perlu digagas kembali.
Optimalisasi sumber daya lokal dimulai dari diri sendiri di pekarangan rumah, mau tak mau harus dilakukan, demi terpenuhinya kecukupan ekonomi (Yoh 9:4 & Yoh 13:15). Memanfaatkan lahan sempit untuk menanam sayur-sayuran, pemanfaatan limbah bekas seperti paralon, botol dan kaleng plastik, boleh dimanfaatkan untuk bertanam buah dan sayuran. Mengganti pemanfaatan/konsumsi beras menjadi: ubi, kentang, wortel sehingga kadar karbohidrat tercukupi. Menambah nilai pakan dengan mengubah bentuknya seperti; kedelai menjadi susu, tahu dan tempe. Membuat produksi mie dari sayur, ikan menjadi bakso dan empek-empek dan lain sebagainya. Kita telah menerapkannya di HKBP dan akan kita usahakan, agar jemaat merasakan kesempatan yang sama di dalam program-program yang telah kita kerjakan sebelumnya.
BACA JUGA: Menuju Pelayanan HKBP yang Holistik
Sewaktu menjalankan pendidikan manajemen desa, di Asian Rural Institute Jepang (2002-2003), dan menjadi stering comitte di LGA (Life giving agriculture) Korea Selatan, saya melihat bahwa, Jepang dan Korea Selatan juga sudah lama mengerjakan panggilan theologisnya, agar alam kembali ke konsep Taman Eden (Kej 1:31). Jepang dan Korea Selatan kembali ke bentuk pertanian organik. Tidak menggunakan pestisida, pemanfaatan mikro organisma pertanian dan menghindari rekayasa genetika tanaman, demi sorak sorainya alam dan kesejahteraan manusia.
Di dalam buku; “Kuatkan Pangan di Tengah Ancaman (Ajakan Mengoptimalkan Sumber daya lokal, Mulai dari Pekarangan Sendiri)” yang saya terbitkan, saya coba menuliskan model-model pertanian organik, dan bagaimana mengemas produk dari lahan sampai ke meja makan, demi penambahan income (pendapatan) warga gereja secara sehat dan menjaga kepedulian terhadap alam. Kiranya tulisan ini bermanfaat untuk Indonesia secara umum dan warga HKBP secara khusus. Mengingat, sekitar 75% jemaat kita, warga HKBP adalah petani dan mereka tinggal di daerah-daerah pertanian. Potensi ini harus kita manfaatkan bersama, selain untuk menyejahterakan warga jemaat kita para petani, mendorong mereka hingga menjadi aktor ekspor--pemasok produk-produk organik.
Selama 15 tahun menjadi Pendeta Ressort HKBP di desa-desa dan 14 tahun pelayanan saya bersama para petani, di Pengmas HKBP, dan sekarang kembali lagi ke desa di Ressort HKBP Ambarita, Samosir, banyak sukacita dan kegembiraan yang saya rasakan melihat petani-petani kita yang sudah banyak berbuat. Mereka senang kala mengetahui sistem pertanian organik, fermentasi kandang ayam dan ternak, serta tumpang sari dengan pembuatan kompos-pestisida organik dari tumbuh-tumbuhan dan sumber daya lokal tersedia di sekitar mereka. Dengan cara ini, dipastikan biaya produksi rendah, serta keuntungan mereka akan lebih maksimal dan hidup mereka akan sehat, menguntungkan dan berkelanjutan.
Latihan pemasaran dengan memanfaatkan wadah informasi Gereja, membangun restoran (kantin) mini Gereja, latihan penangkaran benih untuk menghempang dominasi benih yang dikendalikan sejumlah aktor, latihan entreprenuership dan home industri. Semua terobosan ini sudah saya terapkan bersama petani dan warga HKBP Ressort Ambarita dan sebagai kepala bidang diakonia di HKBP Distrik VII Samosir. Semuanya ini telah saya muat dengan sederhana di dalam buku. Dan saya harap warga HKBP bisa menggunakannya.
Tentu, terobosan dan gagasan ini akan cukup berarti bila diterapkan di bergagai distrik di HKBP terkhusus di distrik-distrik yang berada di kawasan pedesaan. Menjadi wadah pembelajaran bagi setiap warga, dan menjadi sarana percontohan bagi penduduk lokal, nasional dan interasional, sehigga kedepan distrik yang berdaulat akan dapat segera diwujud nyata.
Sekali lagi, kerja sama pelayanan dengan semua stake holder dalam percepatan perubahan, akan sangat dibutuhkan. Kerjasama antar distirik dikota dan desa, baik dalam pemberdayaan dan pemasaran produk pertanian haruslah diupayakan demi percepatan kesejahteraan rakyat dan warga HKBP. Serta, sorak-sorai bagi alam dan ekologi kita. Tentu bila saya terpilih menjadi Praeses pada perhelatan Sinode Godang HKBP Oktober 2020 mendatang, saya akan menerapkan panggilan ini demi perubahan di tubuh HKBP.
Kiranya, buah pikiran ini bisa menjadi motivasi, sumbangan pemikiran, dan sarana perpanjangan tangan Tuhan untuk terus berkarya dan melayani warga HKBP di waktu mendatang. Mohon doa dan dukungan ibu-bapak sekalian demi kemajuan kita bersama. Salam sehat, Tuhan Yesus memberkati kita sekalian. Horas!
====
Penulis adalah Calon Praeses HKBP dari Distrik VII Samosir.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]