Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
10 November setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Pahlawan, yang berawal dari momentum Pertempuran Surabaya pada Tahun 1945, dimana para tentara, pejuang dan rakyat menyatakan perlawanannya sebagai sebuah bangsa dan negara terhadap Kolonialisme Sekutu yang diboncengi oleh NICA (Belanda). Jika ditarik jauh ke belakang, semangat perjuangan dan pembebasan telah melahirkan kisah perlawanan dari masing-masing daerah, seperti Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien (Aceh), Sisingamangaraja XII (Batak), Diponegoro (Jawa), Sultan Hasanuddin (Gowa) hingga Kapitan Pattimura (Maluku).
Perlawanan akibat derita kolonialisme yang membawa kesadaran pentingnya persatuan dan melahirkan Konsensus bernama Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Sumpah yang menjadi modal utama dalam memanfaatkan momentum kekosongan kekuasaan, pasca menyerahnya Jepang dalam perang Dunia II, akibat bom atom yang mendarat di Hiroshima dan Nagasaki.
Momentum proklamasi kehadiran Indonesia pada dunia, yang ditentang oleh pihak Sekutu dan Belanda, yang menginginkan perpindahan kekuasaan adalah dari Jepang ke Belanda sebagai bagian dari pemenang perang dunia II. Dan akhirnya melahirkan tindakan Agresi Militer 1947 dan 1948, hingga mendorong lahirnya peristiwa Medan Area, Bandung Lautan Api, hingga Puputan Margarana.
Dengan perjuangan bersenjata dan diplomasi akhirnya pada 27 Desember 1949 – atas desakan internasional – Kerajaan Belanda akhirnya mengakui kedaulatan negara yang dahulu mereka sebut sebagai Hindia Belanda. Puncaknya, Indonesia baik secara de facto maupun de jure diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai sebuah negara yang berdaulat pada 28 September 1950 melalui dokumen Resolusi Majelis Umum bernomor kode A/RES/491 Tahun Kelima Tentang Penerimaan Republik Indonesia dalam Keanggotaan di PBB.
Merefleksikan Kepahlawanan Saat Ini
Setelah 75 tahun masa perlawanan dan raihan kemerdekaan, benarkah kehadiran negara dan bangsa sebagai jalan mencapai kesejahteraan umum, kehidupan yang cerdas dan keadilan sosial itu telah hadir? Masihkah semangat kepahlawanan untuk penghargaaan satu manusia atas manusia lainnya sudah terwujud ? Apakah tujuan untuk menegakkan kedaulatan di tengah persaingan bebas dan kemajuan teknologi kita sudah melangkah maju?
Bagaimanakah dengan praktik korupsi yang merupakan warisan kolonialisme dalam setiap sendi birokrasi, pelayanan publik dan politik ? Apakah praktek Intoleransi terhadap sesama anak bangsa, yang membangun garis pemisah karena perbedaan Suku, Ras dan Agama ? Sudahkah Negara hadir untuk memenuhi hak dan kewajiban setiap warga negara tanpa perbedaan?
Segala semangat dan tujuan perjuangan para pendahulu yang memperoleh sebutan pahlawan, justru seperti tergerus oleh massifnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Sangat banyak keluhan yang dilontarkan oleh masyarakat terkait yang harus berhadapan dengan praktik suap, korupsi dalam pengurusan adminstrasi dan izin dari Institusi negara. Bahkan konsesus Sumpah Pemuda 1928 yang menjadi pondasi persatuan seolah semakin menjauh dari semangat masa kini. Secara terang terlihat dari menguatnya politik identitas dalam setiap hajatan politik dari pusat hingga ke daerah, sebagai strategi menarik simpati dan mendulang suara. Wajah politik berbalut populisme yang membenturkan mayoritas dan minoritas, membenturkan suku dan ras, hingga membenturkan pilihan agama dan keyakinan, strategi yang sangat rentan memicu konflik.
Meski banyak diingkari oleh sebahagian kalangan atas nama hak dan tugas keyakinan, namun praktek intimidasi dalam pembangunan dan pelarangan rumah ibadah dibeberapa daerah tertentu, hingga penolakan pimpinan berbeda keyakinan menjadi wujud nyata dari praktek Intolerensi yang mewabah dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan akibat dari “electoral war“ yang terjebak pragmatisme kekuasaan semata dalam Pemilu dan Pilkada, telah mengarahkan Indonesia ke dalam fase “kemunduran demokrasi“, dengan melihat maraknya gejala primordialisme, politik transaksional atau money politic, radikalisme, diskriminasi dan korupsi.
Begitu juga dengan pembajakan demokrasi oleh sekelompok orang untuk melestarikan kekuasaannya sekaligus untuk meningkatkan kekayaannya, di mana posisi kekuasaan semakin berkelindan dengan kekayaan personal, telah menjadikan rakyat sebagai demos yang seharusnya berdaulat hanya dihitung sebagai angka dalam posisi tawar lemah pada setiap perhelatan pemilu yang transaksional atau lazim disebut oligarkhi elektoral.
Begitu juga partisipasi publik yang sering diabaikan dalam penyusunan peraturan dan undang-undang, yang akhirnya melahirkan banyak penolakan, hingga demokrasi yang kehilangan substansinya dalam memberikan kontribusi terhadap kebebasan warga negara, penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan pengurangan kemiskinan serta ketimpangan ekonomi.
Berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila, serta kontekstualitas nilai sejarah dan budaya bangsa, seharusnya kita bergerak dengan demokrasi kolektif yang berbasis pada kepentingan bersama melalui musyawarah dan gotong-royong untuk mencapai permufakatan.
BACA JUGA: Lemahnya Partisipasi Warga Dalam Pembentukan Peraturan dan Perundangan
Dalam kursus Pancasila (22 Juli 1958), Soekarno menekankan, bahwa perjuangan indonesia ke depan haruslah dibangun di atas kebersamaan, serta kekeluargaan, dan musyawarah dalam pemahaman rakyat secara monodualistik, yaitu makhluk kolektif dan individu.
Selama masa pandemi terlihat bagaimana semakin tergerusnya nilai dan semangat kepahlawanan dalam banyak tubuh bangsa ini, penyelewengan data dan bantuan sosial yang merebak, integritas penyelenggara negara yang sangat lemah, kesimpang siuran peraturan, hingga menguatnya egoisme politik dan ekonomi telah menjadi cermin bopengnya wajah kepahlawanan saat ini.
Kita seperti kehilangan rancang-bangun kehidupan berbangsa dan bernegara, kehilangan peranan yang harus diambil negara sebagai penerima mandat dari masyarakat, hingga kehilangan panduan untuk menjadi bangsa yang berakar pada penghormatan akan kemanusiaan dan keberagaman.
Revitalisasi Nilai Kepahlawanan
Pemaknaan peringatan Hari Pahlawan dalam masa pandemi ini, tentunya sangat membutuhkan revitalisasi semangat persaudaran, pengorbanan, moralitas, integritas, kejujuran, hingga konsistensi dari semua pihak dalam menjalankan negara dan kehidupan berbangsa, sebagai sebuah konsekuensi logis ditengah badai pandemi. Dengan merefleksikan kembali perjalanan Indonesia sepanjang sejarah, untuk membangun kembali kesadaran soal identitas dan tujuan keindonesiaan. Jika 1908 adalah kesadaran persatuan sebagai jalan merebut kemerdekaan, maka saat ini adalah kesadaran persatuan untuk membebaskan bangsa dari ancaman Covid-19.
Jika tahun 1908, para kaum terdidik mampu melahirkan kebersamaan dalam wujud Sumpah Pemuda 1928, dengan mengedepankan asas musyawarah untuk mufakat dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan, dan mampu menjauhkan praktek mayoritas yang menekan minoritas. Tentunya bukan sesuatu yang mustahil jika teladan musyawarah dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan sebagai cerminan kepribadian dan way of life bangsa ini, dilaksanakan kembali dalam setiap sendi kehidupan dan pemerintahan Bangsa ini. Dalam pidato 1 Juni 1945, Ir. Soekarno menegaskan bahwa “ Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang.
Bukan satu untuk satu golongan walaupun golongan kaya, tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua, semua buat satu”, dan tujuan perjuangan indonesia adalah demokrasi ekonomi-politik (politiek economische democratie). Keadilan sosial adalah basis moral serta tujuan bernegara.
====
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]