Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Bulan November merupakan bulan yang teristimewa untuk para guru. Pada bulan itu, terdapat hari yang sangat spesial bagi guru. Hari yang di dalamnya untuk merefleksikan diri serta momen kebahagiaan untuk memuliakan guru. Selain itu, bulan ini juga sebagai waktu yang tepat untuk merenungkan kembali sejumlah persoalan pendidikan yang masih berkelindan mencari jalan keluar dari kebuntuan.
Ada setumpuk harapan yang disandarkan kepada dunia pendidikan. Para orang tua kerap berharap, mampukah pendidikan mencetak generasi yang berkarakter kuat? Bilakah pendidikan mampu menghasilkan orang-orang berintegritas tinggi di negeri ini? Sebuah keinginan yang boleh jadi terdengar berlebihan, mengingat pendidikan menjadi tumpuan solusi dari sekian banyak persoalan sumber daya manusia dan problem kemasyarakatan.
Bila bercermin secara jujur pada realitas sosial hari ini tentang produk atau lulusan sekolah, kita merasa prihatin. Pendidikan seolah menjadi sesuatu yang utopis untuk diharapkan sebagai penggerak kemajuan bangsa. Demikian itu terjadi terkait dengan penekanan yang berlebihan pada pola pengajaran di sekolah, dan bukan pada pendidikan itu sendiri. Akibatnya, lahirkan anak didik bermental fasis-feodalis, di mana bila di kelas anak didik cenderung ‘nurut’ dan ‘santun’ serta mengamini apa yang diinstruksikan guru, tapi di luar tembok kelas dapat bersikap beringas bahkan anarkis.
Selama ini banyak yang beranggapan sekolah adalah tempat yang aman dari kekerasan. Faktanya, tidak ada satu pun sekolah di Indonesia yang bebas dari bullying. Yang memprihatinkan, kecenderungan bullying (baik itu verbal, psikologis, atau fisik) semakin deras dari waktu ke waktu. Kekerasan menjadi komoditas tersendiri yang bisa dijual di tengah masyarakt yang ‘sakit’.
Pendidikan pada hakekatnya adalah perubahan perilaku. Mengikuti kerangka berpikir seperti itu, sudah selayaknya proses pendidikan sanggup mengubah sikap dan membangun perilaku sesuai harapan. Kita akui pendidikan di negeri ini mengalami kemajuan. Sarana dan prasarana sekolah terus mengalami perbaikan. Serta prestasi pelajar kita diberbagai ajang kompetisi international juga membanggakan. Mereka memberi bukti nyata bahwa sebenarnya sumber daya manusia kita mampu berjaya. Kita bukan bangsa kuli atau inlander bodoh sebagaimana stempel yang ditempelkan kepada kita selama ratusan tahun oleh penjajah.
Namun, banyak pihak berandai-andai, kalau saja setiap kepandaian dibarengi kepribadian yang mulia tentu akan lebih indah. Andai peningkatan kepintaran diiringi dengan kematangan mental tentu akan melegakan dada semua orangtua. Sayangnya kini, harapan tersebut sebatas pengandaian semata.
Sebagaimana yang telah ditekankan Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, bahwa pendidikan merupakan daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak. Namun, mengapa kini dunia pendidikan kita terkesan abai dengan hal-hal demikian?
BACA JUGA: Memerdekakan Pendidikan Pasca Pandemi
Kehadiran sosok guru yang membawa perubahan di tengah krisis seperti ini sangat dibutuhkan. Sosok guru yang mengedepankan pada orientasi nilai tentang keberadaan dirinya sebagai pendidik dan pengajar. Guru yang bermartabat dan terhormat, benar-benar menjadi panutan, berwibawa, dan disegani. Guru yang mampu mentrasendensikan pembelajaran di kelas, sebagai sesuatu yang lebih dari sekedar transfer informasi dan penjejalan pengetahuan.
Guru yang lebih mengedepankan unsur kasih sayang, kepedulian, keteladanan, kerendahan hati dan keikhlasan serta karakter-karakter unggul lain di dalamnya. Ada passion yang tak berbatas apa pun. Sebuah hasrat yang menggelora untuk melihat para peserta didik bertumbuh, dan ada kerinduan agar mereka bermetamorfosa dan menyempurna menjadi insan-insan yang mampu memberdaya dan mengaktualisasikan dirinya. Itulah sesungguhnya hal yang dimiliki oleh para guru yang akan melegenda.
Di tangan guru yang demikian tidak hanya sekedar mampu menghantarkan siswa hebat dan super dalam hal kepintaran, namun dapat mengisi jiwa-jiwa anak didik dengan kepribadian dan akhlak yang budiman. Inilah sebagai karya sang guru yang akan membawa bangsa ini menuju pembaruan dan transformasi pendidikan.
Bila Pablo Picasso dalam rentang waktu 75 tahun dapat melahirkan 20.000 lukisan indah dan dalam satu minggu ada 5 karya yang terlahir dari jemarinya. Maka para guru, dalam satu hari, entah berapa ratus kanvas jiwa yang dilukiskan dengan keindahan dari kearifan hidup. Dengan demikian, bila sepanjang hayat, entah berapa ratus ribu lukisan jiwa yang telah dikaryakan dari seorang guru. Inilah maha karya nan abadi yang tidak pernah usang di makan waktu. Semoga kita masih menemukan sosok guru seperti itu di negeri ini.
====
Penulis Wakil Urusan Humas di SMA Negeri 1 Matauli Pandan, Tapanuli Tengah.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul opini/artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]