Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
SETIAP saat merayakan HUT kemerdekaan RI, pertanyaan evaluatif tentang keadaan bangsa kembali mengemuka. Apakah kematangan usia dapat terekspresi pada realitas bangsa yang kian membaik? Ada sejumlah catatan dalam bingkai pendidikan untuk merajut kembali makna kemerdekaan secara keseluruhan
Sejumlah keprihatinan yang masih membelenggu kemerdekaan pendidikan tertulis dalam tanya, mengapa pendidikan di Indonesia saat ini sepertinya menghadapi jalan buntu? Adakah jalan keluar untuk mengatasi persoalan pendidikan pasca pandemi ini?
Beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah terkait persoalan pendidikan di masa pandemi, diantaranya untuk tidak melakukan pembelajaran di sekolah sebagai dampak pandemi covid-19 pada tahun pelajaran 2020/2021 untuk daerah yang masih zona merah. Kemudian yang baru saja digelontorkan Mendikbud adalah kurikulum darurat sebagai penyederhanaan kurikulum yang ada sebelumnya selama pandemi. Namun, kebijakan tersebut malah membuat masyarakat semakin ragu dan menilai pemerintah tidak tegas dalam memberikan keputusan untuk keluar dari krisis di masa pandemi.
Kejenuhan para siswa dan orang tua yang hampir memasuki bulan ke lima untuk belajar di rumah sudah mencapai puncak. Sehingga kebijakan pemerintah dengan pembelajaran jarak jauh begitu menggemaskan bagi sebagian masyarakat. Unjuk rasa melalui media sosial agar sekolah dibuka begitu masif seiring dibukanya sektor lain seperti mall dan tempat wisata. Namun, pemerintah tetap bergeming.
BACA JUGA: Dimensi Pendidikan dalam Ritual Kurban
Alasan melindungi anak-anak dari terpaparnya covid-19 tentu sangat logis, namun beratnya orang tua memikul peran ganda sebagai “guru semua mata pelajaran” sekaligus “donatur kuota internet” menyebabkan banyak orang tua merasa resah. Lalu, mengapa pemerintah bergeming?
Belum lagi berita tentang munculnya klaster baru setelah sekolah dibuka dalam beberapa hari yang lalu Sejumlah siswa dan guru terpapar covid-19 walaupun sekolah sudah menerapkan protokol kesehatan. Kondisi demikian, tidak bisa menjamin dengan dibukanya sekolah untuk melaksanakan tatap muka dapat lepas dari paparan covid-19.
Pada HUT kemerdekaan seperti ini, kita perlu ikhlas mengakui, keterpurukan yang masih dialami bangsa ini terkait dengan model pendidikan yang kita anut. Meski secara dejure cukup merdeka dalam menentukan model pendidikan, namun secara defacto, praktik kolonialisme masih dominan. Pendidikan kita masih bernuansa imitatif untuk mengembangkan kemampuan operatif dan akuisitif dari teknologi. Sementara itu, kemampuan suportif apalagi inovatif dan kreatif masih jauh dari harapan.
Tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini, selain mengambil spirit kemerdekaan tahun ini untuk merancang pendidikan bangsa yang merdeka pasca pandemi. Spirit kemerdekaan dalam pendidikan pasca pandemi ini bisa diwujudkan paling tidak dalam tiga hal. Pertama, perlu pemberdayaan ruang kreatifitas. Upaya-upaya pemerintah untuk mendorong pembelajaran jarak jauh, penguasaan teknologi menjadi barang vital untuk menjembataninya. Namun, para siswa perlu dipandang sebagai partner pendidikan dan subyek pedagogis yang perlu diutamakan. Bersama guru, mereka meretas relasi kerekanan yang saling memberi dan menerima. Dan terpenting, akal, nurani, dan tangannya (head, heart, hand), diberdayakan secara utuh. Di sana, diharapkan agar dalam kondisi berbeda mereka mampu menjadi pelaku. Itulah yang dikehendaki dalam kemerdekaan pendidikan ini. Kehadiran teknologi hanya merupakan pelengkap pembelajaran semata.
Pendidikan juga perlu menanamkan sikap kritis pada anak didiknya. Melalui model pendidikan seperti itu, terlahir manusia-manusia kritis yang mampu melihat aneka tantangan dari zamannya. Spirit kemerdekaan dan pendidikan kritis, kata Asep P.B. (2006), akan menumbuhkan kuriositas intelektual, kematangan emosional, dan kejernihan spiritual anak didik. Mereka akan mampu melakukan transformasi diri menjadi orang-orang yang terbebaskan, lantaran institusi pendidikan dan lingkungan memberikan ruang dan iklim yang kondusif.
Kedua, kita butuh pijakan filosofis pendidikan yang kuat untuk take off dari krisis selama pandemi. Ia menjadi kekuatan internal yang menjadi pedoman dan penuntun arah dalam berbagai kebijakan yang tidak tergoyahkan. Kenyataan menunjukan, perubahan yang kerap terjadi pada level kurikulum, lebih menjadi ekspresi imitatif terhadap negara lain ketimbang buah refleksi dengan pijakan falsafah bangsa yang kuat. Kita bagai bunglon yang begitu rajin mengubah warna, tetapi tidak pernah menukik ke kedalaman batin untuk menjadikannya titik awal perubahan.
Dan yang ketiga, butuh kehendak politik. Rambu-rambu yang terumus dalam kurikulum amat baik karena mengikuti pemikiran pedagogis-edukatif mutakhir. Hanya saja, rancangan itu tidak disertai komitmen. Pemerintah masih setengah hati dalam perubahan hingga ada kesan masih ada neokolonialisme. Diperlukan eksistensi pendidikan yang memiliki spirit kemerdekaan. Artinya, pendidikan dipercaya punya pengaruh yang positif dan sekaligus menghasilkan kualitas hidup masyarakat yang lebih baik. Dalam perspektif ini, pendidikan bisa dilihat sebagai sebuah institusi untuk menginternalisasikan dan mensosialisasikan kemerdekaan, prinsip kemandirian, dan nilai hak asasi manusia harus bisa dijalankan.
Untuk itu, tidak ada pilihan selain menyadari kembali pola pendidikan yang masih menindas dan menguatkan kehendak agar secara kolektif-kebangsaan kita membuat pembaruan. Hanya dengan demikian, bangsa akan makin maju secara gradual dan kian kokoh untuk bisa melewati masa pandemi. Inilah refleksi usia ke-75 tahun bangsa Indonesia. Usia yang bisa dipandang sebagai momen strategis untuk membangun kembali semangat pembaruan dari situasi pandemi covid-19 di dunia pendidikan. Menjadi bangsa yang merdeka adalah sebuah pilihan dan kita sudah menentukannya 75 tahun yang lalu. Mari kita menjadikan kekuatan perjuangan yang pernah ada sebagai alat untuk melepaskan problema pendidikan dari keterpurukan. Dirgahayu Indonesiaku!
====
Penulis Dosen STIE Al Washliyah Sibolga-Tapanuli Tengah dan Wakil Kepala Sekolah Urusan Humas SMA Negeri 1 Matauli Pandan.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Tulisan sebaiknya tidak dikirim dalam bentuk lampiran email, namun langsung dimuat di badan email. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]