Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Akhirnya, untuk pertama kali, dalam sidang PBB, baru baru ini, Pak Jokowi berpidato dengan menggunakan bahasa Indonesia. Apakah itu soal nasionalisme? Bisa jadi. Tetapi, saya pikir, ini lebih pada pematuhan UU dan turunannya, berupa Perpres RI Nomor 63 Tahun 2019.
Di luar itu, saya pikir, ini juga menyangkut rasa percaya diri bahwa kita mulai bangkit. Betapa tidak? Pada saat yang sama, Vladimir Putin dari Rusia, Xi Jinping dari RRT, dan Erdogan dari Turki menggunakan bahasa mereka juga. Kita sekilas sudah sejajar dengan negara negara besar itu.
Memang, di luar fakta itu, ada rasa minder berbahasa Indonesia. Happy Sunday lebih dipilih daripada selamat hari Minggu; Merry Christmas daripada selamat Natal; HBD daripada selamat ulang tahun. Bahasa dibuat berkasta. Dan, kita membuat bahasa kita dengan kasta nomor sekian.
Kita minder dengan bahasa Indonesia. Minder sekali. Karena itu, ketika akan membuat harga tinggi, kita harus meminjam bahasa asing. Coffee mendadak dipajang di hotel dengan harga yang lebih mahal daripada kopi yang hanya mampir di lepau-lepau. Fried rice disajikan mewah di restoran-restoran ternama dengan bayaran lebih tinggi daripada nasi goreng yang hanya puas di kedai-kedai pinggir jalan.
Bahasa asing seakan mengubah nasi goreng jauh lebih bermartabat hanya dengan menukar namanya menjadi fried rice. Tidak hanya makanan, nama-nama tempat terhormat di bumi Indonesia ini juga selalu dengan label bahasa asing, seolah jika dengan bahasa Indonesia, tempat-tempat itu akan remuk.
Nyata sekali, kita melanggar UU yang kita buat sendiri. Sayangnya, seperti dilaporkan Ombudsman, semua pelanggaran itu, ya, ya, ya, didiamkan saja. Padahal, bahasa itu tidak soal alat bicara. Bahasa adalah juga sebagai simbol. Jadi, ia sama seperti Sang Saka Merah Putih. Jika Sang Saka dikoyak, kita pasti meradang.
Tapi, tidak dengan bahasa. Ia justru dinomorsekiankan. Padahal lagi, melihat secara visual dan memaknai Sumpah Pemuda, bahasa ada di puncak. Jika sumpah pemuda 1-2 terkesan salin tempel dengan kata kerja "mengaku", sumpah ketiga sudah tak sebatas salin tempel dan tak sebatas pengakuan. Ia sudah jatuh ke puncak: "menjunjung". Apakah kita menjunjungnya? Bisa jadi. Atau: amiiiiiin!
Yangg pasti, salah satu upaya menjunjung bahasa ialah dengan menggunakannya tepat guna, masuk akal juga. Sayangnya, melihat pamflet dari KPU Humbang Hasundutan ini, saya tersipu malu sebagai warga Humbang sekaligus sebagai lulusan prodi berlabel "bahasa Indonesia". Sedemikian kacaukah nalar bahasa mereka (atau: kita?) sehingga tak tahu apa itu arti debat publik? Lihat kembali KBBI-mu wahai anggota KPU (atau: kita?).
Kalau tak punya silakan cari dari google. Kalau tak ada paketmu, mari saya kutip arti "debat" menurut KBBI di sini: "pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing masing".
Jika tak jua mengerti arti dari pemahaman itu, biar saya jelaskan teknisnya. Ada kata "saling" berarti minimal harus ada dua pihak. Saling itu bermakna resiprokal, berbalasan. Jika hanya satu tanpa ada pihak kontra, maka itu bukan debat. Malah, jika diartikan dengan kasar, ini justru kampanye gratis dari satu pihak dengan menggunakan dana dari KPU barangkali, bukan? Pesta gratis, itu istilahnya.
Jika jua hanya satu tetapi diuji oleh moderator atau ahli atau apa pun itu, ini namanya presentase, jauh dari kata debat, bukan? Maka, jangan salahkan saya jika mengartikannya dengan kotor bahwa ini hanya presentase gratis yang disiarkan ke khalayak. Saya belum dan tak akan bicara soal keadilan terkait apakah di sana juga disosialisasikan di luar satu calon yang kebetulan memang tunggal itu. Soalnya, apakah masih penting membahas keadilan di masa sekarang ini? Ini pertanyaan retoris. Jadi, biarkan hatimu yang membuka mulutnya.
BACA JUGA: Menang Melawan Kotak Kosong vs Menang Melawan Kandidat Lain
Walau begitu, supaya ada asas praduga tak bersalah, izinkan saya mengambil kalimat promosi dari KPU secara utuh: "Debat Publik Pemaparan Visi dan Misi Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Humbang Hasundutan 2020". Adanya frasa "debat publik" di sana berarti ada kemungkinan pasangan calon akan berdebat dengan publik. "Publik" jadi persona atau dipersonakan.
Karena itu, "debat publik" di sana bukan soal apakah debat itu sifatnya negasi-publik, yaitu privasi dan sejenisnya. Artinya, dua-individu sebagai satu kesatuan (tim) akan beradu gagasan dengan publik (tim lain) yang hadir pada acara itu. Bisa 1, bisa 2, bisa 3, dan jika yang hadir 150 orang, maka ini debat 2 individu melawan 150 individu. Tetapi, sekonyol itukah?
Logika lain ada juga. Kita bisa melihat ke bagian selanjutnya: "pasangan calon bupati dan calon wakil bupati". Jika logika ini dipakai, kata "dan" pada klausa itu bukan sebagai satu kesatuan. Ia jadi resiprokal atau berlawanan. Pada lajur berpikir demikian, calon bupati akan melawan calon wakil bupati beradu gagasan. Keduanya diceraikan dan tidak lagi sebagai senuah tim.
Nah, jika alur berpikir ini yang digunakan, tentu menarik untuk melihat keduanya berdebat. Dan, jika alur logika ini yang dipakai, bahasa KPU memang benar adanya. Benar sekali. Yang jadi soal, apakah dua tokoh itu, yaitu Pak Calon Bupati dan Pak Calon Wakil Bupati memang akan saling mendebat? Atau, jangan jangan jatuh jatuhnya debat ini akan jadi promosi atau juga presentase? Saya tak mau menjawab. Jawaban terbaik ada di kepala pembuat pamflet itu.
====
Penulis Aktif di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]