Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Saya sangat percaya, kritik adalah nutrisi. Artinya, tanpa kritik, jika diibaratkan ke tubuh, maka akan tumbuhlah manusia kering tanpa gizi. Demikian sebaliknya. Sudah banyak cerita para tokoh di mana mereka lahir dan bertumbuh untuk semakin dikenang hanya karena mendengar kritik. Karena itu, memberi kritik tak identik dengan membenci. Dalam arti yang sempurna, mengkritik berarti mengagumi, bahkan mencintai. Sama juga: mendengar dan berubah karena kritik berarti menerima cinta dengan baik. Bahasa gaulnya: tidak PHP.
Dalam lajur berpikir demikian, seharusnya Dosmar sebagai orang nomor 1 di Humbang Hasundutan harus bangga karena demikian banyak orang yang peduli kepadanya dengan cara mengkritik. Tetapi, pengkritik tak selalu benar. Bagaimana pun, pengkritik bukan Tuhan. Karena itu, tak semestinya kita mencerca orang yang mengkritik dengan kalimat berikut: emangnya apa yang sudah kamu kerjakan sehingga berhak untuk mengkritik? Bayangkan betapa buruknya kehidupan ini jika kita harus berbuat dulu maka sah dan berhak untuk berpikir. Sederhana saja, apakah seseorang harus pernah dulu menjadi bupati, maka berhak mengkritik bupati?
Semoga logika di atas kita pahami dengan baik. Nah, sekarang, mari masuk ke lapangan. Saat ini, ada begitu banyak kritik yang dilontarkan kepada Bupati Dosmar Banjarnahor. Kritik itu bergelimang di media sosial dengan kalimat yang hampir selalu berulang dengan redaksi yang kurang lebih demikian: di bawah rezim Dosmar, Humbang Hasundutan bermasalah. Kritik itu benar adanya. Tetapi, harus dipahami, semua pemimpin punya masalahnya sendiri, kok. Justru seorang pemimpin dipilih untuk menuntaskan masalah, bukan?
Baiklah, saya pikir kalian sudah paham bahwa saya setuju-setuju saja jika ada yang mengatakan kalimat ini: di bawah rezim Dosmar, Humbang Hasundutan bermasalah. Tetapi, seharusnya kita menempatkan kritik pada kamar yang benar. Arti kamar yang benar begini. Saya tahu persis salah satu yang dikritik dari Dosmar adalah karena di masa kontemporer ini, betapa di sebuah desa di Parlilitan masih saja ada dusun yang belum dialiri listrik. Sungguh ironi memang. Namun, apakah ini murni masalah Dosmar Banjarnahor semata? Saya jamin tidak. Ini justru masalah dari bupati dari periode ke periode sebelumnya.
Karena itu, misalnya, saya tak salah menyebut bahwa bupati sebelumnya, meski dua periode, rupa-rupanya gagal sekali bukan? Tentu maksudnya dalam konteks dusun tadi. Artinya, menyalahkan Dosmar semata pada kasus ini sungguh tidak objektif. Justru, saya yakin, masalah sebenarnya malah terletak pada kepala desa yang bersangkutan: mengapa tidak ada agresivitasnya atau proaktifnya untuk mengusulkan kepada bupati secara repetitif, misalnya? Apakah persoalan desa tak bisa diselesaikan desa? Semoga kita paham bahwa meski ini salah satu kegagalan Dosmar, tetapi ini tak mutlak hanya kegagalan beliau, bukan?
Walau begitu, kita berharap, kritik ini bisa ditanggapi Sang Bupati dengan benar. Bagaimana pun, ia terpilih sebagai bupati untuk semua. Urusan mengaliri listrik barangkali bukan tugas pokoknya. Tetapi, saya sangat yakin, pesan dari Sang Bupati kepada PLN akan jauh lebih berwibawa daripada rintihan ratusan puluhan warga kampung. Artinya, hanya dengan satu kalimat saja, barangkali PLN akan lebih intensif untuk bekerja sebab bagaimana pun, adalah keterlaluan jika saat ini listrik belum ada pada sebuah desa.
Yang pasti, jika kritik tidak ditanggapi, menyitir pada pembuka tulisan ini, maka yang dikritik dapat diibaratkan sebagai orang yang menolak cinta atau tadi bahasa remajanya: PHP. Betapa menyedihkan jika cinta ditolak bukan? Sungguh menyedihkan. Apalagi arti demokrasi itu adalah bersuara. Mengkritik merupakan salah satu bentuk dari suara. Namun, hakikat paling inti dari demokrasi tidak hanya bersuara. Apalah artinya demokrasi jika maknanya sebatas suara? Jika demokrasi sebatas bersuara, demokrasi tak lain hanya pesta kebisingan bukan? Apakah demokrasi hanya soal adu bising? Tidak!
BACA JUGA: Mengharap 'Jokowi Baru' di Humbahas
Demokrasi tidak sebatas bersuara karena itu bukan soal adu bising. Hakikat demokrasi justru ada pada ini: mendengar suara, dalam hal ini, mendengar kritik. Demokrasi tidak soal mulut yang meminta, tapi juga telinga yang mendengar. Karena itu, kritik adalah sebuah kelaziman, bukan kezaliman. Dalam pada inilah saya sebagai warga Humbang sangat bangga jika banyak orang yang mengkritik, apalagi jika mereka adalah intelektual. Tentu, arti kritik tak boleh tendensius bahwa ini mutlak kesalahan seseorang. Kritik juga tak boleh sampai menyinggung personal.
Yang harus dikritik adalah program. Di luar program, maka itu kebencian, bahkan caci maki. Demokrasi tentu saja bukan caci maki meski pada titik tertentu ia bisa dimaklumi, terutama jika yang dikritik tak kunjung mendengar. Nah, mengapa saya sebut sangat bangga, terutama jika pengkritik adalah kaum intelektual? Apakah itu artinya bahwa intelektual berarti harus oposisi? Tidak. Mengkritik tidak selalu sama dengan oposisi bukan? Mengritik lebih lebih tak sama dengan membenci. Saya dalam beberapa artikel di berbagai media seperti Kompas acap kali mengkritik pola pendidikan. Tetapi, bukan berarti saya adalah pembenci pendidikan. Toh, saya adalah guru.
Sekali lagi, saya pikir kita sudah sepakat: mengkritik tidak sama dengan membenci. Karena itu, mengkritik tidak bisa jatuh jatuhnya malah mencaci maki. Mengkritik itu mencintai karena itu bahasanya meski tegas, tetap harus berada pada koridor etika. Itulah sekilas terkait kritik. Hanya memang, bergelimangnya kritik saat ini, lamat lamat kemudian saya renungkan, tak bisa dimungkiri, oh, betapa ini tak melulu kesalahan Dosmar Banjarnahor. Ternyata, bergelimangnya kritik di Pemkab Humbang ini mengantar kita pada sebuah hal mengerikan di balik layar: di mana para anggota dewan?
Pertanyaan ini saya kira cukup wajat. Mengapa, misalnya, kewajiban mereka untuk mengkritik malah diambil alih oleh rakyat, dalam hal ini netizen? Seharusnya, anggota dewan sebagai tandem dari pemerintah mesti lebih cekatan daripada netizen. Jika mereka diam saja, itu artinya mereka tak bekerja bukan? Saya inginnya tak mau mengatakan kalimat ini: jika rakyat mengkritik, berarti anggota dewan tak bekerja. Namun, bagaimana saya untuk tidak mengatakan itu jika hal itu seperti nyata nyata terlihat dan terpampang?
Baik, mari kita akhiri. Karena judul tulisan ini terkait dengan satu kata kunci, yaitu objektif, kita harus memberi apresiasi bahwa Dosmar Banjarnahor berhasil memajukan pembangunan manusia. Bahkan, di tengah pandemi, menurut BPS, IPM Humbang tetap naik dari 68,83 (2019) ke 68,87 (2020). Walau begitu, kita masih tertinggal dari IPM Sumut 71,74 (2019) ke 71,75 (2020). Namun, Humbang perlu bangga. Jika kenaikan IPM Sumut hanya 0,01 poin, IPM Humbang malah naik 0,04 poin. Artinya, dalam hal kenaikan, Humbang masih terhitung di 34 kabupaten di Sumatera Utara. Itu sebuah prestasi bukan?
Tetapi, ini sebuah kejujuran, sebagai warga yang sekecamatan dengan Dosmar Banjarnahor di Pollung, saya termasuk orang yang setia mengkritiknya karena sejak ia bupati, tak satu pun sentuhan pembangunan infrastruktur di desa saya di Hutapaung. Kalau soal ini, ini tidak kegagalan bupati sebelumnya. Sebab, pada bupati sebelumnya, jalan ke kampung kami di Simandampin misalnya sudah diaspal. Memang, di sisi lain, ia memberi sentuhan berbeda melalui pertanian. Tetapi, soal infrastruktur, ia ketinggalan.
Hehehe, entah kenapa di kalimat ini saya malah tertawa. Sebab, diam-diam, tiba-tiba saya tersadar bahwa ini rupa rupanya tidak soal Dosmar saja. Ini juga soal kepala desa di sana. Ngapain kepala desa kami selama ini, ya? Apakah sibuk ke bidang pertanian atau ke literasi? Saya belum punya jawaban. Sebab, saya bukan pejabat di desa.
====
Penulis Warga Simandampin, mewakili Humbang Hasundutan (Sumatera Utara) pada Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia di Jakarta.
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]