Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Pernyataan Presiden Joko Widodo untuk mencintai produksi dalam negeri dengan mengurangi, bahkan membenci penggunaan produk asing, seperti berbanding terbalik dengan rencana kebijakan impor beras 1 juta-1,5 juta ton dari Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Perdagangan. Termasuk program ketahanan pangan yang diluncurkan Presiden melalui ikon “Food Estate“ di Kalimantan Tengah dan Humbang Hasundutan, hingga rencana Kementerian Pertanian untuk setiap provinsi minimal memiliki satu kawasan food estate, sampai rencana setiap kabupaten membentuk minimal satu korporasi dengan model integrated farming.
Sementara menurut Dirut Badan Urusan Logistik (Bulog), Budi Waseso yang mendapatkan penugasan untuk melakukan import beras, garam dan gula, stok beras justru masih menumpuk dan masa panen raya petani akan segera masuk hingga Mei 2021.
Selama 2017 sampai dengan 2019 sektor pertanian telah menunjukkan kinerja yang bagus, melalui indeks ketahanan pangan yang terus meningkat hingga 62,6 dengan prioritas keamanan pangan, yang mensyaratkan ketersediaan pangan melalui produksi dalam negeri yang sejauh ini telah mencukupi kebutuhan.
Bahkan pada masa pandemi Covid 19 ini, sektor pertanian justru memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, sektor pertanian berkontribusi besar terhadap pendapatan domestik bruto (PDB), dimana kuartal II 2020 tumbuh hingga mencapai 16,24 persen (q to q), dan kuartal III masih tumbuh 2,15 persen.
Bahkan tidak hanya PDB yang positif tapi juga ekspor meningkat. Selama beberapa bulan terakhir secara nasional tumbuh positif dibandingkan tahun lalu. Periode Januari sampai September 2020 kontribusi nilai ekspor pertanian mencapai Rp 304 triliun, naik sekitar 10%. BPS juga merilis kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP) bulan November 2020 sebesar 102,86.
Kontroversi Kebijakan
Dirut Bulog sendiri telah menyatakan akan lebih fokus pada upaya menyerap produksi dalam negeri yang diprediksi bisa mencapai 500.000 ton selama masa panen raya pada Maret - Mei nanti. Jumlah itu setara dengan 50 persen dari volume minimal cadangan beras pemerintah yang harus dikelola Bulog.
BACA JUGA: Food Estate Jokowi dan Cerita Gagal Program Sejenis Terdahulu
Selain pertimbangan musim panen dan kewajiban menyerap produksi dalam negeri, ternyata Bulog juga masih mengelola sisa beras impor 2018 yang mulai mengalami penurunan mutu. Menurut pihak Bulog, hingga 14 Maret 2021, setidaknya masih ada 275.811 ton beras medium sisa impor 2018, sekitar 106.642 ton di antaranya dilaporkan sudah mengalami penurunan mutu.
Sedangkan data BPS per November 2020, produksi padi sebesar 55,16 juta ton GKG (gabah kering giling), atau setara dengan 31,63 juta ton beras, lebih tinggi 1,02% daripada produksi padi 2019, peningkatan produksi yang disebabkan oleh peningkatan luas panen sebesar 108.930 hektare atau naik 1,02% menjadi 10,79 juta hektare.
Sebaliknya, produktivitas padi relatif sama dengan tahun 2019 sekitar 5,1 ton/hektare (ha), hasil yang dicapai berkat kerja keras ± 14 juta keluarga petani padi yang terus giat bekerja di tengah pandemi Covid 19, sebuah prestasi kaum tani ditengah pemotongan anggaran Kementerian Pertanian sebesar Rp. 7 triliun pada tahun 2020 untuk mengatasi pandemi covid-19.
Bahkan laporan BPS tersebut juga menyebutkan sebanyak 22 provinsi yang mengalami pertumbuhan produksi, bahkan 10 di antaranya mengalami pertumbuhan di atas 7% jika dibandingkan dengan 2019.
Dengan data yang diberikan oleh BPS dan Kementerian Pertanian, sudah seharusnya Presiden Joko Widodo melakukan intervensi untuk mengingatkan para Menteri agar konsisten dengan kebijakan pengembangan produk dalam negeri dengan mengedepankan penyerapan produksi dalam negeri.
Termasuk bagaimana lintas Kementerian membina, menstabilkan jalur distribusi pasca panen, hingga memproteksi lahan dan harga pasar, untuk meningkatkan kesejahteraan petani, karena jika tidak, sektor pertanian akan semakin tidak menarik dan ditinggalkan oleh petani dan generasi muda karena tidak memberikan harapan bagi kesejahteraan.
Padahal sejak 2018, Pemerintah sempat menghentikan import beras, karena produksi dalam negeri yang mencukupi kebutuhan beras nasional, sekaligus menjaga harga pasca panen, yang selalu menjadi keluhan para petani karena tidak seimbang dengan harga produksi yang telah dikeluarkan.
Rencana impor ini jelas akan memberikan kekhawatiran bagi petani, terkait harga gabah yang dibeli oleh Perum Bulog akan mengalami penurunan, bahkan mungkin akan mematahkan semangat petani dalam berproduksi, di tengah harga gabah kering giling yang cukup seimbang saat ini, diharga Rp 4.200-Rp 4.800/kg.
Bahkan target import beras sebesar 1-1,5 juta ton 2021 ini, jauh lebih besar daripada realisasi impor beras dalam beberapa tahun terakhir, yakni 844 ribu ton (2014), 862 ribu ton (2015), 1.283 ribu ton (2016), dan 308 ribu ton (2017), maka kemungkinan dengan impor dalam jumlah besar ini, akan membuat harga gabah kering giling petani akan terdorong ke bawah.
Sinkornisasi Data dan Kebijakan
Jika melihat data yang di rilis oleh BPS dan Kementerian Pertanian, maka jelas sangat tidak sinkron dengan kebijakan import beras yang diputuskan oleh Menko Perekonomian dan Menteri Perdagangan.
Maka kebutuhan data yang terpadu dan terintegrasi antar Kementerian adalah sesuatu yang sangat penting, terutama sebagai dasar pemikiran dalam membuat kebijakan yang akurat, karena kebijakan yang keliru, terutama yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti impor beras, akan sangat berpotensi menyengsarakan banyak orang.
Keharusan hadirnya data yang akurat dan bebas kepentingan tak bisa ditawar-tawar lagi, sebab sudah terlalu banyak tenaga, energi, dan sumber daya terbuang sia-sia, karena memperdebatkan kebijakan yang bersandar pada data yang tidak akurat.
Kalau kebijakan import beras ini tetap dilanjutkan, maka data BPS, Kementerian Pertanian dan Bulog seperti diabaikan, termasuk mengabaikan nasib petani yang akan memasuki masa panen raya, dan seperti menunjukkan bahwa masalah sinkronisasi, koordinasi, dan Integarasi kebijakan pemerintah sangat jauh dari harapan.
Karena ketika Kementerian Pertanian mengumumkan mengalami surplus beras, dan diperkuat rilis BPS pada 1 Maret lalu, yang menyebutkan bahwa potensi produksi padi Januari - April 2021 diperkirakan mencapai 25,37 juta ton Gabah Kering Giling, atau memiliki potensi produksi beras hingga 14,54 juta ton beras, lantas apa alasan kongkrit Kementerian Perdagangan mengambil kebijakan impor beras 1 juta-1,5 juta ton.
====
Penulis Direktur Eksekutif Perhimpunan Suluh Muda Indonesia (SMI)/penggiat HAM dan Demokrasi
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]