Login • Lupa Password | Daftar segera dan nikmati pemasangan iklan baris secara gratis! |
Tahun 2063 masih sangat lama, pikir saya setelah melihat postingan viceind di instagram. Dalam ilustrasi tersebut dinyatakan “Indonesia Terancam Tak Lagi Punya Warga yang Mau Jadi Petani pada 2063.” Hal tersebut masih hasil prediksi dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Dan pernyataan di atas bisa kita artikan memiliki perbedaan makna jika dikaji dari berbagai aspek.
Hal yang menarik juga saya dapat dari artikel “Pertanian masih jadi Tumpuan Warga Miskin” yang terbit di media massa Media Indonesia 22 Maret lalu. Poin-poin dalam artikel tersebut membuktikan bahwa sektor pertanian menjadi primadona bagi masyarakat di Indonesia yang tingkat PDB-nya berada pada posisi ke 122 di dunia. Bisa kita bilang sektor pertanian tidak akan bisa lepas dari kehidupan masyarakat selama kondisi perekonomian tidak berbanding lurus dengan pendapatan penduduknya.
Menurut saya makna yang baik itu, berangkat dari fakta bahwa Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang kaya akan sumber alam melimpah, mulai dari sektor pertanian, perkebunan, energi, dan lain-lainnya. Kita tidak tahu apa yang terjadi di Indonesia sampai tahun 2063 sehingga masyarakatnya tidak mau jadi petani lagi.
Namun, di sisi lain, dengan tidak adanya petani “pemegang cangkul” berubah menjadi didominasi sebagai penentu strategi perbaikan, pengembangan sektor pertanian di Indonesia ke arah yang maju, tentu saja Indonesia harus memperhatikan profesi-profesi tersebut.
Tidak mungkin bagi Indonesia tidak bisa memiliki sistem pertanian dan pengolahan pertanian terbaik di dunia, seperti Jepang yang mampu menanam di pinggiran kereta api dengan memanfaatkan teknologi, Belanda yang memanfaatkan strategi riset pertanian, Amerika Serikat dengan penerapan ilmu biologinya untuk meningkatkan mutu pertanian, Australia yang mampu menanam meskipun tingkat curah hujannya yang rendah, dan pertanian di Cina yang menerapkan sistem reformasi di pedesaan.
Sementara petani kita yang dihadapkan pada permasalahan kekeringan, kelangkaan pupuk, hama, puso, gagal panen dan sebagainya lambat mendapatkan perhatian yang penuh dari pemerintah Indonesia. Padahal potensi bidang pertanian dan lahannya sangat luas. Sungguh kasihan petani.
Di zaman milenial ini, calon petani di berbagai daerah sudah banyak dibekali dengan kemampuan pertanian yang mumpuni, seperti pengembangan pola tanam untuk meningkatkan hasil komoditas. Hanya, pemerintah kita sendiri mengganggap anak tiri kepada petani lokal di Indonesia. Buktinya pemerintah kita lebih mensubsidi petani dari negara lain dengan memberlakukan impor beras. Sehingga membuat harga beras lokal merosot.
Menurunnya harga beras ini tentu saja membuat pendapatan petani-petani Indonesia menurun. Beras impor ini menjatuhkan harga panen petani mulai dari harga kering gilingnya, hingga harga beras yang diperoleh 20% saja. Petani juga harus menganggung biaya-biaya lain.
BACA JUGA: Satwa Liar, Masyarakat Adat dan Hari Hidupan Liar
Belum lagi tantangan yang dialami petani ketika musim hujan dan panas semakin menekan harga jual gabah. Pada musim hujan, kadar air pada gabah akan tinggi, sehingga memerlukan biaya operasional yang lebih pada saat digiling. Untuk mencegah pembusukan lebih awal pada saat pendistribusian.
Lambat laun karena kurangnya perhatian, warga Indonesia beneran tidak mau lagi jadi petani. Hal ini terjaadi juga pada komoditas pangan lain selain beras. Pemerintah kita di Indonesia lebih baik mengimpor.
Dengan adanya kebijakan penerapan food estate, Indonesia tetap optimis dalam perbaikan ketahanan pangan nasional. Petani-petani di Indonesia juga harus semakin diperhatikan. Pemanfaatan potensi lahan pertanian melalui perbaikan unsur hara tanah juga perlu difokuskan untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian. Contohnya pada lahan basah.
Pemanfaatan teknologi dan jaringan irigasi yang baik, penggunaan bibit unggul, penerapan mekanisasi pertanian dan sistem digitalisasi dalam pemantauan hasil produksi, perbaikan tata air, strategi dan kebijakan yang tepat dalam menghadapi perubahan musim dan multi komoditas.
Untuk saat ini, fokus perlahan-lahan terlebih dahulu dengan upaya yang terukur untuk mencapai ketahanan pangan nasional. Sisanya profesi-profesi lain masih dalam bidang pertanian yang memikirkan strategi untuk meningkatkan mutu hasil pertanian. Indonesia harus optimis pertaniannya akan menjadi lebih baik. Tahun 2063 masih sangat lama.
====
Penulis Alumni Teknik Pertanian Universitas Sumatera Utara/Bergiat di Perkamen (Perhimpunan Suka Menulis)
====
medanbisnisdaily.com menerima tulisan (opini/artikel) terkait isu-isu aktual masalah ekonomi, politik, hukum, budaya dan lainnya. Tulisan hendaknya ORISINAL, belum pernah dimuat dan TIDAK DIKIRIM ke media lain, disertai dengan lampiran identitas (KTP/SIM), foto (minimal 700 px dalam format JPEG), data diri singkat/profesi/kegiatan (dicantumkan di akhir tulisan), nama akun FB dan No HP/WA. Panjang tulisan 4.500-5.500 karakter. Gunakan kalimat-kalimat yang singkat (3-5 kalimat setiap paragraf). Judul artikel dibuat menjadi subjek email. Tulisan TIDAK DIKIRIM DALAM BENTUK LAMPIRAN EMAIL, namun langsung dimuat di BADAN EMAIL. Redaksi berhak mengubah judul dan sebagian isi tanpa mengubah makna. Isi artikel sepenuhnya tanggung jawab penulis. Kirimkan tulisan Anda ke: [email protected]